Halaman

Jumat, 25 April 2025

Kesaktian Sarah dan Keikhlasan Hajar: Jejak Spiritualitas Perempuan dari Zaman Fir’aun

Tahukah kita bahwa di balik sejarah kelahiran bangsa-bangsa besar, tersembunyi kisah perempuan-perempuan agung yang tak hanya membawa rahim, tetapi juga cahaya spiritual yang menundukkan kekuasaan dunia?

Salah satu kisah yang jarang dibicarakan secara mendalam adalah peristiwa ketika Fir’aun menghadiahkan seorang perempuan Mesir bernama Hajar kepada Nabi Ibrahim. Tapi, kisah ini tidak sederhana. Ia dimulai dari rasa takluk—bukan secara militer, tapi spiritual.


Ilustrasi Sarah dan Hajar


Sarah dan Fir’aun: Pertarungan Aura


Riwayat ini berasal dari berbagai literatur Islam klasik. Di antaranya disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (jilid 1), serta dalam kitab tafsir Tafsir al-Tabari, bahwa ketika Nabi Ibrahim dan Sarah masuk ke Mesir, Raja Mesir saat itu (dalam beberapa pendapat disebut sebagai Fir’aun, meski belum tentu Fir’aun dari kisah Musa), terpesona oleh kecantikan Sarah dan ingin mengambilnya.

Namun, ketika ia mencoba menyentuh Sarah, tubuhnya menjadi kaku dan tak bisa bergerak. Sarah pun berdoa kepada Allah, dan Fir’aun sembuh. Tapi ketika ia mencoba lagi, tubuhnya kembali lumpuh. Sampai akhirnya ia menyerah dan berkata:

“Kalian membawa seorang perempuan setan ini kepadaku? Dia akan membunuhku dengan doanya!”
(Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir)

Lalu sebagai "pengganti" atau hadiah perdamaian, ia memberikan pelayan perempuan bernama Hajar kepada Ibrahim. Inilah titik awal dari kisah Hajar yang kemudian melahirkan Nabi Ismail.



Hajar: Dari Hadiah Menjadi Ibu Bangsa


Hajar bukanlah sekadar pelayan. Ia adalah titik awal dari jejak keislaman yang panjang. Dikisahkan dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Hajar ditinggalkan bersama bayi Ismail di padang tandus Makkah atas perintah Allah. Di situlah terjadi sa’i—lari kecil dari bukit Shafa ke Marwah—yang kini menjadi bagian ibadah haji.

Ritual itu bukan sekadar sejarah, tapi simbol: pencarian, harapan, dan spiritualitas seorang ibu yang mengandalkan sepenuhnya pertolongan Tuhan. Dan dari kesabaran itulah, mengalir air Zamzam—sebuah mukjizat yang mengalir hingga hari ini.

 


Spiritualitas Perempuan: Lembut, Tapi Tak Terkalahkan


Dari Sarah kita belajar tentang perlindungan ilahi, bahwa perempuan yang menjaga kemurnian niat dan relasinya dengan Tuhan bisa mendapatkan nur atau energi spiritual yang melindungi dirinya. Bahkan dalam tafsir sufi seperti Tafsir Ruh al-Ma’ani (Al-Alusi), perempuan seperti Sarah dianggap sebagai perwujudan energi cahaya (nur) yang bisa menggetarkan kezaliman.

Dari Hajar, kita belajar bahwa keikhlasan dan kepercayaan pada Tuhan bisa membuka jalan di tengah keterasingan dan kesunyian. Seperti disebut oleh Karen Armstrong dalam bukunya The History of God, tokoh perempuan dalam sejarah kenabian bukanlah figur pasif, tetapi pelaku aktif dalam terbentuknya dimensi spiritual umat manusia.

 


Referensi Modern: Menggali Potensi Ruhani Perempuan


Dalam karya kontemporer seperti Women and Gender in the Qur’an oleh Asma Barlas dan The Tao of Islam oleh Sachiko Murata, perempuan disebut memiliki jalur spiritual yang khas—yang lembut namun transformatif. Kelembutan perempuan bukanlah kelemahan, melainkan saluran energi batin yang mendalam dan menghubungkan mereka langsung pada aspek divine receptivity.

Dalam Islam, perempuan sering dikaitkan dengan rahim, akar kata dari rahmah (kasih sayang). Artinya, tubuh perempuan adalah tempat turunnya sifat Ilahi—dan saat ia selaras dengan fitrahnya, ia membawa kekuatan spiritual yang bisa menundukkan dunia.

