“Mmm… Law of Attraction itu pseudoscience ya,
kawan-kawan semua?”
Begitulah percakapan sederhana yang muncul di linimasa. Namun dari satu kalimat
itu, mengalir diskusi menarik tentang imajinasi, rasio, bukti, dan filsafat
sains.
Saya menulis: “Science juga lahir dari imajinasi. Coba
tanya Einstein.”
Lalu seseorang membalas, “Einstein sudah meninggal. Lagipula, walau lahir dari
imajinasi, itu tak akan dianggap sains sebelum terbukti, kan?”
Kalimat itu membuka ruang refleksi:
Apakah sains benar-benar hanya soal bukti, atau juga keberanian
berimajinasi?
Rasionalisme vs Empirisme:
Dua Jalan Menuju Kebenaran
Dalam
filsafat pengetahuan, ada dua cabang besar yang menjelaskan bagaimana manusia
mengenal realitas. Rasionalisme, yang diwakili oleh tokoh seperti René
Descartes, meyakini bahwa akal adalah sumber utama pengetahuan. Sementara empirisme,
yang dipelopori oleh John Locke dan David Hume, percaya bahwa pengetahuan hanya
bisa diperoleh melalui pengalaman indrawi.
Einstein
berada di sisi rasionalis. Ketika merumuskan teori relativitas (E = mc²),
ia tidak memiliki bukti empiris yang kuat, hanya keyakinan logis dan imajinasi
ilmiah. Ia menulis dalam surat-suratnya bahwa teori sering kali lahir dari
“intuisi yang diasah oleh pengalaman.”
Namun
kemudian datang Oppenheimer, sang empiris, yang membuktikan kekuatan teori itu
melalui eksperimen besar: bom atom. Apa yang awalnya lahir dari imajinasi kini
menjadi kenyataan yang menakutkan. Keduanya, pada dasarnya, mewakili dua sisi
pencarian manusia terhadap kebenaran. Imajinasi memulai, bukti meneguhkan.
Law of Attraction di Antara
Keduanya
Law of
Attraction (LoA) berangkat dari keyakinan bahwa pikiran kita
memiliki daya magnetik yang menarik peristiwa dan pengalaman yang sefrekuensi
dengannya. Banyak yang menyebutnya pseudoscience, ilmu semu, karena
belum bisa diuji secara empiris dan tidak memiliki dasar eksperimental yang
kuat.
Namun
jika dilihat dari sudut pandang filsafat, LoA berdiri di wilayah rasionalisme:
ia berangkat dari keyakinan batin bahwa kesadaran bisa memengaruhi realitas. Sementara
sains modern, yang cenderung empiris, menuntut bukti melalui percobaan dan
pengukuran.
Keduanya
sering disalahpahami seolah berseberangan, padahal bisa jadi saling melengkapi.
Imajinasi melahirkan gagasan, dan bukti memberi legitimasi atasnya. Bahkan
dalam sains, teori selalu mendahului pembuktian. Newton, Darwin, dan Einstein
semuanya memulai dari spekulasi rasional sebelum data mendukung mereka.
Pseudoscience: Batas yang
Samar
Istilah pseudoscience
sendiri tidak selalu berarti “bohong”, tapi lebih tepat disebut “belum dapat
dibuktikan secara ilmiah”. Karl Popper, filsuf sains abad ke-20, menyebut bahwa
sains sejati adalah yang falsifiable, dapat diuji dan berpotensi
dibuktikan salah.
Dalam
konteks itu, LoA belum memenuhi syarat falsifiabilitas, sebab klaimnya terlalu
subjektif dan tidak bisa direplikasi. Namun, ia tetap menarik bagi banyak orang
karena menyentuh sisi eksistensial manusia, harap, doa, dan keyakinan. Bisa
jadi, LoA adalah versi spiritual dari prinsip sains yang menunggu alat ukur
yang lebih halus untuk bisa dibuktikan.
Imajinasi sebagai Titik
Awal Sains
Einstein pernah berkata, “Imagination
is more important than knowledge.”
Tanpa imajinasi, tidak akan lahir teori relativitas, penemuan gravitasi, atau
konsep kuantum. Namun imajinasi tanpa pembuktian akan tetap menjadi spekulasi.
Law of
Attraction mungkin belum menjadi sains, tapi ia menunjukkan
bahwa manusia selalu mencari hubungan antara pikiran dan realitas.Namun bisa
jadi, suatu hari nanti, seseorang, seperti Oppenheimer bagi Einstein, akan
menemukan cara untuk membuktikannya. Sains tidak pernah benar-benar menolak
imajinasi; ia hanya menunggu saat yang tepat untuk mengujinya.
Referensi
Einstein, A. (1954). Ideas
and Opinions. Crown Publishers.
Popper, K. (1959). The
Logic of Scientific Discovery. Routledge.
Kant, I. (1781). Critique
of Pure Reason.
Kuhn, T. S. (1962). The
Structure of Scientific Revolutions.
Byrne, R. (2006). The
Secret. Simon & Schuster.
Hume, D. (1748). An
Enquiry Concerning Human Understanding.
Descartes, R. (1637). Discourse
on the Method.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar