Halaman

Minggu, 03 Juli 2022

Bisnis Paling Visioner



Di Madinah, tidak terlalu jauh dari Masjid Nabawi, ada sebuah properti sebidang tanah dengan sumur yang tidak pernah  kering sepanjang tahun. Sumur itu dikenal dengan nama: Sumur Ruma (The Well of Ruma) karena dimiliki seorang Yahudi bernama Ruma.

Ilustrasi sumur (dokumentasi pribadi saat di Jeddah)


Sang Yahudi menjual air kepada penduduk Madinah dan setiap hari orang antri untuk membeli airnya. Diwaktu-waktu tertentu sang Yahudi menaikkan seenaknya harga airnya dan rakyat Madinah pun terpaksa harus tetap membelinya. Karena hanya sumur inilah yang tidak pernah kering.


Melihat kenyataan ini, Rasulullah berkata: "Kalau ada yang bisa membeli sumur ini, balasannya adalah Surga".Seorang Sahabat Nabi bernama Usman bin Affan mendekati sang Yahudi. Usman menawarkan untuk membeli sumurnya. Tentu saja Ruma sang Yahudi menolak. Ini adalah bisnisnya dan ia mendapat banyak uang dari bisnisnya.


Tetapi Usman bukan hanya pebisnis sukses yang kaya raya, tetapi ia juga negosiator ulung. Ia bilang kepada Ruma: "Aku akan membeli setengah dari sumurmu dengan harga yang pantas, jadi kita bergantian menjual air, hari ini kamu, besok saya".


Melalui negosiasi yang sangat ketat, akhirnya sang Yahudi mau menjual sumurnya senilai 1 juta Dirham dan memberikan hak pemasaran 50% kepada Usman bin Affan. Apa yang terjadi setelahnya membuat sang Yahudi merasa keki.

Ternyata Usman menggratiskan air tersebut kepada semua penduduk Madinah. Pendudukpun mengambil air sepuas puasnya sehingga hari keesokannya mereka tidak perlu lagi membeli air dari Ruma sang Yahudi. Merasa kalah, sang Yahudi akhirnya menyerah, ia meminta sang Usman untuk membeli semua kepemilikan sumur dan tanahnya.


Tentu saja Usman tidak harus membayar lagi seharga yang telah disepakati sebelumnya. Sampai sekarang di Madinah, sumur tersebut dikenal dengan nama *"Sumur Usman",*atau *"The Well of Usman." Tanah luas sekitar sumur tersebut menjadi sebuah kebun kurma yang diberi air dari sumur Usman. Kebun kurma tersebut dikelola oleh badan wakaf pemerintah Saudi sampai hari ini. Kurmanya dieksport ke berbagai negara didunia, hasilnya diberikan untuk yatim piatu dan pendidikan.

Sebagian dikembangkan menjadi hotel dan proyek proyek lainnya, sebagian lagi dimasukkan kembali kepada sebuah rekening tertua didunia atas nama Usman bin Affan. Hasil kelolaan kebun kurma dan grupnya yang disaat ini menghasilkan 50 juta Riyal pertahun. (Atau setara 200 Milyar pertahun).


Sang Yahudi tidak akan penah menang. Kenapa? Karena visinya terlalu dangkal. Ia hanya hidup untuk masa kini, masa ia ada di dunia. Sedangkan visi dari Usman Bin Affan adalah jauh kedepan. Ia berkorban untuk menolong manusia lain yang membutuhkan dan ia menatap sebuah visi besar yang bernama:

"Shadaqatun Jariyah, sedekah berkelanjutan". Sebuah shadaqah yang tidak pernah berhenti, bahkan pada saat manusia sudah mati. Inilah cara memajukan Islam secara cerdas dan barokah dunia-akherat.

Aamiin ya Rabbal'alamin

Semoga dari cerita ini kita bisa membedakan shodaqoh cerdas bukan shodaqoh buta. Ketika semuaa berawal dari keikhlasan tanpa paksaan dan ridho lillahita'ala, saat itulah kita menang. 

Wallahualaam bisshowab

Sabtu, 02 Juli 2022

Hidup Sesuai Level

 

Ini adalah tulisan dari status facebook beberapa tahun lalu, yang saya paraphrase dari salah satu buku bacaan di perpustakaan yang pernah saya baca. Meski membahas tentang hakikat rezeki, tapi cukup relevan dengan kehidupan kita saat ini seperti fenomena flexing ataupun penipuan berkedok agama.

sumber :istockphoto


Suatu hari ada ustadz yang mengajak jamaah untuk bersedekah gila-gilaan, karena profesi ustadz sangat disakralkan banyak jama’ah yang mengikuti. Alhasil, bukannya  kaya tapi jama’ah ini jatuh miskin, harta yang dijanjikan tidak kunjung datang. Apakah salah ayat-ayat yang dikutip oleh ustadz ini? tidak! Hanya tidak sesuai jika disampaikan dan diterapkan pada masyarakat awam.

 

Perlu kita ketahui, apa definisi masyarakat awam. Masyarakat awam dalam istilah tasawuf dan quantum adalah kita-kita ini yang masih berambisi pada kenikmatan dunia. Manusia yang masih usaha keras untuk ikhlas, bekerja mengejar materi, menyukai harta, bernafsu syahwat, suka makanan enak, kadang khilaf bergosip, ingin dipuji, suka ketenaran dan jabatan, dsb.

Klo masyarakat awam, diistilahkan dengan dengan beginner dlm belajar Bahasa inggris,  maka ilmu yang disampaikan ustadznya adalah redaksi yang harusnya bekerja pada level advance dan expert. Padahal kan sebelum advance ada level intermediate yang belum kita kuasai. Maka jangan heran jika yang dijanjikan ustadz tidak berhasil bagi kebanyakan orang.

Berikut ini gambaran rezeki level intermediate vs advance versi yang mulia dua imam mahzab dalam Islam?

 

Tatkala Imam Syafi’i berkunjung ke kediaman gurunya Imam Malik, terjadi dialog yang cukup serius antar keduanya. Perbincangan mereka mengenai Rezeki. Sang Guru mengatakan bahwah rezeki itu datang karena benar-benar tawakkal kepada Allah, Imam Malik mengutip sebuah hadis:

 

لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقّ تَوَكُّله لَرَزَقكم كَمَا يرزقُ الطَّيْر تغدو خماصا وتروح بطانا

 

Jikalau engkau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan memberikan kepadamu rezeki, sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung ketika ia pergi dari sangkarnya dalam kondisi lapar, kembali dalam kondisi kenyang. (HR. Imam al-Baihaq, Lihat: Syu’ubul Iman Imam al-Baihaqi, Jilid: 2/100, dalam riwayat yang lain dikatakan derajat hadis ini hasan shohih sebagaimana komentar Imam at-Tirmidzi).

 

Karena menghormati gurunya, Imam Syafi’i tidak berani langsung membantah tanpa argumentasi yang kuat, walaupun beliau tidak sependapat dengan gurunya. Imam Syafi’i berfikir bagaimana jika burung itu tidak terbang, niscaya tidak akan kenyang (tidak akan mendapatkan rezekinya)??

 

Sambil berjalan ia merenung dan berpikir, di tengah perjalanan, beliau berjumpa dengan kakek tua yang sedang mengangkat sekarung kurma sambil tertatih-tatih. Mendekatlah Imam Syafi’i untuk membantunya sampai di antar ke rumah kakek tua tadi, karena beliau sudah susah payah membantu, maka sang kakek memberinya sebagian dari kurmanya.

 

Imam Syafi’i akhirnya menemukan argumentasi yang kuat untuk menguatkan pendapatnya tentang hadis tersebut, dan mengatakan, “Iya kan, kita harus berusaha baru Allah akan memberikan rezeki kepada kita. Andai kata saya tidak membantu kakek tadi, mungkin saya tidak akan mendapatkan kurma ini.”

 

Kemudian beliau menghampiri gurunya, Imam Malik, dan menyampaikan peristiwa yang baru saja terjadi. Sambil Imam Syafi’i membawa kurmanya yang juga sebagian kurma diberikan Imam Malik. Imam Syafi’i mengatakan bahwa kita harus bersusah payah untuk mendapatkan rezeki.

 

Imam Malik hanya tersenyum dan mengatakan, “kamu yang susah payah mendapatkan kurma ini, dan saya tidak perlu susah payah hanya tinggal menikmatinya saja,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

 

Kesimpulan : Ada rezeki yg datang tanpa melalui sebab, dan ada jg rezeki datang harus melaui perantara.

 

Keduanya benar, Imam Syafii meyakini rezeki melalui usaha dan Imam Malik melalui tawakal. pendapat Imam Malik menurut saya ini yg tertinggi yaitu kekuatan keyakinan maksimal. ga perlu kita kerja keras cukup kerja ikhlas yakin pada Allah maka melalui alam semesta dan malaikatnya bekerja keras untuk memenuhi rezeki kita.

Saya rasa disinilah level keikhlasan, lapang dada, tawakal, n berserah diri di uji. Bahwa tanpa menyakiti/mendzalimi siapapun, kita bisa mendapatkan apapun.

 

Nah, dari cerita ini setidaknya dapat  gamabran level kerezekian dalam kehidupan kan? Jadi  supaya kita tidak tersesat lagi dalam janji-janji palsu, kuncinya adalah paham dimana level hidup kita. Karena jika tidak mengenali diri sendiri maka kita akan terhindar dari dipusingkan dengan level hidup orang lain yang malah menjadikan kita hamba yang kufur nikmat.

 

Level hidup ini juga mengingatkan saya pada Syekh Siti Jenar yang divonis sesat oleh Walisongo. Apa Siti Jenar benar-benar sesat, bisa iya bisa tidak. Iya, dia sesat karena mengajarkan tasawuf pada masyarakat awam yang belum paham benar ilmu syariat, . Tidak sesat, karena orang yang sudah ilmu tasawufnya tingkat tinggi dengan mengesampingkan nafsu duniawi, Allah memberikan mereka ilmu Laduni. Ilmu langsung dari Allah tanpa perlu belajar seperti para Nabi dan wali.

Semua kembali pada kita, apakah akan berhenti sampai syariat dan gontok-gontokan siapa yang paling benar. Atau mendalami Islam makin dalam hingga mencapai ma’rifat seperti ulama-ulama masa lalu?Tidak ada yang mustahil bagi Allah, jika Berkehendak maka “Kun Fayakun!” Nothing is imposible. Tapi sebelumnya ukur diri, sudah sampai level mana kita? Hanya hati kita dan Allah yang tahu dimana level kita.

Wallahualam bissshowab