 


Mengingat Diri, Mengaktifkan Nur


Sarah dan Hajar bukan hanya tokoh sejarah, tetapi cermin jiwa kita. Mereka adalah simbol bahwa ketauhidan, kesabaran, dan keikhlasan bisa mengubah nasib bahkan tanpa kekuasaan.

Di zaman modern ini, spiritualitas perempuan terlalu sering dibungkam oleh rutinitas, ekspektasi sosial, dan tuntutan kesempurnaan. Tapi mungkin, melalui kisah-kisah seperti ini, perempuan bisa kembali menyadari: bahwa di dalam dirinya, mengalir warisan kesucian dan kekuatan ruhani yang bisa mengguncang takhta dunia—seperti tubuh Fir’aun yang tak mampu menyentuh Sarah.

Karena ketika perempuan sadar siapa dirinya, dunia pun tak punya kuasa lagi untuk menyentuhnya tanpa izin Tuhan.

 


Referensi:

  1. Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 1.
  2. Al-Tabari. Tafsir al-Tabari, Surat Al-Baqarah & Ibrahim.
  3. Sahih Bukhari & Muslim: Hadits tentang Hajar dan Sa’i.
  4. Karen Armstrong. The History of God. Vintage Books, 1993.
  5. Asma Barlas. “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. University of Texas Press, 2002.
  6. Sachiko Murata. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought. SUNY Press, 1992.
  7. Tafsir Ruh al-Ma’ani, Syekh Al-Alusi (interpretasi spiritual tentang perempuan dan nur).

 

Senin, 21 April 2025

Persinggungan Dimensi Jin dan Manusia

  

Di Nusantara ini pernah ada zaman dimana manusia dan jin saling menikah adalah hal yang lumrah. Persinggungan dimensi manusia dan jin bahkan menjadi perhatian ulama Islam. Ibnu Taimiyah mengakui bahwa pernikahan antara jin dan manusia bisa saja terjadi dalam artian secara fisik memungkinkan, namun ia tidak menganjurkannya, bahkan menyebutkan bahwa pernikahan semacam itu makruh atau bahkan haram, tergantung situasinya.

“Jin bisa menikah dengan manusia dan bisa juga memiliki keturunan. Ini telah diketahui dan diceritakan oleh banyak ulama.”

– Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Jilid 19, hlm. 39.

Ilustrasi: Ratu balqis, manusia setengah jin

 

Namun, ia juga menekankan bahwa pernikahan seperti itu bertentangan dengan hikmah syariat dan dapat membawa lebih banyak kerusakan (mafsadat) daripada kebaikan, terutama karena:

·        Perbedaan alam eksistensi antara manusia dan jin,,

·        Potensi manipulasi dan gangguan dari jin terhadap manusia,

·        Ketidakmungkinan menjalani kehidupan rumah tangga yang normal menurut syariat manusia.

Dalam kajian fikih Islam, mayoritas ulama sepakat bahwa perkawinan antara manusia dan jin hukumnya makruh, bukan haram, artinya tidak dianjurkan tetapi tidak pula berdosa jika dilakukan. Makruh dalam konteks ini serupa dengan hukum merokok di Indonesia yang cenderung tidak dianjurkan oleh para ulama, namun belum tentu termasuk kategori haram. Hal ini karena secara teologis, jin adalah makhluk ghaib yang diciptakan dari api dan memiliki dunia berbeda dari manusia, sehingga percampuran keduanya dianggap tidak sesuai dengan fitrah penciptaan (Al-Ashqar, 2005).

Beberapa riwayat dari literatur tasawuf dan cerita rakyat mengisahkan bahwa dari perkawinan antara jin dan manusia dapat lahir keturunan, yaitu manusia yang memiliki sifat atau kemampuan supranatural, dikenal sebagai manusia setengah jin. Tokoh-tokoh legenda seperti Datuk Panglima Kumbang, Lembu Suro, dan Mahesa Suro sering dikaitkan sebagai hasil dari relasi ini. Kisah-kisah ini umumnya berakar dari mitologi lokal yang diinterpretasikan dengan sudut pandang keagamaan maupun budaya spiritual masyarakat Jawa (Muhaimin, 2001).

 


Hubungan Jin dan Manusia di Era Modern

Meski di era modern praktik ini terdengar mistis, beberapa orang masih meyakini bahwa perkawinan antara jin dan manusia bisa terjadi, meskipun prosesnya tidak semudah zaman dahulu. Kini, untuk melintasi batas dunia manusia dan jin dibutuhkan ritual khusus yang disebut tirakat, di mana manusia harus menyiapkan diri secara spiritual dan fisik agar dapat masuk ke dalam alam jin. Namun demikian, dalam proses ini, manusia akan menjadi bagian dari dunia jin, tetapi jin tidak bisa menjadi bagian dari dunia manusia dalam wujud fisik yang permanen (Suryadi, 2017).

Ritual-ritual semacam itu biasanya tidak hanya bertujuan untuk menjalin hubungan dengan jin, tapi juga memiliki tujuan tertentu seperti pesugihan, pelarisan dagangan, atau memperoleh kekuasaan. Anak yang lahir dari hubungan tersebut di zaman kini pun diyakini lebih condong berwujud sebagai entitas jin ketimbang manusia setengah jin seperti dalam cerita-cerita lama. Hal ini disebut-sebut terjadi karena pengaruh keberadaan avatar spiritual, yang menciptakan batas kuat antara dunia manusia dan jin, menjadikan mereka tak lagi leluasa untuk menyeberang antar dimensi seperti dahulu (Sholikhin, 2013).

Salah satu tokoh yang diyakini sebagai avatar tersebut adalah Syekh Subakir, seorang wali yang dalam legenda Nusantara disebut berhasil menyegel gerbang antara dunia jin dan manusia di Gunung Tidar. Segel ini konon mencegah jin untuk dengan mudah mengganggu, membunuh, atau menikahi manusia seperti yang terjadi sebelum kedatangannya. Dalam sejarah spiritual Jawa, Syekh Subakir dikenal sebagai tokoh yang menundukkan jin-jin tanah Jawa dan melakukan perjanjian ghaib dengan tokoh mistis seperti Semar atau Sabdo Palon (Purwadi, 2002).

Namun sebagaimana halnya dengan segel atau kontrak spiritual lainnya, kekuatannya diyakini tidak bersifat abadi. Meskipun jejak spiritual Syekh Subakir masih tersisa dalam bentuk "residu energi kewalian", masa aktifnya tentu terbatas. Pertanyaannya, apakah segel itu akan rusak seiring melemahnya energi tersebut? Dan jika ya, apakah dunia akan kembali pada masa di mana jin kembali bebas mencampuri urusan manusia seperti dahulu?

               Pertanyaan ini membuka diskusi lebih lanjut tentang apakah dunia akan memasuki zaman baru, dengan manusia yang lebih sadar dan siap menghadapi keberadaan makhluk ghaib dengan kesadaran spiritualnya yang lebih tinggi (Nasr, 2006).


Daftar Pustaka

Al-Ashqar, U. S. (2005). Alam Jin dan Setan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Muhaimin, A. G. (2001). Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Jakarta: Mizan.

Suryadi, D. (2017). Relasi Manusia dan Jin dalam Perspektif Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sholikhin, M. A. (2013). Spiritual Code of Java: Mengungkap Misteri Ilmu Kejawen. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Purwadi. (2002). Mistik dan Makna Simbolik dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media.

Nasr, S. H. (2006). The Essential Seyyed Hossein Nasr. Indiana: World Wisdom.

Ibn Taymiyyah. (1995). Majmu’ al-Fatawa (Vol. 19). Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah.

Rabu, 16 April 2025

Aseksualitas dan Usia Panjang: Mungkinkah Ada Kaitan?

 Dalam percakapan sehari-hari, topik usia panjang sering dikaitkan dengan pola makan sehat, olahraga, atau manajemen stres. Tapi bagaimana jika kita melihatnya dari sudut yang jarang dibahas: orientasi seksual—lebih khusus lagi, aseksualitas?

Aseksual adalah istilah bagi seseorang yang tidak tertarik pada aktivitas seksual secara alami. Mereka bisa saja menjalin hubungan romantis, atau tidak. Bisa hidup sendiri, atau membangun koneksi secara emosional tanpa embel-embel ketertarikan seksual. Lalu muncul pertanyaan menarik: apakah orang aseksual bisa hidup lebih lama?

Ilustrasi pria-wanita aseksual



Apa Itu Aseksual?

Aseksual adalah orientasi seksual di mana seseorang tidak merasakan ketertarikan seksual terhadap orang lain, meskipun bisa tetap merasakan ketertarikan romantis, emosional, atau estetis. Aseksual bukan berarti anti cinta atau tidak mampu menjalin hubungan. Ada spektrum dalam aseksualitas, seperti:

  • Aromantik aseksual: tidak tertarik pada hubungan romantis maupun seksual.
  • Romantik aseksual: tertarik pada hubungan romantis, tetapi tidak tertarik pada hubungan seksual.
  • Demiseksual: hanya tertarik secara seksual setelah terbentuk ikatan emosional yang kuat. (Bogaert,2004)


Dari Laboratorium Cacing hingga Pertanyaan tentang Manusia


Beberapa penelitian biologis pada makhluk hidup seperti Caenorhabditis elegans—cacing mungil yang jadi primadona eksperimen genetik—menunjukkan bahwa saat organ reproduksinya dihilangkan, mereka hidup lebih lama. Menurut Greer et al. (2007), pengangkatan sel germline (reproduksi) pada cacing ini dapat memperpanjang usia melalui peningkatan aktivitas jalur insulin/IGF-1. Energi tubuh yang biasanya dipakai untuk reproduksi dialihkan ke perbaikan sel dan pertahanan tubuh.


Fenomena serupa ditemukan juga pada beberapa spesies semut dan lebah: pekerja yang tidak bereproduksi justru hidup lebih lama daripada ratunya yang aktif secara seksual (Keller & Genoud, 1997). Dalam konteks ini, reproduksi sering kali dikaitkan dengan keausan fisiologis dan risiko yang lebih tinggi terhadap kematian dini.

Tapi bagaimana dengan manusia?


Manusia, Seksualitas, dan Kompleksitas Hidup

Pada manusia, belum ada penelitian langsung yang menyimpulkan bahwa orang aseksual hidup lebih panjang secara statistik. Namun, kita bisa menengok beberapa kemungkinan menarik:

  • Aseksual cenderung tidak aktif secara seksual atau memilih hidup tanpa pasangan, sehingga risiko terkena infeksi menular seksual cenderung lebih rendah (CDC, 2023).
  • Mereka mungkin lebih sedikit mengalami stres akibat konflik relasi yang berkaitan dengan ketidakcocokan seksual. Beberapa studi menunjukkan bahwa konflik relasi dan ketidakpuasan seksual berdampak negatif terhadap kesehatan psikologis dan fisiologis (Kiecolt-Glaser & Newton, 2001).
  • Beberapa individu aseksual melaporkan fokus yang lebih besar pada pengembangan diri, hubungan sosial yang platonis, dan pencarian makna hidup yang non-seksual (Bogaert, 2015).

Tentu saja, hidup bukan soal menjauhi seks saja. Ada banyak faktor lain yang memengaruhi usia panjang—dari genetik, pola makan, hingga akses layanan kesehatan. Tapi membuka ruang tanya soal ini bisa menjadi refleksi menarik: bagaimana sebenarnya orientasi seksual membentuk lanskap kesehatan dan kehidupan kita secara keseluruhan?


Antara Pilihan dan Keberadaan

Bagi sebagian orang, menjadi aseksual bukanlah pilihan, melainkan cara keberadaan. Dalam penelitian Bogaert (2004), sekitar 1% populasi dewasa mengidentifikasi sebagai aseksual. Dalam dunia yang kadang begitu terobsesi dengan seks, keberadaan mereka membawa pesan sunyi: bahwa makna hidup tidak selalu bergantung pada hasrat seksual, dan mungkin—dalam diam mereka—terdapat keseimbangan yang memperpanjang napas kehidupan.


📚 Referensi Populer:

  • Bogaert, A. F. (2004). Asexuality: Prevalence and associated factors in a national probability sample. Journal of Sex Research, 41(3), 279–287.
  • Bogaert, A. F. (2015). Understanding Asexuality. Rowman & Littlefield.
  • Greer, E. L., Brunet, A. (2007). Signaling networks in aging. Journal of Cell Science, 120(4), 407–411.
  • Keller, L., & Genoud, M. (1997). Extraordinary lifespans in ants: a test of evolutionary theories of ageing. Nature, 389(6654), 958–960.
  • CDC (Centers for Disease Control and Prevention). (2023). STDs and Prevention Strategies.
  • Kiecolt-Glaser, J. K., & Newton, T. L. (2001). Marriage and health: His and hers. Psychological Bulletin, 127(4), 472–503.

 

Kamis, 10 April 2025

Perempuan dan Empat Musim Tubuhnya


Penulis punya satu analogi kecil tapi cukup menggugah: Perempuan itu seperti musim. Ya, musim dalam tubuh dan jiwanya sendiri. Dan ini bukan hanya metafora puitis, tapi realitas biologis sekaligus spiritualSiklus tubuh perempuan berputar seperti rotasi bumi di negara-negara lintang utara—yang mengalami empat musim dalam setahun. Di sana, tiap musim memiliki karakter yang kuat dan jelas: kadang badai, kadang mekar, kadang sepi, kadang matang. Demikian pula tubuh perempuan, yang tiap bulannya berputar melalui fase PMS, menstruasi, masa subur, dan fase pasca-subur. Mari kita lihat satu per satu, sambil membayangkan: bagaimana kalau tubuhmu adalah cuaca, dan jiwamu adalah langit luas?

 

Hanya sebuah ilustrasi


🌧️ 1. Masa PMS: Seperti Awal Musim Gugur

🌀 Musim gugur di dalam tubuh, di mana yang tua harus gugur agar yang baru bisa tumbuh.

Bayangkan akhir September di Kanada atau Jepang. Daun-daun mulai menguning, angin jadi lebih tajam, dan langit sering mendung. Begitu pula fase PMS (Pra-Menstruasi). Tubuh sedang dalam proses transisi menuju "musim pembersihan". Hormon progesteron mendominasi, menyebabkan mood swings, kembung, jerawat, dan perasaan emosional.


PMS merupakan masa badai kecil di dalam diri. Perempuan bisa merasa lelah secara emosional, mudah tersinggung, bahkan menangis tanpa sebab. Tapi seperti hujan awal Oktober, fase ini penting untuk menyiapkan "tanah hati" agar bersih dari yang tak perlu. Emosi naik-turun, kadang pengen marah tanpa sebab, sensitif tingkat dewa. Kenapa? Karena tubuh sedang mempersiapkan untuk proses pembersihan. Hormon estrogen dan progesteron mulai menurun drastis, dan itu memengaruhi mood secara langsung (Mayo Clinic, 2020).Saat ini, perempuan butuh lebih banyak pengertian, bukan dihakimi karena "baperan". PMS bukan kelemahan, tapi sinyal tubuh bahwa ia sedang dalam fase transisi penting.


💧 2. Masa Menstruasi: Seperti Musim Dingin

🧣 Seperti salju yang menutupi bumi, darah menstruasi membawa jeda dan keheningan yang menyucikan.


Saat darah luruh, tubuh perempuan memasuki musim dingin versi biologisnya.
Di Swedia atau Finlandia, musim dingin adalah masa tenang, kontemplatif, dan penuh keheningan. Alam beristirahat, dan manusia pun lebih banyak di dalam rumah. Begitu pula saat menstruasi. Rahim beristirahat. Tubuh meminta kehangatan, ketenangan, dan perlindungan. Wajah mungkin terlihat lebih pucat, energi menurun, dan ketertarikan seksual pun biasanya memudar.Ini mekanisme alamiah—agar tubuh tidak dipaksa melakukan aktivitas berat, termasuk hubungan seksual yang secara medis memang berisiko saat haid.


Menstruasi adalah masa pembersihan—secara biologis dan energetik. Darah haid bukan sekadar “sampah tubuh”, tapi bagian dari sistem yang sangat canggih untuk menjaga kesehatan rahim dan reproduksi. Seluruh lapisan endometrium luruh untuk disiapkan kembali di siklus berikutnya. Secara visual dan energi, perempuan dalam fase ini cenderung lebih diam, lelah, dan sensitif. Ini sebenarnya mekanisme perlindungan alami, agar tubuh diberi waktu istirahat dan tidak melakukan hubungan seksual, karena secara medis, berhubungan saat menstruasi meningkatkan risiko infeksi (Cleveland Clinic, 2022).

Tubuh punya caranya sendiri untuk berkata, “Tunggu sebentar, aku sedang bersih-bersih.”

 

🌸 3. Masa Subur: Seperti Musim Semi

🌼 Musim semi dalam tubuh, saat setiap senyum bisa menumbuhkan benih kehidupan.

Musim semi di Paris? Indah, penuh bunga, penuh gairah hidup. Alam seperti berkata, "Ayo hidup lagi!" Demikian pula tubuh perempuan saat masa subur. Ini adalah ovulasi, saat telur matang dilepaskan, hormon estrogen dan LH melonjak, dan wajah pun tampak berseri.

Secara ilmiah, perempuan terlihat lebih menarik secara visual, suara jadi lebih lembut, dan sikap jadi lebih genit—semua sebagai kode alamiah untuk sinyal kesuburan.
Bukan dibuat-buat. Ini adalah musim ketika tubuh membuka kemungkinan baru: hidup yang mungkin hadir dalam rahim.

Welcome to spring!

masa subur adalah di mana perempuan tampak lebih bercahaya, lebih atraktif, lebih ingin “bermain”. Genit, centil, manja—kadang tanpa sadar. Kenapa? Karena tubuh sedang berada di puncak kesiapan untuk bereproduksi. Hormon estrogen dan luteinizing hormone (LH) meningkat tajam. Bahkan penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung terlihat lebih menarik di masa subur (Miller, G. et al., 2007).

Bukan soal nafsu semata, tapi evolusi bekerja di balik senyum manismu. Menariknya, banyak perempuan merasa paling percaya diri, seksi, dan aktif di fase ini.


 

🍂 4. Masa Pasca Subur: Seperti Musim Panen

🌾 Musim panen di tubuh perempuan: matang, bijaksana, dan penuh kekuatan batin.

Jika musim semi penuh gairah, maka musim ini—pasca ovulasi—adalah masa untuk menuai dan merencanakan. Seperti bulan-bulan panen di Eropa Timur, tubuh mulai kembali tenang, hormon progesteron mulai naik, dan energi jadi lebih stabil. Ini masa paling rasional. Tubuh perempuan bisa fokus, membuat keputusan penting, dan menyelesaikan banyak hal dengan efektif. Dan untuk perempuan yang memasuki menopause, ini menjadi musim permanen mereka: stabil, tenang, tak lagi dikejar agenda biologis bulanan.

Inilah masa yang paling stabil. Hormon mulai seimbang, logika dan emosi kembali beriringan. Inilah saatnya mengambil keputusan besar, menyusun rencana, atau berbicara serius. Perempuan pada masa ini sering menunjukkan kejelasan mental dan daya analisis tinggi. Bagi perempuan yang telah memasuki menopause, inilah musim permanen mereka. Fase dimana mereka tak lagi sibuk dengan naik-turunnya hormon, dan justru menemukan kedamaian serta kekuatan spiritual baru. Northrup, Christiane. (2010).

Lucunya, banyak perempuan merasa lebih sejahtera di masa menopause. Salah satu sebabnya? Mereka tidak lagi sibuk melayani “anak besar” alias suaminya sendiri. Banyak pria memperlakukan istri layaknya ibunya sendiri—minta dimengerti, diladeni, dan dirawat terus.


🌍 Musim Tubuh & Keseimbangan Semesta

Sama seperti bumi butuh keempat musim untuk tetap hidup, tubuh perempuan butuh semua fase itu untuk tetap sehat. Kalau satu musim rusak atau tak teratur—misalnya menstruasi tidak datang, PMS terlalu ekstrem, atau ovulasi terganggu—maka sistem tubuh dan jiwa pun ikut terguncang.

Maka, ladies, sudahkah kamu mengenali musim-musim dalam tubuhmu? Kalau musimmu kacau, jangan abaikan. Itu bisa jadi pertanda tubuh sedang tak selaras. Dan kamu bisa bantu tubuhmu kembali ke siklusnya—dengan istirahat, makanan sehat, cinta yang baik, dan jika perlu, bantuan medis atau terapi psikis. Karena tubuh perempuan adalah cuaca dan bumi sekaligus, dengan mengenal musim-musimnya, adalah bentuk tertinggi dari spiritualitas dan self-love.

Simak juga dalam video: 

 



📝 Referensi

  • Northrup, C. (2010). The Wisdom of Menopause.
  • Cleveland Clinic. (2022). Menstrual Cycle Phases.
  • Miller, G. et al. (2007). Ovulatory Effects on Behavior and Appearance.
  • Clancy, K.B.H. (2021). Menstruation as a Biomarker for Health. The Lancet.
  • Cleveland Clinic. (2022). Is It Safe to Have Sex During Your Period?