Halaman

Minggu, 29 Juni 2025

Ketika Pelangi Turun di Tanah Timah: Kisah Bangkitnya Belitung oleh Sastra dan Film

 

Oleh: Novy Khusnul Khotimah / Novy Khayra


Dulu, Belitung hanyalah sepotong pulau sunyi di timur Sumatra—sebuah tanah yang diguratkan debu timah, kerja keras, dan ketakpastian. Jalan-jalan tanahnya sepi, sekolah-sekolah berdinding papan reyot, dan angin laut hanya membawa harapan yang nyaris tak terdengar. Namun, dari kampung kecil bernama Gantong, lahir seberkas cahaya yang kelak menembus langit Indonesia: Laskar Pelangi.


Andrea Hirata, anak kampung yang menyulam kenangan menjadi kata, menuliskan kisahnya dalam halaman demi halaman yang tak hanya menggetarkan hati, tetapi juga mengguncang sejarah. Dari sana, Indonesia mengenal Belitung bukan lagi sebagai pulau terpencil, tapi sebagai negeri penuh makna—tempat anak-anak miskin berjuang demi secarik ilmu dan secuil mimpi.


Belitung dan Laskar Pelangi (Sumber: teman healing.id)


Ketika buku itu terbit pada 2005, dan terlebih saat filmnya menggema di layar lebar tahun 2008, dunia tiba-tiba memandang ke arah yang dulu dilupakan. Orang-orang datang, bukan untuk menambang logam, tetapi untuk mencari jejak pelangi:
– Di sekolah reyot yang berdiri tegak di antara ilalang,
– Di batu-batu granit raksasa yang menjulang dari laut,
– Di wajah anak-anak yang tak pernah kehilangan tawa meski hidup menaburkan getir.
Belitung pun berbenah, bukan karena rencana besar, tetapi karena sebuah cerita yang menyala di hati pembacanya.


Dari Buku ke Museum, dari Cerita ke Wisata


Andrea Hirata mendirikan Museum Kata, satu-satunya di negeri ini yang lahir dari rahim sastra. Museum itu menjadi rumah ziarah para pencinta kata dan pelancong jiwa. Di Gantong, rumah-rumah warga tak lagi sunyi; homestay tumbuh, UMKM berkembang, kedai kopi membuka pintu, dan anak-anak lokal tumbuh dengan rasa bangga atas tanah mereka.


Pantai-pantai yang dulu hanya saksi bisu kini berbisik tentang mimpi-mimpi baru. Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, Pulau Lengkuas—nama-nama yang kini akrab di telinga wisatawan, menggantikan narasi lama tentang keterpencilan dan tambang. Tak hanya itu, Belitung pun resmi diakui dunia sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark, menjadikannya kawasan strategis yang memadukan konservasi, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan. Di titik inilah relevansi pemikiran I Nyoman Suyasa menjadi nyata: “Mengintegrasikan, bukanlah penggabungan atau mempertemukan batas antara ruang daratan dengan ruang lautan, akan tetapi menegaskan pada upaya pemaduserasian → rekonstruksi yang menghasilkan harmonisasi dan sinergi.” Belitung bukan hanya menjahit kembali ruang-ruang geografis dan budaya, tapi juga menjembatani masa lalu dan masa depan dalam satu kesatuan narasi yang utuh.


Belitung adalah bukti hidup bahwa pembangunan tak selalu datang dari beton dan angka-angka kebijakan. Kadang, pembangunan lahir dari kata. Dari narasi yang jujur. Dari film yang menyentuh. Dari semangat yang dibangun dalam kesunyian, tapi didengar dunia.Sastra dan film adalah infrastruktur jiwa. Ia membangun bukan hanya jalan dan jembatan, tetapi juga harga diri, kebanggaan, dan imajinasi kolektif. Di tempat-tempat yang dulu ditinggalkan, orang-orang kini datang membawa kamera, buku catatan, dan rasa kagum. Mereka datang untuk menambang makna. Apa yang dulu dianggap “tertinggal”, kini justru berlari ke depan karena satu hal yang tak terduga: cerita.


Dari Laskar Pelangi, lahirlah ekonomi berbasis budaya. Sektor wisata tumbuh, literasi menyala, dan pendidikan menjadi pusat harapan. Sekolah-sekolah dibangun, guru-guru dipacu, dan anak-anak belajar dengan semangat baru. Laskar Pelangi bukan lagi tokoh fiksi; mereka hidup di tiap anak yang kini berani bermimpi, meski kaki mereka masih berdebu.Inilah wajah pembangunan yang bersandar pada kemanusiaan. Ketika kata-kata menjadi sumber daya yang tak habis digali. Ketika film bukan hanya tontonan, tetapi gerakan yang mengubah arah hidup masyarakat.


 



Bayangkan Jika Setiap Daerah Menulis Kisahnya Sendiri


Jika Belitung bisa bangkit karena satu buku dan satu film, berapa banyak lagi daerah di Indonesia yang sedang menunggu penulis-penulisnya sendiri? Berapa banyak kisah lokal yang, jika ditulis dengan jujur dan indah, bisa mengubah wajah kampung halaman? Sastra dan film bukan hanya ekspresi. Mereka adalah investasi—pada nilai, pada perasaan, pada peradaban. Mereka menjangkau lebih dari sekadar pembangunan fisik; mereka menghidupkan martabat.


Kini, jika kau bertandang ke Belitung, dengarkan desir angin di antara pepohonan. Dengarkan suara anak-anak membaca di bawah langit biru. Dengarkan gema tawa dari sekolah-sekolah yang dulu nyaris runtuh. Karena pelangi itu belum hilang. Ia masih menari di mata mereka yang percaya bahwa dari tanah terpencil pun cahaya bisa lahir dan menyinari negeri. Dan mungkin, Belitung bukan satu-satunya. Ia hanyalah permulaan. Kini giliran daerah-daerah lain menyalakan pelangi mereka sendiri. Karena negeri ini bisa dibangun bukan hanya dengan batu dan semen—tetapi juga dengan cerita.


Setiap daerah di Indonesia sesungguhnya memiliki pelangi mereka sendiri. Pelangi yang tersembunyi dalam kisah-kisah nenek moyang, dalam perjuangan anak-anaknya menuntut ilmu, dalam senyum perempuan pasar, dan dalam desir angin yang menyapa sawah-sawah tua. Yang perlu dilakukan hanyalah menyapunya ke langit, agar tampak oleh dunia. Belitung telah membuktikan: cerita bisa menjadi jembatan antara sunyi dan kemajuan. Maka, inilah saatnya kita mulai menggali kisah-kisah yang tersembunyi itu dengan cinta.


Setiap jengkal tanah punya kisah. Tapi tidak semua kisah terdengar. Maka, langkah pertama adalah menggali—bukan hanya tambang atau sumber daya, tapi memori kolektif, legenda desa, dan narasi manusia biasa yang menyimpan nilai luar biasa. Komunitas penulis, ruang baca, atau lomba kisah rakyat yang melibatkan anak muda dan tetua adat bisa menjadi jalan untuk menulis sebagai jalan pulang ke jati diri.


Ketika cerita telah ditemukan, biarkan ia menjelma bentuk: puisi, novel, esai, atau film dokumenter. Biarkan narasi itu hidup, menyapa, dan membekas. Seperti Laskar Pelangi yang tak hanya dibaca, tetapi dilihat dan dirasakan. Gandeng sineas lokal, pelajar seni, atau komunitas sastra untuk menghidupkan kisah dalam berbagai media. Kampanye visual, film pendek, mural, hingga drama rakyat bisa menjadi alat perubahan yang efektif.


Dari situ, identitas daerah akan tumbuh. Ketika cerita menjadi kuat, ia menciptakan rasa bangga. Dari situlah identitas daerah dibangun—bukan dari logo atau jargon, tetapi dari jiwa yang meresap. Cerita menjadi merek. Tempat-tempat biasa pun berubah menjadi destinasi. Kawasan wisata berbasis narasi bisa dibentuk, seperti rute “Jejak Cerita”, desa wisata kisah, atau museum rakyat yang dijaga dan dibimbing oleh warganya sendiri.


Namun satu pena tak cukup. Yang dibutuhkan adalah orkestra pena dan kamera, dari anak muda hingga sesepuh. Yang tua membawa kenangan, yang muda membawa teknologi. Yang satu menuturkan, yang lain mengabarkan. Forum lintas usia, pelibatan pelajar dan seniman muda dalam proyek budaya desa, dan media sosial sebagai panggung kreatif—dari YouTube lokal hingga podcast cerita kampung—semua bisa menjadi jembatan antara generasi dan waktu.


Cerita yang kuat tumbuh dari akar budaya yang sehat. Jangan biarkan cerita tercerabut dari tanahnya. Maka pembangunan berbasis kisah harus tetap bersandar pada nilai, pada bahasa ibu, pada adat yang bijak. Literasi budaya lokal perlu dikembangkan di sekolah, kisah-kisah daerah disisipkan dalam kurikulum, dan festival-festival tradisional dihidupkan kembali sebagai panggung cerita.


Di tengah semua itu, “Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia” menjadi salah satu contoh konkret bahwa cerita dan narasi mampu menjadi fondasi pemikiran dan arah baru pembangunan. Forum ini menyampaikan pesan penting bahwa “Mengintegrasikan, bukanlah penggabungan atau mempertemukan batas antara ruang daratan dengan ruang lautan, akan tetapi menegaskan pada upaya pemaduserasian → rekonstruksi yang menghasilkan harmonisasi dan sinergi.” Sebuah gagasan yang sejatinya juga berlaku dalam pembangunan berbasis kisah: tidak memaksa menyatukan yang berbeda, tetapi menyelaraskan suara lokal dengan arah masa depan, agar tumbuh seimbang dan bermakna.


Kita tak harus menunggu penulis besar untuk datang. Kita bisa menjadi Andrea Hirata bagi tanah kita sendiri. Karena siapa pun bisa menulis. Siapa pun bisa berkisah. Dan dari satu cerita, mungkin akan lahir ribuan langkah baru menuju masa depan. Seperti pelangi yang muncul usai hujan, daerah-daerah yang dianggap tertinggal mungkin hanya sedang menunggu cahaya. Dan cahaya itu bisa datang dari kata.

 

Sabtu, 28 Juni 2025

Piagam Madinah dan Relevansinya bagi Keberagaman di Nusantara

     Pada dua tulisan sebelumnya membahas tentang piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama di dunia. Dalam tulisan kali ini adalah menghubungan relevansinya dengan keberagama di Nusantara. Dalam perjalanan sejarah umat manusia, keberagaman sering kali menjadi ujian besar sekaligus anugerah terbesar. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dan ratusan kelompok etnis, bahasa, dan budaya, adalah potret nyata dari keberagaman tersebut. Dalam konteks ini, Piagam Madinah yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 Masehi, memiliki relevansi luar biasa sebagai model peradaban yang mengelola kemajemukan secara damai, adil, dan inklusif.

Keberagaman Indonesia (sumber: Uinsa)


Apa Itu Piagam Madinah?


Piagam Madinah atau Mitsaq al-Madinah adalah dokumen perjanjian yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW setelah hijrahnya ke Madinah. Piagam ini mengatur hubungan antara berbagai kelompok yang tinggal di Madinah, termasuk kaum Muhajirin, Anshar, serta komunitas Yahudi dan suku-suku Arab lainnya. Isi piagam mencakup prinsip-prinsip dasar hidup bersama, perlindungan terhadap hak-hak tiap kelompok, kewajiban bela negara, serta sistem hukum dan keadilan.


Dalam sejarah Islam, Piagam Madinah dianggap sebagai konstitusi pertama di dunia yang mengatur tatanan masyarakat multikultural dan multiagama secara formal dan tertulis. Piagam ini tidak hanya mengatur umat Islam, tetapi juga memberikan tempat dan perlindungan kepada komunitas non-Muslim sebagai bagian dari masyarakat Madinah yang satu, disebut sebagai ummah wahidah—satu komunitas.


Merefleksikan Piagam Madinah dalam Konteks Indonesia


Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara, sesungguhnya telah memuat semangat serupa dengan yang tercantum dalam Piagam Madinah. Nilai-nilai seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Persatuan Indonesia sejalan dengan semangat pluralisme dan kesetaraan dalam Piagam Madinah.


Seperti Madinah, Nusantara bukanlah ruang homogen. Dalam setiap jengkal tanahnya, hidup bersama masyarakat beragam keyakinan, adat istiadat, serta bahasa daerah. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dalam Piagam Madinah dapat menjadi cermin bagaimana kita seharusnya memperlakukan keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman.


Beberapa poin relevan dari Piagam Madinah untuk konteks Indonesia, antara lain:


  1. Pengakuan terhadap Keragaman Agama dan Etnis

Dalam Piagam Madinah, tiap komunitas berhak menjalankan ajaran dan tradisinya tanpa paksaan atau diskriminasi. Hal ini sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan Indonesia—berbeda-beda tetapi tetap satu jua.


  1. Perlindungan Terhadap Minoritas

Piagam Madinah memberikan jaminan keamanan dan keadilan kepada semua warga, termasuk minoritas Yahudi. Dalam konteks Indonesia, ini sejalan dengan amanat konstitusi untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, tanpa melihat jumlah atau kekuatan kelompok.


  1. Keadilan Sebagai Pilar Bersama


Tidak ada satu kelompok yang diistimewakan dalam hukum Madinah. Keadilan ditegakkan untuk semua, dan ini merupakan prinsip penting dalam sistem demokrasi Indonesia yang menjunjung hukum sebagai panglima.

  1. Kolaborasi dalam Menjaga Perdamaian


Salah satu pasal penting dalam Piagam Madinah adalah kesepakatan bersama untuk membela kota Madinah jika diserang. Artinya, tanggung jawab menjaga negara menjadi kewajiban kolektif. Hal ini mengajarkan kita untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan.


Merawat Indonesia dengan Semangat Piagam Madinah


Indonesia saat ini menghadapi tantangan globalisasi, intoleransi, dan disinformasi yang dapat menggerus semangat persatuan. Di sinilah relevansi Piagam Madinah kembali bersinar. Ia bukan sekadar teks sejarah, melainkan panduan etis dan politis tentang bagaimana membangun bangsa majemuk.


Menghidupkan kembali semangat Piagam Madinah berarti menumbuhkan budaya dialog, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menolak kekerasan atas nama agama, dan menjadikan negara sebagai rumah bersama—bukan milik satu kelompok tertentu. Pendidikan multikultural, dialog antariman, dan kebijakan inklusif perlu terus diperkuat. Negara tidak cukup hanya menjamin kebebasan beragama secara formal, tetapi juga harus hadir dalam bentuk perlindungan nyata terhadap kelompok rentan.


Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban besar dibangun di atas fondasi keragaman yang dikelola dengan keadilan. Nabi Muhammad SAW, melalui Piagam Madinah, telah menunjukkan kepada dunia bahwa harmoni bukan utopia, melainkan bisa diwujudkan dengan komitmen, kesetaraan, dan keberanian untuk saling menerima. Indonesia pun bisa menjadi versi modern dari Madinah—sebuah rumah damai bagi semua anak bangsanya.


 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Alatas, S. H. (2000). Islam dan Tantangan Modernisasi di Indonesia. LP3ES.

An-Nabhani, T. (2001). Sistem Politik Islam. HTI Press.

Azra, A. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Kompas.

Azra, A. (2007). Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Mizan.

Esposito, J. L. (2002). What Everyone Needs to Know About Islam. Oxford University Press.

Hallaq, W. B. (2009). An Introduction to Islamic Law. Cambridge University Press.

Hasani, I., & Naipospos, B. G. (2007). Wajah Para “Pembela Islam”. Pustaka Masyarakat Setara.

Ibrahim, A. (2015). Konsep Piagam Madinah dan Relevansinya dalam Konteks Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, 13(2), 187–200. https://doi.org/10.30984/jis.v13i2.255

Lubis, N. (2008). Islam dan Multikulturalisme: Menyemai Perdamaian dalam Keberagaman. Penerbit Buku Kompas.

Madjid, N. (1997). Islam Doktrin dan Peradaban. Paramadina.

Syahrin, S. (2011). Piagam Madinah: Konstitusi Politik Islam Pertama di Dunia. Lembaga Penelitian UIN Sumatera Utara.

Wahyuni, S. (2016). Piagam Madinah: Relevansi Historis dan Kontekstual dalam Masyarakat Pluralistik Indonesia. Jurnal Addin, 10(2), 327–354. https://doi.org/10.21043/addin.v10i2.1484

 

Selasa, 24 Juni 2025

Antara Fanatisme Buta dan Nurani Kemanusiaan (Membaca Ulang Sikap Sinis terhadap Dukungan Terhadap Iran dalam Serangan ke Israel)

 Di tengah konflik geopolitik yang melibatkan Israel dan Iran, tak sedikit dari kita mendengar cibiran yang mengarah kepada mereka yang menyuarakan dukungan terhadap Iran. Cibiran itu kadang datang dari sesama Muslim sendiri, dengan nada sinis: “Kok bisa dukung Iran? Kan beda aliran, beda mazhab, bahkan beda konsep ketuhanan!”

Logika semacam ini memperlihatkan betapa sebagian orang masih kesulitan membedakan antara persoalan Hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan) dan Hablumminannas (hubungan antar manusia). Padahal, keduanya adalah dua ranah berbeda yang perlu dipahami secara dewasa dan kontekstual. Jika dalam setiap laku sosial kita selalu disandarkan pada kesamaan akidah secara mutlak, maka ruang kita untuk mendukung nilai-nilai keadilan dan melawan kezaliman akan menjadi sangat sempit.

Ilustrasi gambaran perang (google search)


Flexibilitas dalam Muamalah, Teguh dalam Tauhid

Dalam persoalan tauhid, manusia akan bertanggung jawab secara individual kepada Tuhannya. Namun dalam soal muamalah, kita dituntut untuk bersikap adil dan berperan aktif dalam menciptakan keadaban bersama. Maka, mendukung Iran bukan berarti kita menjadi pengikut Syiah atau menyetujui seluruh ideologinya. Tapi dalam konteks tertentu — misalnya melawan penjajahan, membela rakyat yang ditindas, atau merespons agresi brutal — kita bisa berdiri bersama siapa pun yang punya nilai yang sama: keadilan dan keberanian melawan tirani.

Jadi, bukan soal sealiran atau seagama, tapi soal siapa yang saat ini mengambil posisi melawan penindasan yang nyata. Buat apa mengaku sepaham dalam iman, tapi diam terhadap kezaliman? Apalah artinya kesamaan aliran jika tak dibarengi ketegasan sikap?

Belajar dari Piagam Madinah: Etika Hidup Bersama dalam Perbedaan

Sikap sinis terhadap dukungan terhadap kelompok berbeda ini sebenarnya adalah bentuk kegagalan kita dalam membaca sejarah. Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah menyusun Piagam Madinah, sebuah dokumen peradaban yang sangat visioner di zamannya? Di dalamnya, kaum Muslim, Yahudi, dan bahkan kelompok pagan diberi tempat yang setara dalam satu komunitas politik dan sosial. Kuncinya: mereka terikat dalam kesepakatan menjaga keadilan dan keamanan bersama. Artinya, Rasulullah sendiri sudah memberi contoh: dalam muamalah dan urusan kemanusiaan, kita bisa bekerja sama dengan siapa pun, selama mereka berdiri di pihak yang benar.

Piagam Madinah adalah dokumen sosial-politik pertama yang disusun oleh Nabi Muhammad ﷺ setelah hijrah ke Madinah. Dokumen ini menjadi dasar terbentuknya masyarakat majemuk yang damai, adil, dan menjunjung tinggi kerja sama lintas agama dan suku. Meski bukan bagian dari hadits secara sanad dan matan, isi Piagam Madinah sejalan dengan nilai-nilai universal yang diajarkan Nabi dalam banyak haditsnya. Piagam ini memuat sekitar 47 pasal yang dapat dikelompokkan ke dalam lima pokok utama.

Pertama, persatuan umat Islam, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, ditegaskan dalam dokumen ini. Mereka diposisikan sebagai satu umat yang wajib saling membantu, saling menanggung beban, dan menegakkan keadilan antar sesama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti.” (HR. Bukhari & Muslim).

Kedua, hubungan dengan non-Muslim, terutama Yahudi, dijelaskan secara tegas. Kaum Yahudi Madinah diakui sebagai bagian dari umat yang satu dengan kaum Muslimin dalam konteks sosial-politik. Mereka bebas menjalankan agama mereka dan mendapat perlindungan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal keamanan kota, mereka juga bertanggung jawab untuk ikut serta. Prinsip ini tercermin dalam hadits Nabi yang menyatakan, “Siapa pun yang menyakiti non-Muslim yang dilindungi (dzimmi), maka aku menjadi lawannya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).

Ketiga, keadilan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Tidak ada perlindungan bagi pelanggar hukum, meskipun dari kelompok sendiri. Semua pihak wajib mencegah kezaliman dan tidak boleh menutupi kejahatan. Nabi menegaskan prinsip ini dengan mengatakan, “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari & Muslim).

Keempat, dalam hal pertahanan dan keamanan, seluruh kelompok masyarakat—baik Muslim maupun non-Muslim—harus saling membantu jika Madinah diserang. Tidak boleh ada satu kelompok pun yang membuat perjanjian damai dengan musuh tanpa persetujuan kolektif. Ini mencerminkan semangat jihad defensif (jihad difa’i) dan solidaritas komunitas.

Kelima, kepemimpinan tertinggi dalam menyelesaikan perselisihan diserahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai kepala negara dan hakim utama. Beliau menjadi penengah yang adil dan pengikat seluruh keputusan hukum dan sosial. Ini sejalan dengan sabda beliau, “Siapa yang taat padaku berarti taat kepada Allah, dan siapa yang tidak taat padaku berarti tidak taat kepada Allah.” (HR. Bukhari & Muslim).

Dengan demikian, Piagam Madinah bukan hanya dokumen historis, tetapi juga contoh awal dari konstitusi berbasis nilai-nilai profetik, yang menegaskan pentingnya toleransi, keadilan, persatuan, dan kepemimpinan yang visioner. Ia menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah mengajarkan prinsip-prinsip hidup damai dalam keberagaman, serta pentingnya kerja sama untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab.

Penulis telah menulis tentang implementasi politik profetik berikut ini: Politik Profetik: Sistem Pemerintahan Ideal Berdasarkan Nilai-Nilai Kenabian

 

Referensi

Hamidullah, M. (1941). The first written constitution in the world: An important document of the time of the Holy Prophet. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Ibn Hisham. (n.d.). As-Sirah an-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Ibn Ishaq. (1955). The life of Muhammad: A translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah (A. Guillaume, Trans.). Oxford University Press.

Al-Bukhari, M. I. (2000). Sahih al-Bukhari. Kairo: Dar Ibn Kathir.

Muslim, I. H. (1992). Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr.

Abu Dawud, S. A. (2008). Sunan Abu Dawud. Riyadh: Darussalam.

Al-Mubarakfuri, S. (2002). The sealed nectar (Ar-Raheeq Al-Makhtum): Biography of the noble Prophet. Riyadh: Darussalam.

Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Clarendon Press.

Esposito, J. L. (1998). Islam: The straight path (3rd ed.). New York: Oxford University Press.

Al-Waqidi. (1989). Kitab al-Maghazi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Minggu, 22 Juni 2025

Trip Hemat ke Karimunjawa 2025: Seru, Syahdu, dan Bikin Rindu!

 

Salah satu perjalanan yang paling berkesan tahun ini buat aku adalah... tadaaa!Karimunjawa!
Trip ini aku lakukan di akhir Mei sampai awal Juni 2025. Meski baru aja pulang dan belum genap sebulan, tapi rasa kangennya udah nggak ketahan. Serius, pengen banget balik lagi!
😭


Nah, kenapa aku bilang ini trip hemat? Karena beneran bisa menikmati semua keindahan alam Karimunjawa tanpa bikin kantong jebol. Nih, aku kasih bocoran rincian dan tipsnya biar kalian juga bisa ikutan hemat tapi tetap puas liburannya:

 


Persiapan Sebulan Sebelumnya = Lebih Aman & Murah


Yes, kuncinya cuma satu: persiapan. Aku udah nyicil booking ini-itu sejak sebulan sebelumnya. Apa aja yang wajib dipersiapkan duluan? Ini dia daftarnya:


1. Tiket Kapal Laut – Bahari Express (PP 400k)

Tiket kapal udah aku pesen online, biar aman dari calo dan rebutan pas musim liburan. Bahari Express ini cuma butuh waktu 2 jam buat nyebrang ke Karimunjawa dari Jepara.

Sebenernya ada opsi kapal yang lebih murah kayak Kapal Siginjai (70–90k), tapi waktunya lebih lama, bisa 5 jam-an di laut. Kalau kamu punya waktu lebih banyak dan pengen irit maksimal, bisa banget pilih itu!


2. One Day Trip – 185k (exclude Pulau Menjangan 30k)

Paket ini worth it banget!
Isinya:

  • PP naik kapal nelayan ke spot snorkeling 🐠
  • Dua kali difotoin bareng ikan-ikan lucu di laut (dikasih pinjam alat snorkeling juga)
  • Lunch di Pulau Pramuka
  • Plus diajak ke Pulau Menjangan

Tambahan 30k di Pulau Menjangan bisa dapet pengalaman seru foto bareng hiu dan main kano sepuasnya! Worth every rupiah!


3. Penginapan 2 Malam – 350k (dibagi dua orang)

Standar banget: ada AC, kamar mandi dalam, bersih dan nyaman. Cocok buat yang penting bisa tidur enak, nggak perlu mewah-mewah.
Tapi kalau kamu pengen vibes pinggir pantai yang eksotis, banyak juga penginapan kece yang harganya lumayan tapi pemandangannya uwuuu~
🌅


4. Tiket Kereta Cirebon–Semarang – 50k (Erlangga)

Karena booking sebulan sebelum, masih dapet harga murah!
Walau keretanya kelas ekonomi, tapi nyaman kok. Intinya: hemat itu bukan pelit, tapi cerdas!
😄


5. Shuttle Semarang–Jepara PP – 130k (berangkat) & 80k (pulang)

Ini penting banget. Dari Stasiun Semarang ke Pelabuhan Jepara butuh waktu sekitar 2 jam, jadi pilih shuttle yang jaraknya nggak jauh dari stasiun buat hemat ongkos dan tenaga.

 



💙 Unforgettable Moments: Dari Laut Biru ke Langit Biru


Jujur aja, ini bukan kali pertama aku nyebrang laut. Tapi... nyebur langsung ke tengah laut sambil snorkeling, itu pertama kalinya. Dan rasanya—WOW! Bisa lihat langsung ikan warna-warni dan terumbu karang yang cantik banget. Dunia bawah laut itu benar-benar bikin speechless.

Trus, pengalaman ketemu hiu juga nggak kalah seru! Walaupun awalnya agak deg-degan, ternyata seru juga berdekatan sama mereka. Tenang aja, semuanya aman kok karena diawasi tim.

Main kano juga nggak kalah lucu, apalagi kalo mendayungnya belok-belok nggak jelas—udah kayak balapan tapi ngelawan arah. 🤣

Eh iya, satu hal yang rada mahal tapi memorable banget: main jetski + video + foto drone: sekitar 750 ribu. Tapi hasilnya... worth it banget! Momen ini pasti bakal dikenang seumur hidup.

 

🏝️ Pantai yang Asri dan Lebih Tenang dari Bali-Jogja


Salah satu highlight lainnya adalah perjalanan dari satu pulau ke pulau lain naik kapal kecil. Bayangin deh, angin laut, cipratan air, gerimis tipis, deburan air laut dan senyum teman-teman yang baru kenal. Nggak ada yang bisa ngalahin vibes itu.

Dan... pasir putihnya? Super bersih! Bahkan jujur aja, beberapa pantai di Karimunjawa lebih asri dan tenang dibandingkan pantai populer di Bali atau Jogja yang udah terlalu ramai. Di sini, kamu bisa nemuin kedamaian sambil rebahan di pinggir pantai.

 

🎒 Catatan Penting:

Selain lima hal utama di atas, pengeluaran lain kayak makan, penginapan transit di Semarang, dan jajan-jajan bisa disesuaikan sama gaya kamu. Tapi semua bisa kok dikondisikan biar tetap hemat.

 



🌊 Karimunjawa: Sekali Pergi, Pasti Pengen Balik Lagi


Trip ini bukan cuma soal jalan-jalan murah. Tapi soal pengalaman, kebersamaan, dan ketenangan yang susah didapet di tengah hidup yang chaos.

Nggak tahu kapan, tapi aku pasti akan balik ke Karimunjawa lagi. Dan kamu juga harus coba, setidaknya sekali dalam hidupmu.


Jangan lupa siapin waktu, teman perjalanan yang asik, dan kamera buat menangkap semua keindahan di sana.

See you again, Karimunjawa! 💙🌴

 


 

Sabtu, 14 Juni 2025

Nemu Kost Rasa Hotel di Jogja? D’Paragon Jawabannya!

 Cari kost di kota baru itu kadang lebih bikin pusing daripada urusan kuliahnya sendiri. Itulah yang dirasakan Fira, mahasiswi baru yang baru saja diterima di salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Sejak dinyatakan lolos seleksi, satu hal yang bikin dia galau adalah: tinggal di mana?

Pilihan kost banyak, tapi rata-rata bikin mikir dua kali. Ada yang terlalu sempit, ada yang fasilitasnya biasa banget tapi harga udah setara hotel, ada juga yang lingkungannya bikin gak nyaman kalau harus tinggal lama-lama.

Sampai akhirnya, Fira curhat ke sahabat lamanya, Rani. Sejak kerja di Jogja dua tahun lalu, Rani  memang udah punya tempat tinggal yang dia anggap kost murah paling cocok untuk anak rantau dan kost terdekat dengan kampus adalah : D’Paragon.

 


“Serius deh, coba aja dulu seminggu. Aku aja awalnya iseng, sekarang malah betah setahun lebih.”

 

Itu kata-kata pertama yang keluar dari mulut Rani waktu Fira, sahabat lamanya dari SMA, cerita kalau dia lagi pusing cari kost di Jogja buat kuliah. Fira memang baru keterima di kampus impiannya di Yogyakarta, tapi belum nemu tempat tinggal yang cocok—entah karena kamarnya sempit, lingkungannya nggak nyaman, atau fasilitasnya kurang lengkap.

 

Rani lalu cerita pengalamannya waktu pertama kali pindah ke Jogja untuk kerja. Dia sempat coba tinggal di beberapa tempat, tapi semuanya kurang sreg. Sampai akhirnya dia nemu D’Paragon lewat rekomendasi temannya. Awalnya ragu juga—masa iya guest house bisa senyaman itu?

 

“Tapi pas lihat langsung, beda. Kamarnya bersih, luas, semua udah lengkap. Ada kulkas, AC, bahkan laundry-nya gratis. Dan yang paling aku suka, tiap minggu kamar mandinya dibersihin. Nggak kayak kost-an biasa, ini tuh berasa kayak tinggal di apartemen mini tapi harganya masih masuk akal,” jelas Rani antusias.

 

Fira mendengarkan sambil mencatat. “Kalau aku mau coba dulu sebulan, bisa nggak ya?”

 

“Bisa banget! Malah mereka fleksibel banget soal itu. Kalau nanti udah cocok, bisa langsung lanjut bulanan atau tahunan,” jawab Rani.

 

Rani juga menambahkan, D’Paragon punya banyak cabang di Jogja dan kota-kota besar lainnya. Jadi kalau suatu hari Fira perlu pindah karena kerja praktek atau tugas luar kota, dia nggak perlu bingung nyari tempat baru lagi. Tinggal cari D’Paragon terdekat, fasilitas dan standarnya tetap sama.

 

Sore itu, Fira akhirnya booking satu kamar untuk bulan pertamanya di Jogja. Dan seminggu kemudian, dia kirim pesan ke Rani:

“Lo bener. Ngekost D’Paragon dan Djurkam adalah tempat ternyaman yang pernah gue tinggali.”


Apa Itu D’Paragon

 

Tidur dengan tenang dan nyaman saat bepergian ke luar kota adalah keinginan banyak orang, baik mereka yang sedang liburan, perjalanan dinas, maupun yang harus tinggal cukup lama karena keperluan kuliah atau pekerjaan. Kenyamanan hunian menjadi salah satu faktor utama dalam menentukan tempat menginap. Tak melulu harus hotel berbintang, kini banyak pilihan lain yang menawarkan fasilitas setara, bahkan lebih fleksibel dan ramah di kantong. Salah satu alternatif yang semakin populer adalah guest house modern, seperti D’Paragon.

D’Paragon merupakan jaringan guest house dan kost eksklusif yang hadir di berbagai kota besar di Indonesia. Sejak berdiri pada tahun 2010, D’Paragon telah dikenal sebagai penyedia hunian sementara yang mengutamakan kenyamanan, privasi, dan nuansa eksklusif bagi para penghuninya. Dengan mengusung konsep “Stay With Style,” D’Paragon hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat urban dan milenial akan hunian yang tak hanya fungsional, tapi juga merepresentasikan gaya hidup modern.

Saat ini, D’Paragon telah menjelma menjadi salah satu brand terdepan dalam kategori kost eksklusif dan guest house di Indonesia. Jaringannya tersebar di delapan kota besar seperti Jakarta, Semarang, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Solo, Banjarmasin, dan Palembang, sehingga memudahkan pelanggan untuk menemukan hunian yang sesuai dengan kebutuhan mereka—baik untuk singgah sementara maupun tinggal lebih lama.

Kenapa D’Paragon

 

Lantas, mengapa memilih D’Paragon? Selain lokasi propertinya yang strategis dan aman—berada dekat dengan jalan utama, kampus, perkantoran, serta pusat keramaian—setiap unitnya juga dilengkapi dengan fasilitas lengkap sehingga bikin kost aman. Mulai dari kamar mandi dalam, water heater, AC, TV kabel dengan LED 32”, kulkas pribadi, hingga full furniture. Penghuni juga mendapat akses Wi-Fi gratis dan layanan laundry tanpa biaya tambahan.

Tidak hanya soal fasilitas yang menjadikannya kost fully furnished, kenyamanan juga terlihat dari desain bangunannya yang bergaya tropis minimalis dan modern—memberi kesan bersih, hangat, dan representatif, bahkan saat teman atau keluarga berkunjung. Area parkir luas dan tertata rapi untuk kendaraan roda dua maupun roda empat.

Aspek kebersihan dan keamanan juga menjadi prioritas. Setiap kamar mandi dibersihkan secara rutin seminggu sekali, tersedia hand sanitizer dan tempat cuci tangan di berbagai sudut gedung, serta dilakukan penyemprotan disinfektan harian untuk menjaga higienitas lingkungan. Bahkan, protokol kesehatan seperti pengecekan suhu badan pun turut diterapkan.

Dengan komitmen tinggi terhadap kualitas layanan dan kenyamanan pelanggan, D’Paragon bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga tempat beristirahat yang mampu memberikan rasa tenang, aman, dan penuh gaya.

Kalau kamu sedang mencari tempat menginap yang nyaman, aman, dan punya fasilitas lengkap tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam, D’Paragon bisa jadi pilihan yang tepat. Banyak orang mungkin masih ragu memilih guest house atau kost eksklusif karena khawatir soal kebersihan, kenyamanan, atau keamanan. Tapi di D’Paragon, semuanya sudah dipikirkan dengan matang. Lokasinya strategis, kamar-kamarnya bersih dan fully furnished, bahkan ada layanan laundry dan WiFi gratis. Ditambah lagi, sistem keamanannya terjaga dengan CCTV dan lingkungan yang tertib. Jadi, kamu bisa istirahat dengan tenang tanpa khawatir soal hal-hal kecil yang biasanya bikin risih saat tinggal di tempat baru. Ribuan penghuni sudah membuktikan sendiri kenyamanan tinggal di D’Paragon—sekarang giliran kamu merasakannya.

 


Berikut untuk informasi lebih lanjut: 

https://dparagon.com/

 https://djuragankamar.com/

 https://www.instagram.com/dparagonkost/

https://www.tiktok.com/@dparagonkost

https://www.tiktok.com/@djuragankamar