Fenomena debt trap diplomacy yang kerap dikaitkan dengan skema pinjaman besar dari China melalui proyek infrastruktur seperti Belt and Road Initiative telah menjadi alarm bagi banyak negara berkembang. Meski terlihat sebagai peluang pembangunan, kenyataannya banyak negara menghadapi beban utang yang tinggi, kemampuan bayar yang menipis, hingga kewajiban strategis yang menggerus kedaulatan.
Indonesia,
yang turut memasuki arus globalisasi investasi dan kerja sama internasional,
memiliki potensi untuk mengambil jalur yang berbeda: bukan hanya membangun
infrastruktur fisik dan menambah utang, melainkan memperkuat manusia, hukum,
dan daya saing bangsa sehingga bukan hanya terhindar dari jebakan utang,
tetapi unggul dibanding pesaing regional seperti Vietnam.
Contoh negara yang sudah “terjebak” atau sangat rentan
Berikut beberapa negara
yang menjadi sorotan dalam literatur sebagai penerima utang besar dari Tiongkok
dan menghadapi risiko tinggi:
1. Sri Lanka
- Sri Lanka meminjam dari Tiongkok untuk
pembangunan Hambantota Port, namun pelabuhan tersebut tidak menghasilkan
pendapatan yang cukup.
- Akibatnya, Sri Lanka menyerahkan
pengelolaan pelabuhan tersebut ke perusahaan Tiongkok dengan kontrak sewa
99 tahun sebagai bagian penyelesaian utang.
- Studi menyebut Sri Lanka salah satu contoh paling jelas yang sering dikutip dalam konteks “debt trap” Tiongkok
2. Laos (Republik Demokratik Laos)
- Laos meminjam dalam skala besar untuk
proyek seperti rel kereta Boten–Vientiane yang dibiayai Tiongkok. TheCommuneMag
- Proporsi utang luar negeri yang besar
kepada Tiongkok: dikatakan hampir 49 % dari utang luar negerinya. asiatimes.com+1
- Karena proyek-proyek tersebut belum
menghasilkan cukup pendapatan, Laos termasuk salah satu negara high
risk of debt distress menurut riset. SpringerLink+1
3. Pakistan
- Pakistan melalui proyek flagshipnya,
China–Pakistan Economic Corridor (CPEC), menerima investasi besar dari Tiongkok
untuk infrastruktur dan energi. Unthinkable Build+1
- Utang Pakistan ke Tiongkok dikatakan
signifikan, dan pembayaran utang eksternal (termasuk ke Tiongkok) menjadi
beban besar bagi anggaran negara. asiasentinel.com+1
- Proyek-proyek belum semua berjalan optimal,
keuangan Pakistan menghadapi tekanan besar. TheCommuneMag
4. Kyrgyzstan & Tajikistan (Asia Tengah)
- Menurut analisis, Kyrgyzstan dan Tajikistan
sangat rentan terhadap “debt-trap diplomacy” Tiongkok karena utang mereka
ke Tiongkok relatif besar dibanding GDP. cacianalyst.org+1
- Contoh: Tajikistan punya utang ke Tiongkok yang mencapai puluhan persen dari utang luar negerinya/atau GDP. cacianalyst.org
|
Negara |
Benua |
Proyek/Pinjaman Utama |
Dampak/Status Utang |
|
Sri Lanka |
Asia |
Pelabuhan Hambantota |
Sewa 99 tahun ke perusahaan Cina karena gagal
bayar utang |
|
Pakistan |
Asia |
Proyek CPEC (China-Pakistan Economic Corridor) |
Utang meningkat, sebagian digunakan untuk
infrastruktur; tekanan fiskal tinggi |
|
Maladewa |
Asia |
Bandara internasional dan infrastruktur
pariwisata |
Utang tinggi, sebagian besar ke Cina;
ketergantungan ekonomi meningkat |
|
Djibouti |
Afrika |
Pelabuhan Doraleh |
Sewa pelabuhan ke perusahaan Cina karena gagal
bayar utang |
|
Kenya |
Afrika |
Kereta cepat Mombasa–Nairobi (SGR) |
Utang meningkat signifikan, memicu tekanan
fiskal |
|
Zambia |
Afrika |
Infrastruktur dan proyek energi |
Sulit membayar utang, melakukan
restrukturisasi utang |
|
Ethiopia |
Afrika |
Jalan, kereta, dan pelabuhan |
Beberapa proyek dibiayai Cina, meningkatkan
beban utang negara |
|
Sudan |
Afrika |
Energi dan infrastruktur |
Pinjaman besar, kesulitan pembayaran, tekanan
fiskal tinggi |
|
Mozambik |
Afrika |
Gas dan proyek infrastruktur |
Utang tinggi, memicu krisis fiskal |
|
Laos |
Asia |
Kereta api Laos–China |
Utang besar dan tergantung pada pendapatan
dari proyek untuk membayar pinjaman |
Catatan pola umum:
- Negara menerima pinjaman besar dari Cina
untuk proyek infrastruktur besar.
- Pendapatan proyek tidak cukup menutup
utang, sehingga negara terpaksa menyerahkan aset strategis, menunda
pembayaran, atau melakukan restrukturisasi.
- Debt trap biasanya muncul di negara dengan
kapasitas fiskal terbatas, pengawasan lemah, dan ketergantungan pada
proyek tunggal.
Kenapa hal ini penting untuk Indonesia/bersinggungan dengan Indonesia
- Beberapa proyek di Indonesia dan Asia
Tenggara menimbulkan keprihatinan bahwa negara penerima perlu berhati-hati
dengan struktur pembiayaan, transparansi, dan kemampuan bayar. TIME
- Meski Indonesia belum disebut “terjebak”
sebanyak contoh di atas, pengalaman negara lain bisa menjadi pelajaran
penting dalam membuat kesepakatan pembiayaan infrastruktur besar.
- Pemerintah dan pembuat kebijakan Indonesia
mungkin perlu memperhatikan aspek seperti: syarat pinjaman (interest,
tenor), prediksi pendapatan proyek, pengelolaan aset, dan kemampuan
membayar sebelum menerima pinjaman besar.
Data Pembanding: Indonesia vs Vietnam
Rasio Utang
terhadap PDB
- Indonesia mencatat rasio utang pemerintah
terhadap PDB sekitar 38,8 % pada 2024.
- Indonesia juga tercatat memiliki rasio
utang eksternal terhadap PDB sekitar 30,6 % di kuartal I 2025,
terendah di antara negara ‑ G20.
- Untuk Vietnam disebutkan rasio utang/‑PDB
menurun dari ~41,3 % di 2020 ke ~33,8 % di 2024.
Investasi Asing
(FDI) dan Ekonomi
- Indonesia diperkirakan akan mencapai
FDI sebesar ~1,4 % dari PDB pada 2025 sesuai proyeksi World Bank.
- Perdagangan bilateral Indonesia‑Vietnam
mencapai sekitar US$ 16 miliar (≈ Rp 260,4 triliun) pada 2024.
Ukuran Ekonomi
- Indonesia diperingkat ke–8 secara
dunia untuk GDP berdasarkan PPP pada 2024 (~US$ 4,66 triliun) menurut
International Monetary Fund.
- Untuk Vietnam, meskipun pertumbuhan
pesat, masih tertinggal dari Indonesia dalam ukuran total ekonomi dan
pasar domestik.
Dari data di atas tampak bahwa Indonesia memiliki keunggulan fiskal (rasio utang relatif rendah) dan skala ekonomi, namun kalah dalam beberapa aspek daya saing terutama dalam menarik investasi dan produktivitas bila dibandingkan dengan Vietnam.
Mengapa Vietnam Unggul dan Apa Tantangan Indonesia
Vietnam
berhasil mengukir pertumbuhan karena beberapa faktor: efektivitas regulasi
investasi, kecepatan dalam membuka sektor industri, serta integrasi ke rantai
pasok global manufaktur. Indonesia tercatat tertahan dalam hal birokrasi,
perizinan yang panjang, dan produktivitas tenaga kerja yang belum optimal.
Hal
ini membuka dua tantangan utama:
- Infrastruktur fisik (jalan, pelabuhan, rel kereta) memang penting namun jika tidak diiringi dengan SDM yang kompeten, regulasi yang cepat, hukum yang tegas, maka proyek besar bisa berujung utang besar yang menambah beban negara.
- Jika
pembangunan hanya berbasis proyek besar dan utang luar negeri, Indonesia
akan rentan terhadap skema utang yang menekan kedaulatan dan orientasi
pembangunan jangka panjang — sebagaimana dialami beberapa negara.
Strategi Unggul: Indonesia Mengungguli Vietnam
dengan Fokus pada Manusia, Hukum, dan Integritas
1. Pendidikan
dan Pelatihan Teknologi sebagai Prioritas Utama
Indonesia harus memperkuat pendidikan STEM, literasi digital, dan vokasi yang
terkait langsung dengan kebutuhan industri masa depan. Saat negara seperti
Vietnam memanfaatkan keunggulan manufaktur sebagai pintu masuk ke pertumbuhan,
Indonesia bisa naik kelas: dari hanya menjadi lokasi produksi menjadi pusat
inovasi, riset dan teknologi lokal.
2. Hukum Tegas,
Mental Anti-Korupsi, dan Tata Kelola Proyek yang Transparan
Salah satu elemen pencegahan jebakan utang adalah regulasi yang jelas dan
penegakan hukum yang konsisten:
- Kontrak internasional harus transparan
dan dipublikasikan.
- Setiap proyek besar dikelola dengan
standar integritas tinggi dan pengawasan publik.
- Lembaga penegak hukum (misalnya Komisi
Pemberantasan Korupsi) diberi kekuatan dan independensi untuk menangani korupsi
di semua level proyek infrastruktur dan investasi asing.
Dengan demikian,
utang dan investasi tidak hanya menjadi angka, tetapi bagian dari manajemen
publik yang akuntabel yang melindungi rakyat dari biaya tersembunyi dan
risiko kedaulatan.
3. Reformasi
Regulasi: Memotong Birokrasi, Mempercepat Investasi, Namun Tetap Berdaulat
Indonesia perlu meniru kecepatan Vietnam dalam menarik investasi, tetapi dengan
mekanisme yang menjaga kedaulatan nasional:
- Perizinan harus cepat dan digital,
namun tetap mempertimbangkan hak pekerja, lingkungan, dan nilai tambah
lokal.
- Proyek asing harus diarahkan untuk
transfer teknologi, bukan hanya impor modal.
- Diversifikasi mitra investasi (tidak
tergantung hanya satu negara kreditur), untuk menghindari pengaruh
eksternal yang dominan.
4. Ekonomi
Hijau & Kreatif: Menciptakan Nilai, Bukan Hanya Proyek
Indonesia mempunyai keunggulan sumber daya alam (energi terbarukan, pertanian
tropis, keanekaragaman hayati) dan populasi muda besar yang bisa diarahkan ke
ekonomi kreatif, startup teknologi, riset hijau. Ini akan meningkatkan daya
saing jangka panjang dibanding Vietnam yang masih mengandalkan manufaktur padat
karya dan rantai pasok global rendah upah.
5. Diplomasi
Ekonomi Cerdas & Kebijakan Fiskal yang Sehat
Dengan rasio utang yang masih relatif rendah (~38,8 % PDB) dan utang eksternal
yang terkendali, Indonesia harus menjaga kondisi fiskal yang sehat agar tetap
memiliki ruang manuver. Diplomasi ekonomi harus diarahkan agar pekerjaan sama
internasional bukan mendikte, melainkan mitra sejajar yang memastikan
transfer teknologi dan pembangunan kapasitas lokal.
Kaitan Strategi dengan Pencegahan Jebakan Utang
Ketika Indonesia
fokus pada manusia, hukum, daya saing dan inovasi, maka:
- Risiko proyek besar yang tidak
menghasilkan akan menurun karena SDM dan institusi siap mengelola dan
memanfaatkan proyek.
- Ketergantungan pada satu negara
kreditur (misalnya Cina) berkurang karena Indonesia mempunyai daya
tawar, mitra banyak, dan kapasitas lokal kuat.
- Hukum tegas dan tata kelola mencegah
manipulasi kontrak, pengalihan aset strategis, atau syarat investasi yang
merugikan negara.
- Fokus inovasi dan nilai tambah membuat
utang bukan beban jangka panjang, melainkan investasi produktif yang
menghasilkan manfaat ekonomi nyata.
Indonesia Memenangi Lintasan dengan Langkah yang Lebih Cerdas
Vietnam
boleh sedang dalam kecepatan tinggi, tetapi Indonesia memiliki modal besar:
kekayaan demografi, ekonomi yang sudah cukup besar, dan ruang fiskal yang
terkendali. Kuncinya adalah mengalihkan fokus dari sekadar proyek fisik dan
utang besar, ke pembangunan manusia, hukum, dan daya saing jangka panjang.
Dengan
pendidikan kuat, regulasi tegas, mental anti‑korupsi yang tertanam, dan inovasi
sebagai motor penggerak ekonomi, Indonesia bukan hanya mampu mengungguli
Vietnam tetapi mungkin menjadi motor pemimpin baru di Asia Tenggara.
Bangsa
yang membangun manusia, hukum, dan moral akan memimpin; bangsa yang hanya
membangun proyek dan utang akan terbelenggu. Mari Indonesia memilih jalannya:
membangun tanpa terjerat, unggul dengan kedaulatan, dan mandiri secara ekonomi.
Daftar Pustaka
Trading Economics. (2025). Indonesia Government Debt to GDP.
Retrieved from https://tradingeconomics.com/indonesia/government-debt-to-gdp
Trading Economics
CEIC Data. (2024). Vietnam Global Competitiveness Index.
Retrieved from https://www.ceicdata.com/en/indicator/vietnam/global-competitiveness-index
CEIC Data
Trading Economics. (2019). Vietnam Competitiveness Index – Global
Competitiveness Report (Score 2019). Retrieved from https://tradingeconomics.com/vietnam/competitiveness-index
Trading Economics
Vietnam Briefing. (2025, May 16). Vietnam Provincial Competitiveness
Index: Key Findings from the 2024 Report. Retrieved from https://www.vietnam-briefing.com/news/vietnam-provincial-competitiveness-index-key-findings-from-the-2024-report.html
vietnam-briefing.com
FocusEconomics. (2025). Indonesia Public Debt (% of GDP).
Retrieved from https://www.focus-economics.com/country-indicator/indonesia/public-debt/
FocusEconomics
World Economic Forum. (2020). The Global Competitiveness Report 2020.
Retrieved from https://www.weforum.org/publications/the-global-competitiveness-report-2020/
World Economic Forum
GlobalEDGE, Michigan State University. (n.d.). Vietnam: Indices –
Competitiveness & other indicators. Retrieved from https://globaledge.msu.edu/countries/vietnam/indices
globaledge.msu.edu




Tidak ada komentar:
Posting Komentar