“History doesn’t repeat itself, but it often rhymes.”
— Mark Twain
Ada sebuah kekhawatiran
yang terus menggema dalam benak saya akhir-akhir ini. Sebuah kegelisahan
kolektif yang seolah sedang mencari pintu keluar: bagaimana jika bangsa ini
sebenarnya sedang terjebak dalam pola berulang yang tak kita sadari? Bukan
hanya krisis politik, tetapi juga luka sosial dan beban sejarah yang diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Apa yang oleh sebagian orang disebut
sebagai generational curse — kutukan turun-temurun.
Bukan dalam arti
supranatural, tapi dalam pengertian sosiologis dan psikologis: kita terus
mengulangi siklus kekerasan, konflik, dan kehilangan, yang sebenarnya bisa
dicegah — jika kita cukup sadar.
Mari kita lihat sekilas ke
belakang:
- 1945–1946:
Pembantaian pasca kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan, terjadi berbagai kekerasan yang dikenal sebagai Bersiap. Beberapa catatan menyebut adanya pembantaian terhadap warga sipil Belanda, Tionghoa, dan mereka yang dianggap kolaborator. (Reid, 1974; Cribb, 2001)
- 1965–1966:
Pembantaian terhadap yang dituduh PKI
Sekitar
500.000 hingga 1 juta orang dibunuh dalam tragedi yang hingga kini masih
menjadi luka menganga dalam sejarah nasional. (Anderson & McVey, 1971;
Crouch, 1978)
- 1982–1985:
Operasi Petrus (Penembakan Misterius)
Di masa
Orde Baru, puluhan hingga ratusan orang “digulung” tanpa proses hukum.
Mayoritas adalah anak muda dan preman kelas bawah. (Heryanto, 2006)
- 1998–2001: Kerusuhan Mei, Reformasi, Sampit
Runtuhnya Orde Baru disertai kekacauan: kerusuhan rasial, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan massal, hingga konflik etnis di Sampit, Kalimantan Tengah. (Heryanto, 1999; Sidel, 2006)
- 2020an: ???
Apakah kita akan kembali pada siklus itu? Di tengah dunia yang semakin kompleks — dengan disinformasi, polarisasi digital, dan krisis kepercayaan pada institusi — potensi ledakan sosial itu tetap ada. Mungkin bukan dalam bentuk yang sama, tapi dalam roh yang serupa: kekerasan, kehilangan, perpecahan.
Final
Destination dan "Trik Mencurangi Takdir"
Dalam film Final
Destination, tokoh-tokohnya selalu berusaha melawan kematian yang “sudah
dijadwalkan.” Mereka tak melawan dengan kekuatan otot, tetapi dengan kepekaan
terhadap tanda-tanda, pola kejadian, dan intuisi mendalam akan bahaya yang akan
datang. Setiap film menghadirkan narasi serupa: seseorang mengalami penglihatan
tentang kematian massal yang belum terjadi, lalu menyelamatkan sekelompok
orang. Tapi justru setelah “melawan takdir,” satu per satu dari mereka mati
dengan cara tragis—seolah kematian menagih utangnya satu demi satu.
Ada lima film dalam
seri ini:
1.
Final Destination
(2000) – dimulai dengan mimpi premonisi kecelakaan pesawat Flight 180.
2.
Final Destination
2 (2003) – memperlihatkan kecelakaan mobil berantai di jalan tol.
3.
Final Destination
3 (2006) – dimulai dari kecelakaan wahana roller coaster di taman
hiburan.
4.
The Final
Destination (2009) – berlatar di arena balap mobil NASCAR, dengan
ledakan besar.
5.
Final Destination
5 (2011) – tragedi jembatan gantung runtuh jadi titik awal, dan
ending-nya memutar waktu kembali ke pesawat Flight 180 di film pertama.
Yang menarik, film
kelima ini menutup siklus dengan penuh ironi: semua kembali ke awal. Seolah
ingin berkata, jika kita tidak belajar dari pola yang sama, kita akan terus
hidup dalam lingkaran takdir yang mengulang—tak
peduli seberapa keras kita mencoba menghindar.
Apa pelajaran pentingnya?
Film ini sebenarnya
bukan sekadar horor, tapi alegori sosial tentang kesadaran terhadap pola.
Mereka yang selamat sementara, bukanlah orang terkuat—melainkan yang paling
sadar. Mereka belajar membaca tanda-tanda, menafsirkan sekuens sebab-akibat, dan mengambil
keputusan yang tak populer hanya karena hati mereka berkata ada yang
salah.
Inilah metafora
yang kuat bagi kita sebagai bangsa. Kita
tidak sedang melawan makhluk gaib, tapi melawan pola sejarah dan trauma
kolektif yang terus berulang. Dari pembantaian 1945, tragedi 1965, Petrus
1980-an, hingga 1998, kita terus berada dalam siklus konflik yang tragis.
Pertanyaannya: apakah kita akan menjadi penonton yang hanya menunggu giliran,
atau mulai jadi aktor sadar yang memutus rantai takdir itu?
Bangsa ini butuh "premonisi kolektif": semacam
kesadaran spiritual-historis, yang membuat kita mampu membaca tanda-tanda zaman dan bertindak sebelum
semuanya terlambat. Sama seperti dalam film, kita butuh refleksi, bukan sekadar
reaksi. Kesadaran, bukan kepanikan.
Jika tidak, seperti
dalam Final Destination 5, kita akan
terus kembali ke titik awal — dan segala upaya melawan akan berakhir sia-sia.
Maka, tugas kita
hari ini bukan hanya bertahan hidup,
tapi menulis ulang skenario kolektif.
Mencurangi takdir tragis bangsa ini bukan dengan kekerasan, tapi dengan taubat
sosial, dengan kesadaran budaya, dan dengan menciptakan pola pikir baru yang
tidak mewarisi trauma generasi sebelumnya.
Sadar,
Bukan Sekadar Marah
Mengapa pola ini terus
berulang? Karena kita sering menyikapi masalah dengan emosi — bukan kesadaran.
Kita terpancing, bukan tercerahkan. Kita reaktif, bukan reflektif. Inilah cursed
consciousness itu: kesadaran yang tidak sadar.
Maka satu-satunya jalan
untuk “membatalkan kutukan sejarah” adalah dengan taubat kolektif —
dalam makna sosial dan spiritual. Taubat berarti berbalik arah, berhenti
dari autopilot, dan mengubah arah pandang kita terhadap masa lalu dan
masa depan.
Bukan berarti melupakan
sejarah, tapi memahaminya agar tidak mengulang. Sebagaimana peringatan
dalam Qur'an:
“Maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat
memahami atau telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di
dalam dada.”
(QS. Al-Hajj: 46)
Jangan
Wariskan Luka, Wariskan Kesadaran
Apa yang ingin kita
wariskan ke generasi berikutnya? Apakah trauma dan kemarahan, atau kesadaran
dan ketenangan batin?
Maka penting bagi kita
semua — terutama generasi 2020-an — untuk break the pattern, memutus
siklus. Tak perlu menunggu jadi pemimpin besar untuk melakukannya. Cukup mulai
dari diri sendiri: berhenti mewariskan kebencian, dan mulai memupuk kesadaran.
Agar generasi mendatang tidak hanya mewarisi tanah air, tetapi juga kedamaian
batin dalam berbangsa.
Referensi:
- Cribb, Robert. (2001). The Indonesian Killings
of 1965-1966: Studies from Java and Bali.
- Crouch, Harold. (1978). The Army and Politics
in Indonesia.
- Reid, Anthony. (1974). The Indonesian National
Revolution, 1945–1950.
- Heryanto, Ariel. (2006). State Terrorism and
Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging.
- Anderson, B.R.O.G. & McVey, Ruth. (1971). A
Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia.
- Sidel, John T. (2006). Riots, Pogroms, Jihad:
Religious Violence in Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar