My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Selasa, 08 Juli 2025

“Breaking Generational Curses”: Menggugurkan Kutukan Pola Dua Puluh Tahunan Bangsa

 “History doesn’t repeat itself, but it often rhymes.”

— Mark Twain

Ada sebuah kekhawatiran yang terus menggema dalam benak saya akhir-akhir ini. Sebuah kegelisahan kolektif yang seolah sedang mencari pintu keluar: bagaimana jika bangsa ini sebenarnya sedang terjebak dalam pola berulang yang tak kita sadari? Bukan hanya krisis politik, tetapi juga luka sosial dan beban sejarah yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Apa yang oleh sebagian orang disebut sebagai generational curse — kutukan turun-temurun.

Bukan dalam arti supranatural, tapi dalam pengertian sosiologis dan psikologis: kita terus mengulangi siklus kekerasan, konflik, dan kehilangan, yang sebenarnya bisa dicegah — jika kita cukup sadar.

Mari kita lihat sekilas ke belakang:

  1. 1945–1946: Pembantaian pasca kemerdekaan
    Setelah proklamasi kemerdekaan, terjadi berbagai kekerasan yang dikenal sebagai Bersiap. Beberapa catatan menyebut adanya pembantaian terhadap warga sipil Belanda, Tionghoa, dan mereka yang dianggap kolaborator. (Reid, 1974; Cribb, 2001)

 

  1. 1965–1966: Pembantaian terhadap yang dituduh PKI

Sekitar 500.000 hingga 1 juta orang dibunuh dalam tragedi yang hingga kini masih menjadi luka menganga dalam sejarah nasional. (Anderson & McVey, 1971; Crouch, 1978)

 

  1. 1982–1985: Operasi Petrus (Penembakan Misterius)

Di masa Orde Baru, puluhan hingga ratusan orang “digulung” tanpa proses hukum. Mayoritas adalah anak muda dan preman kelas bawah. (Heryanto, 2006)

 

  1. 1998–2001: Kerusuhan Mei, Reformasi, Sampit
    Runtuhnya Orde Baru disertai kekacauan: kerusuhan rasial, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan massal, hingga konflik etnis di Sampit, Kalimantan Tengah. (Heryanto, 1999; Sidel, 2006)
  1. 2020an: ???
    Apakah kita akan kembali pada siklus itu? Di tengah dunia yang semakin kompleks — dengan disinformasi, polarisasi digital, dan krisis kepercayaan pada institusi — potensi ledakan sosial itu tetap ada. Mungkin bukan dalam bentuk yang sama, tapi dalam roh yang serupa: kekerasan, kehilangan, perpecahan.



Final Destination dan "Trik Mencurangi Takdir"


Dalam film Final Destination, tokoh-tokohnya selalu berusaha melawan kematian yang “sudah dijadwalkan.” Mereka tak melawan dengan kekuatan otot, tetapi dengan kepekaan terhadap tanda-tanda, pola kejadian, dan intuisi mendalam akan bahaya yang akan datang. Setiap film menghadirkan narasi serupa: seseorang mengalami penglihatan tentang kematian massal yang belum terjadi, lalu menyelamatkan sekelompok orang. Tapi justru setelah “melawan takdir,” satu per satu dari mereka mati dengan cara tragis—seolah kematian menagih utangnya satu demi satu.

Ada lima film dalam seri ini:

1.     Final Destination (2000) – dimulai dengan mimpi premonisi kecelakaan pesawat Flight 180.

2.     Final Destination 2 (2003) – memperlihatkan kecelakaan mobil berantai di jalan tol.

3.     Final Destination 3 (2006) – dimulai dari kecelakaan wahana roller coaster di taman hiburan.

4.     The Final Destination (2009) – berlatar di arena balap mobil NASCAR, dengan ledakan besar.

5.     Final Destination 5 (2011) – tragedi jembatan gantung runtuh jadi titik awal, dan ending-nya memutar waktu kembali ke pesawat Flight 180 di film pertama.

Yang menarik, film kelima ini menutup siklus dengan penuh ironi: semua kembali ke awal. Seolah ingin berkata, jika kita tidak belajar dari pola yang sama, kita akan terus hidup dalam lingkaran takdir yang mengulang—tak peduli seberapa keras kita mencoba menghindar.

Apa pelajaran pentingnya?

Film ini sebenarnya bukan sekadar horor, tapi alegori sosial tentang kesadaran terhadap pola. Mereka yang selamat sementara, bukanlah orang terkuat—melainkan yang paling sadar. Mereka belajar membaca tanda-tanda, menafsirkan sekuens sebab-akibat, dan mengambil keputusan yang tak populer hanya karena hati mereka berkata ada yang salah.

Inilah metafora yang kuat bagi kita sebagai bangsa. Kita tidak sedang melawan makhluk gaib, tapi melawan pola sejarah dan trauma kolektif yang terus berulang. Dari pembantaian 1945, tragedi 1965, Petrus 1980-an, hingga 1998, kita terus berada dalam siklus konflik yang tragis. Pertanyaannya: apakah kita akan menjadi penonton yang hanya menunggu giliran, atau mulai jadi aktor sadar yang memutus rantai takdir itu?

Bangsa ini butuh "premonisi kolektif": semacam kesadaran spiritual-historis, yang membuat kita mampu membaca tanda-tanda zaman dan bertindak sebelum semuanya terlambat. Sama seperti dalam film, kita butuh refleksi, bukan sekadar reaksi. Kesadaran, bukan kepanikan.

Jika tidak, seperti dalam Final Destination 5, kita akan terus kembali ke titik awal — dan segala upaya melawan akan berakhir sia-sia.

Maka, tugas kita hari ini bukan hanya bertahan hidup, tapi menulis ulang skenario kolektif. Mencurangi takdir tragis bangsa ini bukan dengan kekerasan, tapi dengan taubat sosial, dengan kesadaran budaya, dan dengan menciptakan pola pikir baru yang tidak mewarisi trauma generasi sebelumnya.


Sadar, Bukan Sekadar Marah


Mengapa pola ini terus berulang? Karena kita sering menyikapi masalah dengan emosi — bukan kesadaran. Kita terpancing, bukan tercerahkan. Kita reaktif, bukan reflektif. Inilah cursed consciousness itu: kesadaran yang tidak sadar.

Maka satu-satunya jalan untuk “membatalkan kutukan sejarah” adalah dengan taubat kolektif — dalam makna sosial dan spiritual. Taubat berarti berbalik arah, berhenti dari autopilot, dan mengubah arah pandang kita terhadap masa lalu dan masa depan.

Bukan berarti melupakan sejarah, tapi memahaminya agar tidak mengulang. Sebagaimana peringatan dalam Qur'an:

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
(QS. Al-Hajj: 46)


Jangan Wariskan Luka, Wariskan Kesadaran


Apa yang ingin kita wariskan ke generasi berikutnya? Apakah trauma dan kemarahan, atau kesadaran dan ketenangan batin?

Maka penting bagi kita semua — terutama generasi 2020-an — untuk break the pattern, memutus siklus. Tak perlu menunggu jadi pemimpin besar untuk melakukannya. Cukup mulai dari diri sendiri: berhenti mewariskan kebencian, dan mulai memupuk kesadaran. Agar generasi mendatang tidak hanya mewarisi tanah air, tetapi juga kedamaian batin dalam berbangsa.


Referensi:

  • Cribb, Robert. (2001). The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali.
  • Crouch, Harold. (1978). The Army and Politics in Indonesia.
  • Reid, Anthony. (1974). The Indonesian National Revolution, 1945–1950.
  • Heryanto, Ariel. (2006). State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging.
  • Anderson, B.R.O.G. & McVey, Ruth. (1971). A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia.
  • Sidel, John T. (2006). Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar