My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Senin, 20 Oktober 2025

Law of Attraction: Antara Imajinasi dan Sains yang Belum Terbukti


“Mmm… Law of Attraction itu pseudoscience ya, kawan-kawan semua?”
Begitulah percakapan sederhana yang muncul di linimasa. Namun dari satu kalimat itu, mengalir diskusi menarik tentang imajinasi, rasio, bukti, dan filsafat sains.

Saya menulis: “Science juga lahir dari imajinasi. Coba tanya Einstein.”
Lalu seseorang membalas, “Einstein sudah meninggal. Lagipula, walau lahir dari imajinasi, itu tak akan dianggap sains sebelum terbukti, kan?”

Kalimat itu membuka ruang refleksi:
Apakah sains benar-benar hanya soal bukti, atau juga keberanian berimajinasi?

 



Rasionalisme vs Empirisme: Dua Jalan Menuju Kebenaran

Dalam filsafat pengetahuan, ada dua cabang besar yang menjelaskan bagaimana manusia mengenal realitas. Rasionalisme, yang diwakili oleh tokoh seperti René Descartes, meyakini bahwa akal adalah sumber utama pengetahuan. Sementara empirisme, yang dipelopori oleh John Locke dan David Hume, percaya bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui pengalaman indrawi.

Einstein berada di sisi rasionalis. Ketika merumuskan teori relativitas (E = mc²), ia tidak memiliki bukti empiris yang kuat, hanya keyakinan logis dan imajinasi ilmiah. Ia menulis dalam surat-suratnya bahwa teori sering kali lahir dari “intuisi yang diasah oleh pengalaman.”

Namun kemudian datang Oppenheimer, sang empiris, yang membuktikan kekuatan teori itu melalui eksperimen besar: bom atom. Apa yang awalnya lahir dari imajinasi kini menjadi kenyataan yang menakutkan. Keduanya, pada dasarnya, mewakili dua sisi pencarian manusia terhadap kebenaran. Imajinasi memulai, bukti meneguhkan.

 


Law of Attraction di Antara Keduanya

Law of Attraction (LoA) berangkat dari keyakinan bahwa pikiran kita memiliki daya magnetik yang menarik peristiwa dan pengalaman yang sefrekuensi dengannya. Banyak yang menyebutnya pseudoscience, ilmu semu, karena belum bisa diuji secara empiris dan tidak memiliki dasar eksperimental yang kuat.

Namun jika dilihat dari sudut pandang filsafat, LoA berdiri di wilayah rasionalisme: ia berangkat dari keyakinan batin bahwa kesadaran bisa memengaruhi realitas. Sementara sains modern, yang cenderung empiris, menuntut bukti melalui percobaan dan pengukuran.

Keduanya sering disalahpahami seolah berseberangan, padahal bisa jadi saling melengkapi. Imajinasi melahirkan gagasan, dan bukti memberi legitimasi atasnya. Bahkan dalam sains, teori selalu mendahului pembuktian. Newton, Darwin, dan Einstein semuanya memulai dari spekulasi rasional sebelum data mendukung mereka.


Pseudoscience: Batas yang Samar

Istilah pseudoscience sendiri tidak selalu berarti “bohong”, tapi lebih tepat disebut “belum dapat dibuktikan secara ilmiah”. Karl Popper, filsuf sains abad ke-20, menyebut bahwa sains sejati adalah yang falsifiable, dapat diuji dan berpotensi dibuktikan salah.

Dalam konteks itu, LoA belum memenuhi syarat falsifiabilitas, sebab klaimnya terlalu subjektif dan tidak bisa direplikasi. Namun, ia tetap menarik bagi banyak orang karena menyentuh sisi eksistensial manusia, harap, doa, dan keyakinan. Bisa jadi, LoA adalah versi spiritual dari prinsip sains yang menunggu alat ukur yang lebih halus untuk bisa dibuktikan.

 

Imajinasi sebagai Titik Awal Sains

Einstein pernah berkata, “Imagination is more important than knowledge.”
Tanpa imajinasi, tidak akan lahir teori relativitas, penemuan gravitasi, atau konsep kuantum. Namun imajinasi tanpa pembuktian akan tetap menjadi spekulasi.

Law of Attraction mungkin belum menjadi sains, tapi ia menunjukkan bahwa manusia selalu mencari hubungan antara pikiran dan realitas.Namun bisa jadi, suatu hari nanti, seseorang, seperti Oppenheimer bagi Einstein, akan menemukan cara untuk membuktikannya. Sains tidak pernah benar-benar menolak imajinasi; ia hanya menunggu saat yang tepat untuk mengujinya.

 


Referensi

Einstein, A. (1954). Ideas and Opinions. Crown Publishers.

Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. Routledge.

Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason.

Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions.

Byrne, R. (2006). The Secret. Simon & Schuster.

Hume, D. (1748). An Enquiry Concerning Human Understanding.

Descartes, R. (1637). Discourse on the Method.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar