My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Sabtu, 15 November 2025

Naga: Legenda, Misteri, dan Jejak Spiritual di Dunia Kita

 Siapa yang tak kenal naga? Dalam tradisi Tiongkok, salah satu shio adalah naga makhluk legendaris yang tak pernah nyata di dunia kita. Tapi, legenda naga ada di hampir semua budaya, dari Timur sampai Barat, meski bentuknya berbeda-beda (Eberhard, 1986; de Visser, 1913).


Rhaenyra dan naganya dalam House of Dragon


Pertanyaannya: kalau naga memang pernah ada, mengapa mereka menghilang? Beberapa cerita mengatakan, naga “pamit” karena manusia serakah. Di zaman dulu, manusia bisa hidup 200–300 tahun atau lebih, tapi ada yang malas berusaha dan justru ingin abadi dengan cara instan: memburu naga untuk dimakan dagingnya (Campbell, 1949). Tentu saja, hal ini membuat para naga risih dan memilih bersembunyi entah ke laut, perut bumi, atau langit lalu perlahan menjadi makhluk gaib.


Sejak masuk ke zaman Kaliyuga, sekitar 432 ribu tahun lalu menurut mitologi Hindu, moral manusia mulai menurun (Bhattacharyya, 2003). Bahkan kekuatan kecil pun bisa menyebabkan kekacauan. Dari kehancuran Atlantis (Plato, Timaeus & Critias) sampai banjir Nabi Nuh (Al-Quran, Surah Hud: 25–48), legenda mengatakan bumi beberapa kali nyaris hancur karena sifat buruk manusia. Kemerosotan moral ini yang membuat banyak gerak manusia semakin dibatasi dengan dipisahkannya alam manusia dan alam gaib termasuk berinteraksi dengan makhluk naga.


Namun ada yang beruntung. Mereka yang menapaki jalan spiritual, seperti para wali misal Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga dikatakan mampu menaklukkan naga. Tapi ini terjadi sekitar 500 tahun lalu (Ricklefs, 2001). Di era modern, tantangan jauh lebih berat. Usia manusia pendek, dan meski sudah mulai sadar, kita tetap membawa “warisan energi” leluhur yang perlu dimurnikan. Jadi, “menaklukkan naga” sekarang lebih soal penyucian diri daripada pertarungan fisik dan itu pun sudah luar biasa.



Pusaka Karomah Sunan Gunung Jati


Keris Sanghyang Naga dikenal sebagai salah satu pusaka legendaris yang dimiliki oleh Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Jawa, khususnya di wilayah Cirebon. Keris ini diyakini bukan sekadar senjata, melainkan manifestasi dari karomah dan kedekatan spiritual Sunan Gunung Jati dengan Allah SWT. Konon, Sanghyang Naga diperolehnya secara gaib saat beliau sedang melakukan tafakur (meditasi spiritual) yang intensif di bulan Ramadan, khususnya pada sepuluh hari terakhir menjelang malam Lailatul Qadar. Kisah ini menekankan bahwa pusaka tersebut merupakan anugerah Illahi, bukan didapatkan melalui kekuatan fisik atau ilmu kesaktian biasa, melainkan buah dari kesucian dan keikhlasan ibadahnya.


Keris Sanghyang Naga sering disebut dalam berbagai naskah kuno Cirebon, seperti Naskah Mertasinga, dan memiliki kesamaan sebutan dengan Keris Kantha Naga. Secara fisik, pusaka ini dikisahkan tidak memiliki luk (lekuk) pada bilahnya (disebut dapur lurus), namun di bagian pangkal dekat gagang terdapat ukiran motif naga yang menjadi ciri khas namanya, melambangkan kekuatan dan kebijaksanaan. Di samping menjadi pusaka pribadi Sunan Gunung Jati, keris ini juga disebut memainkan peran penting dalam sejarah penyebaran Islam. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah penggunaannya untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar, di mana keris tersebut dipinjamkan kepada Sunan Kudus atau Sunan Giri sebagai simbol keputusan Dewan Wali Songo.


Lebih dari sekadar benda pusaka, kisah Keris Sanghyang Naga mengajarkan tentang nilai spiritual yang mendalam. Keris ini melambangkan kekuasaan yang diperoleh melalui jalan ketakwaan (karomah), bukan kekuasaan duniawi semata. Sunan Gunung Jati sendiri pernah berpesan bahwa keris tersebut, atas kehendak Allah, dapat menghilang jika kelak anak cucunya tidak lagi mampu meminta sih (anugerah) dari Yang Maha Esa. Pesan ini menjadi pengingat bagi generasi penerusnya bahwa kekuatan sejati terletak pada hubungan spiritual yang kuat dan keimanan, serta bahwa pusaka tersebut hanyalah alat atau simbol dari asal muasal (asal-usul) perjuangan dan karomah para wali.


Naga dalam Mitologi dan Budaya Nusantara


1. Naga dalam Kosmologi Jawa-Bali: Naga Banda dan Naga Raja


Naga memegang peran sentral sebagai penjaga bumi dan simbol kesuburan. Dalam mitologi Jawa dan Bali, terdapat sosok Naga Banda yang digunakan dalam upacara keagamaan seperti Ngaben (upacara pembakaran jenazah di Bali) sebagai simbol pengembalian roh ke alam semesta. Selain itu, Naga Raja dipercaya sebagai penguasa bumi atau dunia bawah (perwujudan dari Anantaboga), berlawanan dengan Garuda yang menguasai langit. Naga juga dilambangkan pada arsitektur pura, candi, dan keraton sebagai penjaga gerbang dari kekuatan jahat.


2. Naga di Kalimantan: Lembuswana

Di Kalimantan Timur, simbol yang sangat populer adalah Lembuswana, makhluk mitologi yang merupakan perpaduan antara lembu (sapi), garuda (elang), dan naga. Lembuswana memiliki tanduk dan belalai lembu, bersayap dan bertaring garuda, namun memiliki sisik naga dan ekornya berbentuk naga. Makhluk ini adalah lambang kerajaan Kutai Kartanegara dan diyakini sebagai penjaga sungai dan simbol keperkasaan, kebijaksanaan, dan perlindungan.

 

3. Naga di Sumatra Utara: Pustaha Batak

Suku Batak di Sumatra Utara memiliki konsep Naga Padoha yang merupakan naga raksasa yang dipercaya bersemayam di dunia bawah. Dalam kosmogoni Batak, dunia dibagi menjadi tiga bagian: dunia atas yang dihuni para dewa, dunia tengah (bumi) yang dihuni manusia, dan dunia bawah tempat Naga Padoha. Naga Padoha digambarkan pada sampul atau bilah Pustaha (kitab kuno Batak) sebagai simbol yang melindungi pengetahuan atau sebagai peringatan akan kekuatan alam bawah yang perlu dihormati.

 

4. Naga sebagai Simbol Kekuasaan: Relief Candi

Di berbagai candi kuno di Jawa, seperti Candi Borobudur dan Prambanan, naga sering muncul dalam bentuk relief atau ukiran. Di sini, naga sering berfungsi sebagai tangga pengaman atau pegangan tangan (disebut naga-taksaka) yang melambangkan jembatan antara dunia manusia dan dewa, sekaligus sebagai simbol penjaga dan penyucian


Legenda naga modern juga muncul di kisah lokal. Misalnya, di Semarang-Demak, warga bercerita tentang “manusia jelmaan naga” yang pernah muncul menanyakan arah dengan ciri aneh. Konon, kalau naga ingin lewat, banjir dulu yang muncul mungkin karena naganya belum bisa teleportasi. Naga jelmaan ini dipercaya piaraan Sunan Kalijaga, sementara naga Sunan Gunung Jati kabarnya diubah menjadi keris, kini tersimpan di Keraton Cirebon. Bisa jadi suatu saat keris itu kembali ke wujud naga tapi untuk apa, ya?


Legenda naga mengajarkan kita sesuatu: kekuatan sejati bukan soal fisik atau keabadian, tapi kemampuan memurnikan diri, menjaga harmoni, dan terhubung dengan alam serta dunia yang lebih luas. Naga itu bukan hanya cerita mistis, tapi cermin perjalanan spiritual manusia. Jadi percaya bahwa naga itu ada?

 

Referensi:

  1. Bhattacharyya, N. N. (2003). History of the Tantric Religion. Manohar.
  2. Campbell, J. (1949). The Hero with a Thousand Faces. Princeton University Press.
  3. de Visser, M. W. (1913). The Dragon in China and Japan. Brill.
  4. Eberhard, W. (1986). A Dictionary of Chinese Symbols. Routledge & Kegan Paul.
  5. Plato. Timaeus & Critias.
  6. Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia since c. 1200. MacMillan.
  7. Al-Quran, Surah Hud: 25–48.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar