Halaman

Rabu, 04 Juni 2025

Melayani Cahaya: Tentang Integritas, Kekuasaan, dan Hati yang Bersih



Tak ada sebaik-baiknya pelayan selain yang melayani kebenaran, kebaikan, dan segala hal yang sejajar dengan cahaya. Cahaya di sini bukan semata simbol spiritualitas, melainkan nilai universal yang menjadi kompas hidup. Dalam dunia yang dipenuhi godaan kekuasaan dan kompromi moral, pilihan untuk tetap selaras dengan cahaya adalah tindakan radikal dan langka.


Dalam politik, saya selalu mengingat keputusan Mohammad Hatta yang mundur dari jabatan wakil presiden karena arah ideologis Sukarno tak lagi sejalan dengan keyakinannya (Ricklefs, 2008). Padahal, Sukarno adalah sosok yang luar biasa dalam banyak hal. Namun, ketika kekuasaan menjadi candu, ia pun berubah. Transformasi Sukarno ini tidak serta-merta menghapus jasanya, tetapi jadi pengingat bahwa bahkan orang besar pun bisa terpeleset ketika terlalu lama berada dalam pusaran kuasa.


 Pola itu terus berulang. Para aktivis 1998, misalnya—dulu lantang melawan ketidakadilan, kini sebagian justru menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka tentang (Heryanto, 1999). Ini bukan tuduhan serampangan, tapi refleksi pahit tentang bagaimana idealisme bisa terkikis oleh kenyamanan, jabatan, atau bahkan “uang haram” yang masuk sedikit demi sedikit ke dalam hidup mereka.


Uang haram, sekecil apa pun, bisa mengubah karakter manusia. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa makanan dan harta yang tak halal menimbulkan kegelapan dalam hati, mematikan sensitivitas spiritual, dan menumpulkan intuisi terhadap kebenaran. Saya percaya, karakter tidak runtuh secara tiba-tiba, tetapi goyah dari dalam karena kompromi kecil yang terus dibiarkan.


Itulah kenapa menjaga diri dari yang haram—bahkan dari yang syubhat (samar hukumnya)—bukan sekadar sikap konservatif, tapi bentuk kehati-hatian batin. Rasulullah saw. pernah menolak makan daging dzob (sejenis kadal gurun) saat ditawari para sahabat. Meskipun beliau tidak mengharamkannya secara hukum, beliau menolak karena merasa jijik dan tak biasa memakannya (HR. Bukhari-Muslim). Ini pelajaran penting: Rasul tidak melarang orang lain, tapi memilih menjaga kejernihan batin dari sesuatu yang tak jelas. Karena hati yang bersihlah yang bisa menangkap bisikan kebenaran.


Banyak orang berkata, “yang penting niatnya baik.” Tapi niat baik tanpa penjagaan diri bisa berubah arah. Kita perlu lebih dari sekadar niat—kita butuh integritas dan prinsip yang berakar kuat. Dan bagi saya, integritas itu berarti tetap berjalan dalam cahaya, meski harus sendirian. Tetap menjaga, meski orang lain menganggap berlebihan. Karena saya sadar, harga dari satu kompromi kecil bisa jadi adalah nurani saya sendiri.



Setia pada cahaya bukan berarti anti manusia. Saya bisa mencintai sosok, tapi tak segan meninggalkannya jika ia menyimpang dari nilai. Karena manusia bisa berubah, tapi cahaya kebenaran tidak. Dan dalam dunia yang semakin membingungkan ini, saya memilih menjadi pelayan cahaya—bukan pelayan kekuasaan, bukan pula pelayan tren.

 

Referensi:

  • Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Kitab Halal dan Haram.
  • Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Palgrave Macmillan.
  • Heryanto, Ariel. (1999). Reformasi, Resistance, and Change in Indonesia. Postcolonial Studies Journal.
  • HR. Bukhari dan Muslim: tentang penolakan Nabi terhadap daging dzob.

 

Minggu, 25 Mei 2025

Lindungi Mata Sebelum Terlambat: Panduan Cerdas Menjaga Kesehatan Mata di Era Digital

             Bayangkan sejenak: sepasang mata Anda telah bekerja keras sejak bangun pagi, memindai pesan-pesan di ponsel, menatap laptop sepanjang jam kerja, hingga larut malam menyimak konten digital tanpa jeda. Tanpa disadari, organ paling vital dalam hidup ini,mata, dipaksa bekerja tanpa istirahat, terpapar cahaya biru berjam-jam lamanya. Apakah Anda yakin mata Anda baik-baik saja?

Di balik kemudahan teknologi, tersembunyi risiko yang nyata. Fenomena ini bahkan telah memiliki nama: Computer Vision Syndrome (CVS). Gejalanya sering dianggap sepele—mata pegal, kering, pandangan buram, bahkan pusing dan sulit tidur. Namun, tahukah Anda? Jika dibiarkan terus-menerus, efek jangka panjangnya bisa mengarah pada penurunan ketajaman penglihatan, mata minus, hingga risiko katarak dini (Sheppard & Wolffsohn, 2018).

Lebih dari 90% pengguna komputer mengalami gejala CVS (American Optometric Association, 2021). Bahkan anak-anak, yang kini sejak dini akrab dengan gawai, berisiko mengalami gangguan tidur, kecemasan, dan penurunan fokus karena paparan layar yang berlebihan (AAP, 2016). Masih merasa ini sepele?



Waktunya Peduli dan Bertindak

Kabar baiknya: kerusakan mata akibat paparan layar bisa dicegah. Salah satu cara paling sederhana dan efektif adalah dengan melatih otot mata secara rutin, sama seperti Anda melatih otot tubuh agar tetap bugar.

·       Latihan Fokus Jauh-Dekat

Latihan sederhana ini bisa Anda lakukan di mana saja, dan manfaatnya luar biasa untuk kekuatan otot mata bagian dalam (otot siliaris). Caranya mudah: cukup fokuskan pandangan pada objek dekat (misalnya ujung jari atau pena) selama 15 detik, lalu alihkan pandangan ke objek jauh (seperti pepohonan atau bangunan di kejauhan) selama 15 detik. Ulangi sebanyak 10 kali. Latihan ini menjaga kelenturan lensa mata, sekaligus mengurangi risiko mata cepat lelah akibat kebiasaan menatap layar tanpa henti.

·       Aturan 20-20-20

Aturan emas ini wajib diterapkan bagi siapa pun yang bekerja di depan layar digital. Setiap 20 menit menatap layar komputer, ponsel, atau tablet, luangkan waktu sejenak untuk mengalihkan pandangan ke objek sejauh 20 kaki (sekitar 6 meter) selama 20 detik. Terbukti, jeda singkat ini mampu mengurangi ketegangan mata dan menjaga keseimbangan fokus mata. Mungkin terlihat sepele, tapi inilah kebiasaan kecil yang bisa menyelamatkan penglihatan Anda di masa depan.

·       Pergerakan Bola Mata

Tak hanya otot tubuh yang perlu digerakkan—otot mata pun butuh olahraga! Latihan ini melibatkan gerakan bola mata secara perlahan ke arah kiri-kanan, atas-bawah, lalu memutar searah dan berlawanan jarum jam. Gerakan ini bertujuan untuk menjaga elastisitas otot ekstraokular, meningkatkan koordinasi, serta membantu mata tetap responsif meski digunakan seharian. Lakukan rutin setiap pagi dan sore, dan rasakan mata Anda terasa lebih ringan dan nyaman.

·       Palming

Ingin istirahat sejenak tanpa harus tidur? Cobalah teknik palming—sebuah cara alami untuk memberikan relaksasi instan pada mata yang lelah. Gosok kedua telapak tangan hingga hangat, lalu tutupkan ke mata yang tertutup selama 1–2 menit sambil menarik napas dalam dan tenang. Kehangatan dari telapak tangan meredakan ketegangan saraf optik dan mengembalikan energi mata. Teknik ini cocok dilakukan saat transisi dari aktivitas padat ke waktu istirahat.

Namun jangan berhenti di situ. Mata Anda juga butuh nutrisi dari dalam agar tetap sehat dan awet muda. Vitamin A, lutein, zeaxanthin, omega-3, vitamin C, E, dan zinc adalah paket lengkap yang dibutuhkan retina, lensa, dan saraf optik agar tetap tajam dan tahan terhadap paparan sinar biru. Semua ini bisa didapat dari makanan seperti wortel, sayuran hijau, kuning telur, ikan laut, buah citrus, dan biji chia (NEI, 2013).

💊 Butuh Dukungan Tambahan? Ini Rekomendasi Vitamin Mata yang Bagus: Eyebost Essential Pro



Jika aktivitas Anda intens dan waktu istirahat mata sangat terbatas, suplemen alami bisa menjadi penyelamat. Salah satu pilihan yang direkomendasikan oleh banyak pengguna adalah Eyebost Essential ProVitamin Mata yang Bagus berbasis madu hutan yang diperkaya dengan bilberry, bunga marigold, dan wortel pilihan.

 Kandungan Utama:

Bahan

Khasiat

Bilberry

Menjaga pembuluh darah mata dan penglihatan malam

Marigold

Sumber lutein & zeaxanthin

Madu Hutan

Antiradang alami, melembapkan mata

Wortel

Kaya beta-karoten (vitamin A)

 

Tidak sekadar menjaga, Eyebost Essential Pro merawat mata Anda secara menyeluruh:

·       Menjaga dan Meningkatkan Kesehatan Mata

Eyebost membantu memelihara ketajaman penglihatan, menjaga kelembapan mata, dan melindungi dari kerusakan akibat radikal bebas serta sinar biru dari layar digital. 

·       Mencegah dan Mengurangi Risiko Gangguan Penglihatan

Kandungan lutein dan zeaxanthin dalam Eyebost berperan dalam menyaring sinar biru dan melindungi retina, sehingga dapat membantu mencegah perkembangan mata minus, katarak, dan glaukoma

·       Meredakan Gejala Iritasi dan Kelelahan Mata

Eyebost efektif dalam mengurangi gejala seperti mata kering, merah, berair, dan perih akibat iritasi atau paparan polusi.

·       Komposisi Alami dan Aman

Terbuat dari bahan-bahan alami seperti madu hutan, ekstrak bilberry, bunga marigold, dan wortel, Eyebost aman dikonsumsi oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak dan lansia.

Dengan rasa madu alami yang menyenangkan dan bentuk kapsul yang praktis, Eyebost Essential Pro cocok dikonsumsi oleh siapa saja: pelajar, pekerja kantoran, lansia, bahkan anak-anak. Sertifikasi halal dan izin resmi BPOM semakin memperkuat reputasinya sebagai vitamin mata yang tidak hanya bagus, tapi juga aman dan terpercaya.

Jadi jika Anda sedang mencari vitamin mata yang bagus, Eyebost Essential Pro layak menjadi pilihan utama Anda. Karena ketika nutrisi terbaik berpadu dengan bahan alami pilihan, hasilnya bukan hanya membantu, tapi melindungi dalam jangka panjang.




Cara Konsumsi Eyebost

  • Dosis Umum: 1–2 sendok teh per hari setelah makan.
  • Bentuk Produk: Tersedia dalam bentuk madu cair dan kapsul (Eyebost Essential PRO).
  • Sertifikasi: Telah mendapatkan sertifikasi halal dari MUI dan izin edar dari BPOM.

 Satu Langkah Kecil, Dampak Besar untuk Masa Depan Mata Anda

Mata bukan sekadar alat melihat. Mata adalah jendela kehidupan—yang mempertemukan kita dengan orang yang kita cintai, yang membuka peluang kerja, dan menjadi penghubung kita dengan dunia. Jangan tunggu hingga penglihatan Anda memudar untuk mulai peduli.

Lakukan langkah sederhana:

  • Istirahatkan mata secara rutin
  • Lakukan senam mata
  • Konsumsi makanan bergizi
  • Dan beri perlindungan ekstra dengan Vitamin Mata yang Bagus Eyebost Essential Pro

Karena menjaga mata hari ini adalah investasi untuk kualitas hidup di masa depan.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan klik link berikut: https://eyebost.id/blog/




Daftar Pustaka

  • American Academy of Pediatrics. (2016). Media and Young Minds. Pediatrics, 138(5), e20162591. https://doi.org/10.1542/peds.2016-2591
  • American Optometric Association. (2021). Computer Vision Syndrome (Digital Eye Strain).
  • Herbaleaf.id. (2024). Eyebost: Suplemen Herbal Mata. https://herbaleaf.id/eyebost
  • National Eye Institute. (2013). Nutrition and Eye Health. https://www.nei.nih.gov
  • Rosenfield, M. (2016). Computer vision syndrome: a review of ocular causes and potential treatments. Ophthalmic and Physiological Optics, 36(5), 502–515. https://doi.org/10.1111/opo.12313
  • Sheppard, A. L., & Wolffsohn, J. S. (2018). Digital eye strain: prevalence, measurement and amelioration. BMJ Open Ophthalmology, 3(1), e000146. https://doi.org/10.1136/bmjophth-2018-000146
  • #vitaminmatayangbagus #vitaminmataeyebost #eyebostessentialpro #vitaminmataterbaik #lebihampuh #optimallindungimata #vitaminmataeyebostpro #eyebostessentialpro

Sabtu, 17 Mei 2025

Ketika Anak Gajah Mati dan Kutukan Pandu: Cermin Retak Peradaban Manusia

         Hari Ibu Internasional, 11 Mei, menjadi duka bisu bagi seekor induk gajah liar di Jalan Raya Timur–Barat (Gerik–Jeli), Perak, Malaysia. Seekor anak gajah betina berusia sekitar tujuh tahun tewas tertabrak SUV Nissan X-Trail yang melaju kencang pada malam hari. Bangkainya tergeletak di sisi jalan, dan sang induk terlihat mondar-mandir dengan gelisah di dekatnya (Utusan Borneo, 2025; RTM News, 2025). Sementara itu, pengendara hanya mengalami luka ringan. Yang benar-benar kehilangan adalah sang ibu gajah—dan mungkin, kemanusiaan kita.



Ilustrasi induk gajah menangisi anaknya yang mati



Insiden ini bukan yang pertama. Jalan Raya Timur–Barat telah lama menjadi koridor konflik antara kendaraan manusia dan habitat gajah liar. Menurut World Wildlife Fund (WWF Malaysia), hilangnya habitat dan fragmentasi ekosistem gajah telah memaksa mereka menyebrangi jalanan berbahaya demi bertahan hidup. Tragedi ini adalah peringatan keras bahwa pembangunan tanpa batas dan egoisme manusia dapat menjadi bentuk kekerasan sistemik terhadap makhluk hidup lainnya.



Relevansi dengan Kutukan Pandu, Tokoh Mahabarata


Saya jadi teringat kisah dalam Mahabharata, ketika Pandu—ayah  para Pandawa—tanpa sadar membunuh sepasang rusa yang tengah bercinta. Ternyata, mereka adalah jelmaan Resi Kindama dan istrinya. Atas perbuatannya, Pandu dikutuk: jika ia melakukan hubungan suami-istri, maka ia akan mati. Kutukan ini menjadi nyata saat Pandu bercinta dengan istrinya, Madrim, hingga akhirnya keduanya meninggal. Bukan hanya kematian fisik, tapi juga simbol kehancuran spiritual akibat ketidaktahuan dan ketidaksabaran (Altekar, A.S., 1956. The Position of Women in Hindu Civilization).


Kisah ini sarat pesan: bahwa cinta dan kelahiran adalah hal suci—dan segala bentuk gangguan atas kesucian itu, akan kembali menghantam pelakunya. Seperti Pandu, kita hidup di zaman yang tak sadar telah mengusik kesucian kehidupan—bukan dengan panah, tetapi dengan pembangunan rakus, mobil melaju tanpa empati, dan sistem yang tak memikirkan keseimbangan ekologi.


Dalam konteks itu pula, Kunti tampil sebagai figur ibu yang kompleks dan agung. Tanpa hubungan biologis dengan Pandu, ia melahirkan para Pandawa melalui doa suci kepada para dewa (Devdutt Pattanaik, 2010. Jaya: An Illustrated Retelling of the Mahabharata). Ia bukan hanya seorang ibu, tetapi simbol dari rahim semesta yang mampu melahirkan bibit unggul melalui kesadaran, bukan egoisme. Bahkan, Kunti membagikan mantra kesaktiannya kepada Madrim agar bisa turut melahirkan Nakula dan Sadewa. Sebuah bentuk solidaritas dan pengorbanan perempuan yang hari ini, dalam budaya patriarki modern, kerap tak dimengerti.


Maka, bercinta dan melahirkan bukan sekadar biologis, tetapi bagian dari ritual kesadaran. Keduanya adalah bentuk penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri. Ketika Pandu melanggar kutukannya karena hasrat, dan Madrim membiarkan dirinya larut dalam godaan, mereka sama-sama melupakan konsekuensi. Dan di sanalah kutukan bekerja: bukan karena murka, tapi karena keseimbangan alam tak bisa ditipu.


Hari ini, mungkin kita tidak membunuh rusa dengan panah. Tapi kita menabrak anak gajah, menebang hutan, menggusur satwa, dan tetap merasa tak bersalah. Kita merasa sah-sah saja membangun jalan, membunuh nyawa, dan berlindung di balik hukum dan rambu. Mungkin kita lupa, bahwa hukum alam lebih purba dari hukum negara.


Maka pertanyaannya: apakah kita lebih bijak dari Pandu? Ataukah kita sedang mengulangi kutukan itu dalam versi yang lebih diam-diam, lebih sistematis, lebih modern?




Belajar dari Pandu dan Madrim


Kisah Pandu dan Madrim memberi kita pelajaran penting: bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Pandu membunuh rusa tanpa menyadari konteksnya, dan Madrim melupakan bahaya kutukan demi memenuhi keinginan. Keduanya akhirnya mati bukan karena takdir semata, tetapi karena pilihan yang diambil tanpa kesadaran dan tanggung jawab.


Hari ini, kita juga menghadapi situasi serupa. Mungkin kita tidak memegang busur panah seperti Pandu, tetapi kita memegang kemudi, menggenggam keputusan, dan mengendalikan proyek yang bisa berdampak besar bagi makhluk hidup lain. Ketika kita mengabaikan dampak dari pembangunan, eksploitasi alam, atau kebijakan yang menyingkirkan yang lemah, kita sesungguhnya sedang mengulang kesalahan yang sama—hanya dalam bentuk yang lebih modern.


Karena itu, penting bagi kita untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Tidak cukup hanya menyesal setelah terjadi. Kita harus mulai bertindak lebih bijak, berpikir lebih panjang, dan merespons dengan empati. Jangan ulangi tindakan Pandu yang terburu-buru, atau keputusan Madrim yang mengabaikan risiko. Dunia tidak butuh lebih banyak orang pintar yang egois, tapi lebih banyak manusia sadar yang peduli pada keseluruhan siklus kehidupan.


Hari Ibu seharusnya menjadi peringatan akan kekuatan kasih, bukan kesedihan karena kehilangan anak. Tapi di sisi jalan Gerik–Jeli malam itu, seekor induk gajah menangisi anaknya yang mati karena kelalaian manusia. Dan mungkin, jika kita masih memiliki empati—kisah ini cukup untuk membuat kita bercermin: bahwa tak ada peradaban yang pantas disebut agung jika masih tega mengorbankan kehidupan yang lemah demi ego yang tak pernah cukup.


Hanya dengan kesadaran semacam inilah, kita bisa mencegah kutukan-kutukan baru lahir di zaman kita sendiri.




📚 Referensi:

  • RTM News. (2025, 15 Mei. Anak Gajah Mati Dilanggar Kenderaan di Gerik. Diakses dari https://berita.rtm.gov.my
  • Utusan Borneo. (2025, 15 Mei). Anak Gajah Mati Dilanggar Kenderaan di JRTB. Diakses dari https://www.utusanborneo.com.my
  • WWF Malaysia. (2022). Elephant Conservation in Peninsular Malaysia. https://www.wwf.org.my
  • Devdutt Pattanaik. (2010). Jaya: An Illustrated Retelling of the Mahabharata. Penguin India.
  • Altekar, A.S. (1956). The Position of Women in Hindu Civilization. Motilal Banarsidass.

 

Selasa, 13 Mei 2025

Mati Itu Tak Bisa Direncanakan, Tapi Bisa Diketahui

           Kematian adalah misteri yang paling pasti. Ia tak datang dengan pengumuman, tapi seringkali mengetuk hati orang-orang tertentu jauh-jauh hari sebelum ajal menjemput. Saya masih ingat jelas kisah wafatnya nenek saya. Di usia yang sudah sangat renta, ia tidak hanya bersikap tenang, tapi bahkan menyambut kedatangan tamu-tamunya yang tak kasatmata. Kala itu, beliau memanggil budhe saya, meminta dibuatkan minuman untuk "empat pria berbaju putih yang datang bertamu." Hanya beliau yang bisa melihat. Dan tak lama setelah itu, beliau wafat dalam damai. Tak ada drama, tak ada teriakan, seolah hanya pindah kamar dari dunia ke akhirat.

Ilustrasi Surga dan Neraka



Fenomena semacam ini tidak asing dalam tradisi banyak masyarakat. Dalam kajian antropologi kematian, Clifford Geertz pernah mencatat bahwa banyak komunitas tradisional meyakini bahwa tanda-tanda kematian bisa hadir dalam mimpi, perilaku aneh, atau bahkan semacam firasat mendalam (Geertz, 1973). Dalam literatur Islam, bahkan Rasulullah SAW pun memberikan isyarat bahwa orang-orang yang akan wafat seringkali diberi “tanda” atau “kepekaan batin” menjelang ajalnya. Allah berfirman dalam Surah Qaf ayat 19: "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya."


Namun, tidak semua kematian hadir seindah kisah nenek saya. Ada yang pergi dengan linangan air mata, dengan pelukan yang belum usai, dengan janji yang masih menggantung. Bukan berarti yang dramatis itu salah, tapi sebagaimana ikhlas tak bisa dipaksakan, demikian juga kesiapan meninggal. Orang yang hidupnya sudah selesai dengan urusan dunia cenderung lebih lapang. Ia tak lagi disibukkan oleh keinginan-keinginan yang membebani. Sementara kita—yang masih ingin ini, ingin itu, menyelesaikan ini, menggapai itu—seringkali merasa belum siap mati. Dan itu wajar.


Psikolog Elisabeth Kübler-Ross, dalam teorinya tentang lima tahap menghadapi kematian (denial, anger, bargaining, depression, acceptance), menjelaskan bahwa penerimaan adalah tahap paling akhir dan paling berat (Kübler-Ross, 1969). Dalam praktiknya, banyak orang tidak pernah benar-benar mencapai tahap ini, bahkan sampai ajal menjemput. Keikhlasan terhadap kematian membutuhkan proses spiritual yang panjang: merenungi makna hidup, menyelesaikan konflik batin, dan—terutama—mengikhlaskan keterikatan pada dunia.


Teori Lima Tahap Duka Elisabeth Kübler-Ross (Five Stages of Grief / Kübler-Ross Model)


Psikolog dan psikiater Swiss-Amerika, Elisabeth Kübler-Ross, memperkenalkan teorinya tentang lima tahap respon manusia terhadap kematian dan kehilangan dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying (1969). Teori ini awalnya dikembangkan dari studinya terhadap pasien-pasien terminal—orang-orang yang telah divonis memiliki waktu hidup terbatas. Namun, dalam perkembangannya, model ini juga digunakan untuk memahami berbagai bentuk kehilangan: mulai dari kematian orang terkasih, perceraian, kehilangan pekerjaan, hingga hilangnya identitas atau masa depan.


Kelima tahap tersebut tidak selalu dialami secara berurutan dan tidak semua orang akan melalui kelimanya. Namun, teori ini membantu kita memahami dinamika psikologis seseorang saat menghadapi kenyataan tentang kematian atau kehilangan besar.


  1. Denial (Penolakan)
    “Saya tidak percaya ini terjadi.”
    Penolakan adalah respon awal terhadap kabar buruk yang mengejutkan, seperti diagnosis penyakit terminal atau kabar kematian orang terkasih. Ini adalah mekanisme pertahanan alami untuk meredakan efek keterkejutan. Otak dan hati seolah belum siap menerima kenyataan.

Contoh: Seorang pasien kanker yang baru didiagnosis mungkin mengatakan, “Tidak mungkin, hasilnya pasti salah.” Seseorang yang kehilangan pasangan bisa tetap menata meja makan untuk dua orang setiap hari, seperti biasa.

Dalam Islam, bentuk penolakan semacam ini bisa dipahami sebagai bagian dari fitrah manusia yang belum sepenuhnya siap menerima takdir. Namun, melalui zikir dan tadabbur, Islam mendorong agar manusia berpindah dari penolakan menuju penerimaan takdir Allah (rida bi qadha’illah).


  1. Anger (Kemarahan)
    “Kenapa aku? Ini tidak adil!”
    Setelah penolakan mulai memudar dan realitas mulai terasa, muncul perasaan marah. Kemarahan ini bisa diarahkan ke diri sendiri, orang lain, dokter, sistem, bahkan Tuhan. Ini adalah fase emosi yang kuat, terkadang meledak-ledak atau pasif-agresif.

Contoh: “Tuhan tidak adil!” atau “Kalau saja dokter bertindak lebih cepat, ini tidak akan terjadi.”

Kemarahan bisa menjadi pintu masuk ke dialog batin dan kejujuran emosi. Dalam Islam, ekspresi marah terhadap takdir memang tidak dianjurkan, tetapi perasaan itu dipahami sebagai bagian dari proses. Nabi ﷺ sendiri mengajarkan agar orang yang marah mencari ketenangan: duduk jika sedang berdiri, berwudhu, dan mengingat Allah.


  1. Bargaining (Tawar-menawar)
    “Kalau aku sembuh, aku janji akan lebih taat.”
    Tahap ini ditandai dengan upaya ‘menegosiasikan’ realitas demi harapan. Seseorang mulai mencari celah atau pengganti agar bisa membatalkan kenyataan yang menyakitkan. Tawar-menawar bisa berbentuk janji pada Tuhan, mencoba ‘beramal lebih’ agar kematian tertunda, atau berharap bisa ‘menukar’ kondisi.

Contoh: “Ya Allah, sembuhkan aku, nanti aku akan rajin salat dan tidak lalai lagi.”

Dalam konteks spiritual, fase ini bisa menjadi titik balik jika direspons dengan niat tulus. Tawar-menawar ini, jika ditransformasikan, bisa menjadi awal dari taubat dan perubahan perilaku. Namun jika tidak diterima dengan sadar, bisa menimbulkan kekecewaan mendalam saat realitas tetap berjalan.


  1. Depression (Kedukaan atau Keputusasaan)
    “Saya benar-benar kehilangan harapan.”
    Ketika tawar-menawar tidak “mengubah” apa pun, dan realitas semakin nyata, kesedihan mulai mendalam. Individu merasa hampa, kehilangan semangat, merasa tidak punya arah. Ini bisa menjadi fase yang gelap, tapi juga jujur, karena tidak lagi menolak kenyataan.

Contoh: “Semua tidak ada artinya.” atau “Saya lelah, untuk apa hidup?”

Dalam Islam, kesedihan bukan sesuatu yang tabu. Bahkan Nabi Ya’qub as pun menangis sampai matanya buta ketika kehilangan Yusuf as. Yang penting bukan menahan tangis, tapi bagaimana tetap menjaga harapan kepada Allah (husnuzan billah) di tengah kesedihan. Doa, dzikir, dan support sosial sangat penting di fase ini.


  1. Acceptance (Penerimaan)
    “Saya damai dengan ini.”
    Penerimaan bukan berarti bahagia atau rela kehilangan, tetapi mampu hidup berdampingan dengan kenyataan. Dalam fase ini, seseorang mulai menyusun ulang hidupnya dengan situasi yang ada. Tidak semua orang mencapai tahap ini, dan tidak semua mencapainya dengan cara yang sama.

Contoh: “Saya siap kalau ini memang saatnya.” atau “Saya ingin memanfaatkan sisa waktu saya dengan baik.”

Dalam Islam, penerimaan terhadap takdir disebut rida (رضا). Imam Al-Ghazali menulis bahwa rida adalah puncak dari sabar dan bentuk tertinggi dari kepasrahan kepada kehendak Allah. Seseorang yang wafat dalam keadaan rida disebut akan mendapat keridhaan Allah juga:

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah: 8)

 

Menariknya, dalam berbagai laporan kasus akhir hayat (end-of-life experiences), beberapa pasien dengan penyakit terminal yang menerima kematian mereka justru wafat dalam damai. Penelitian dari Harvard Medical School (2014) menunjukkan bahwa pasien paliatif yang menerima kondisi mereka secara spiritual dan emosional cenderung mengalami “kematian yang lebih baik” — minim intervensi medis berlebihan dan lebih tenang secara psikologis.


Tapi, di balik semua itu, satu hal pasti: kematian tak akan pernah datang dengan permisi. Ia seperti tamu yang datang di luar musim, yang tak menunggu kita rapi berdandan atau membereskan rumah jiwa kita. Maka, mempersiapkan diri untuk kematian bukanlah tindakan muram. Justru, itu adalah bentuk paling luhur dari mencintai hidup: dengan menyadari bahwa setiap detiknya berarti, karena ia bisa saja yang terakhir.



 

Persiapan Kematiaan dalam Islam


    Saya lama merenungi peristiwa itu. Bahwa ternyata, meski mati tak bisa direncanakan, ia kadang bisa “diketahui”—terutama oleh jiwa-jiwa yang telah selesai urusannya di dunia. Dalam Islam, kematian bukan sekadar akhir, tapi juga titik balik. Ia bukan sekadar penutup hidup, tapi juga pembuka menuju kehidupan hakiki di akhirat.

Kematian adalah keniscayaan. Dalam bahasa Al-Qur’an:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
"Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati."
(QS. Ali Imran: 185)

Tak ada satupun makhluk yang bisa menghindar, mempercepat, apalagi menunda. “Maut yang kamu lari darinya, justru akan menemui kamu,” firman Allah dalam QS. Al-Jumu’ah: 8. Bahkan malaikat maut pun tak menunggu kesiapan kita, sebagaimana disebut dalam QS. As-Sajdah: 11, bahwa malaikat maut telah ditugaskan untuk mencabut nyawa tiap jiwa.


Kematian bukan sesuatu yang asing dalam Islam, justru ia adalah pengingat paling nyata tentang hakikat hidup. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi) Bukan untuk membuat hidup muram, tapi agar manusia lebih sadar akan batasnya.


Namun, bersiap mati bukanlah perkara mudah. Karena sebagaimana ikhlas, meninggalkan dunia—yang begitu kita cintai—menuntut pelepasan. Banyak dari kita yang masih bergantung: pada cita-cita, pada orang-orang terkasih, pada ambisi-ambisi yang belum tercapai. Maka wajar bila banyak yang belum siap mati.


Imam Al-Ghazali bahkan menyebut bahwa mengingat mati adalah kunci lembutnya hati. “Orang yang paling cerdas adalah yang paling banyak ingat mati dan paling serius mempersiapkannya.” (Ihya’ Ulumuddin). Dalam pandangannya, semakin dekat seseorang pada Allah, semakin ringan ia memandang kematian.


Imam Ibn Qayyim dalam Kitab ar-Ruh menulis bahwa ruh orang beriman akan disambut malaikat dengan sapaan damai, diperlihatkan tempatnya di surga, dan mendapatkan ketenangan di alam barzakh. Sebaliknya, ruh orang yang durhaka menghadapi penyempitan kubur dan penyesalan.


Saya kira, kalaupun kematian tak bisa direncanakan, ia tetap bisa “diketahui”—dalam artian dirasakan kehadirannya lewat batin yang peka dan jiwa yang lapang. Mungkin itu pula sebabnya nenek saya menyambut “empat pria berbaju putih” itu dengan tenang. Karena bagi orang yang telah selesai dengan hidupnya, kematian bukan lagi penutup, tapi pintu pulang yang dinanti.


Nenek saya, menurut saya, termasuk golongan pertama itu. Ia wafat setelah menyelesaikan “pekerjaan rumahnya” di dunia. Ia telah memaafkan, melepas, dan menyiapkan diri. Maka tak heran jika ketika malaikat maut datang—mungkin dalam rupa empat pria berbaju putih—beliau menyambutnya sebagai tamu, bukan momok yang menakutkan.


Dari kisah itu, saya belajar satu hal penting: bahwa kematian memang tidak bisa dipastikan waktunya, tapi ia bisa dipersiapkan. Dengan hidup yang lebih jujur, lebih lembut, dan lebih ringan. Kita mungkin belum sampai pada tahap ikhlas sepenuhnya. Tapi setidaknya, kita bisa mulai berjalan ke arah itu. Karena sejatinya, hidup yang baik adalah hidup yang siap untuk mati kapan saja.


Dan bukankah kematian itu, sejatinya, hanyalah jalan pulang?

 

 

📚 Referensi:

Al-Qur’an: QS. Ali Imran: 185; Al-Jumu’ah: 8; As-Sajdah: 11; Al-Mulk: 2

Hadis Nabi SAW: HR. Tirmidzi, HR. Hakim, HR. Ahmad, HR. Abu Dawud

Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Kitab ar-Ruh

Kübler-Ross, E. (1969). On Death and Dying

Harvard Medical School (2014). End-of-life care studies