My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Sabtu, 27 Maret 2021

Indonesia, Negara Agraris yang Hampir Melupakan Jati Diri

 

Berita yang sedang ramai perdebatan adalah mengenai impor beras. Namun menurut saya impor beras hanya sebagian kecil dari masalah pangan, ketenagakerjaan, ekonomi dan muaranya adalah kemakmuran Indonesia. Hal yang menurut saya lebih substansial adalah mengkritisi dan mengantisipasi data yang dilansir oleh Bappenas mengenai prediksi bahwa tidak akan ada lagi profesi petani pada tahun 2063.

Dokumentasi pribadi




Hal ini menurut saya adalah sebuah ancaman besar dimasa depan. Mengapa? Jika demikian, Jangankan  impor beras, mungkin sekedar jagung, ketela, ubi, sayuran, buahan dan holtikultura lainnya Indonesia bakalan impor semua. Tentu saja jika profesi petani hilang dari muka bumi ibu pertiwi, Indonesia hanya akan jadi negara berpolusi, banyak pengangguran, dan tinggi angka kriminalitas. Lalu apa alasan profesi petani diprediksi akan punah dari muka bumi ibu pertiwi ini? Bappenas memberikan data kuantitatif, sedangkan saya akan berhipotesis secara kualitatif :


1.   Profesi petani dianggap rendah

        Zaman sekarang tidak dapat dipungkiri bahwa uang adalah hal yang penting (saya tidak menyatakan “uang adalah segalanya”). Maka secara umum, suatu profesi dianggap keren atau tidak adalah berdasarkan jumlah penghasilannya. Profesi petani dipandang sebelah mata karena penghasilannya yang tidak pasti, sering hutang sana-sini, ditentukan oleh masa panen, dan bahkan sudah panenpun kadang harganya hancur oleh permainan harga pasar terlebih dengan datangnya barang impor.


2. Bekerja di kota lebih menggiurkan

        Keadaan profesi yang demikian, seringkali menuntut seseorang ingin merantau di kota dengan harapan kehidupan yang lebih baik. Terlebih melihat saudara atau tetangga yang terlihat lebih sukses setelah merantau di kota. Hal inilah yang kemudian memicu tingginya arus urbanisasi karena menganggap kehidupan di kota lebih menjanjikan kesejahteraan. Padahal berdasarkan data Bappenas sendiri urbanisasi tidak memberikan sumbangsih besar pada negara, malah menambah masalah di daerah kota. Terlebih bila urbanisasi nekat yang tak punya keahlian dan keterampilan sehingga terpaksa tinggal di kolong jembatan.


Apa urgensi profesi petani bagi kehidupan sehingga perlu dilestarikan? Lalu bagaimana profesi petani agar tidak hilang? Dalam buku sejarah, Nusantara pernah mengalami kejayaan pada zaman kerajaan Majapahit  sebagai negara Agraris. Negara agraris artinya suatu negara yang sebagian besar rakyatnya bergantung pada bidang pertanian. Bergantung pada pertanian tidak berarti ketertinggalan, toh Majapahit pernah berjaya sebagai negara agraris. Negara besar seperti Amerika dan Cina juga memiliki sektor pertanian yang luas untuk menopang kehidupan rakyatnya. Indonesia juga pernah dinobatkan sebagai negara swasembada pangan pada tahun 80-an bahkan memberikan bantuan beras ke negara yang mednerita kelaparan pada kurun waktu itu juga.






Hal yang disayangkan adalah sebagai negara tropis yang dengan area pertanian yang luas, secara pertanian saat ini masih kalah dengan Thailand. Hal ini karena kebijakan pemerintah di Thailand bersinergi membantu perkembangan pertanian di negara tersebut. Sedangkan di Indonesia sering kali kebijakan saling bertabrakan antara kementerian pertanian dan kementerian perdagangan.

 

Urgensi Pertanian bagi Kelestarian Alam dan Lapangan Kerja

Pertanian tidak sebatas menyediakan pangan yang mempertahankan rakyat tetap hidup, melainkan lebih daripada itu yaitu juga mempertahankan ekosistem dan keseimbangan alam. Sama halnya dengan hutan, sawah dan perkebunan mensuply udara bersih dan air yang dikeluarkan oleh tumbuh-tumbuhan. Pertanian mungkin tidak sekeren bidang manufaktur yang lebih menjanjikan penghasilan yang lebih tinggi, namun perlu diingat pada saat masa force majeur/ krisis ekonomi, bidang pangan adalah yang paling tahan banting disaat perdagangan yang lain lesu. Hal ini disebabkan makan adalah kebutuhan dasar manusia yang perlu untuk dipenuhi.


Saya menganalisa bahwa Indonesia ingin dibawa pada arah industrialisasi manufaktur, sebenarnya tidak masalah. Namun jangan berarti mengesampingkan hal yang penting seperti pertanian. Sebab manufaktur memiliki tantangan yang lebih besar lagi bila tidak diikuti dengan kedewasaan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Contoh saja Beijing Cina, yang dulu pernah mengalami masalah lingkungan seperti polusi udara yang hitam pekat dan hujan asam. Namun kini terselesaikan karena teknologi filter polusi raksasa ditengah kota besar ini. Mampukah Indonesia menciptakan teknologi semacam ini untuk mengantisipasi? Karena jika tidak siap, malah bikin rugi.


 Pertanian memberikan lapangan kerja yang murah meriah (dibandingkan manufaktur), dan tentunya dengan seseorang memiliki pekerjaan  dapat menjadi andalan. Konsekuensiya akan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Dengan penurunan kemiskinan pemerintah tidak perlu dipusingkan lagi dengan Bansos, malah sebaliknya petani yang penghasilannya lancar bahkan sukses bisa ditarik pajak yang masuk ke negara. Seperti contoh budidaya porang dan ubi ungu yang di ekspor ke Jepang, membuat petani yang tidak punya latar belakang pendidikan tinggipun bisa kaya raya karena punya pasar hingga mancanegara. Maka sebaiknya berdayakan ekspor yang dapat memberikan devisa dan pajak, daripada impor yang menghilangkan lapangan pekerjaan dan melemahkan nilai tukar rupiah. (kecuali dengan catatan tertentu karena kita tak bisa produksi sendiri).




Mencari Solusi Dengan  Saling Introspeksi dan Bersinergi


Tidak melakukan impor beras selama 3 tahun adalah suatu prestasi gemilang yang seharusnya didukung dan merembet untuk impor bahan pokok lainnya semisal kedelai. Mungkin akan ada sanggahan “tidak semudah itu, Ferguso… karena Bulog nyatanya tidak mampu menyerap gabah petani, gabah petani basah, dsb.” Maka yang jadi masalah adalah urusan distribusi, bukan produksi dan konsumsi. Berarti Bulog perlu mengadaptasi dan mengoptimalkan teknologi, bagaimana agar terjadi persebaran yang merata di seluruh Indonesia. Demikian pula kementerian pertanian juga perlu mngubah cara penyuluhannya tidak sebatas cara menanam, memupuk, menyemprot hama dan memanen, namun juga mengedukasi petani agar memanfaatkan teknologi aplikasi untuk kemanfaatan pertanian. Baik berupa aplikasi yang memfasilitasi penjualan ke Bulog atau ke tengkulak yang “baik hati” seperti sistem start up pertanian saat ini (Tanifund, tanihub, i-grow, vestifarm, dll).


Terobosan pertanian yang tidak kalah untuk diapresiasi selain Budi Waseso yang membantu Indonesia tidak impor beras selama 3 tahun, yaitu datang dari gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.  Ridwan Kamil   dengan program "petani milenial jabar" setidaknya telah diminati oleh 6000 orang milenial dengan disiapkannya lahan sebanyak 1000 hektar. Program ini sangat baik untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Namun akan gagal bila tak ada koordinasi yang sinergis yaitu dengan adanya impor yang sering kali menghancurkan harga panen dan membuat petani putus asa.


Bila Program pertanian Jawa Barat ini berhasil seharusnya dapat ditiru oleh pemerintah daerah lain. Setidaknya ini merupakan alternatif paling sederhana untuk menciptakan lapangan kerja. Minimal bisa menjadi negara swasembada pangan lagi dan mampu menyaingi Thailand lah ya.., atau bahkan bisa lebih baik karena lahan di Indonesia lebih luas dan penduduk usia produktif yang lebih banyak. Sehingga prediksi Bappenas bahwa tahun 2063 Indonesia akan kehilangan profesi petani dapat diantisipasi bahkan tidak akan pernah terjadi.


Sekali lagi, masalah pangan kita bukan karena tanah kita yang tandus sehingga tak bisa ditanami. Melainkan masalah distribusi dan perlunya pemimpin daerah dan pusat yang merakyat sehingga kebijakan yang dikeluarkannya adalah yang memikirkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Tentunya yang paling utama adalah kemauan untuk saling bersinergi.

Wallahu a’lam Bisshowab


Referensi :

https://money.kompas.com/read/2021/03/23/190000426/bappenas-tak-ada-lagi-profesi-petani-pada-2063


Tidak ada komentar:

Posting Komentar