My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Kamis, 10 Juli 2025

Membujang Bukan Karena Tak Laku: Perempuan, Pilihan, dan Jejak Para Intelektual

 Di tengah dunia yang semakin gaduh dan serba menghakimi, masih saja perempuan yang belum menikah dipandang dengan kacamata curiga: "Jangan-jangan nggak laku?", "Jangan-jangan terlalu pemilih?", atau yang lebih menyebalkan, "Kasihan, siapa yang mau ya?"

Padahal, mari kita perjelas satu hal: tidak semua perempuan belum menikah karena tak bisa mendapatkan pria. Banyak dari mereka tidak menikah karena tidak mau mendapatkan pria yang biasa-biasa saja.

Biasa dalam hal akhlak, visi hidup, kematangan emosi, hingga kualitas spiritual dan intelektual. Karena apa gunanya menikah jika hanya menambah beban jiwa, bukan keberkahan hidup? Mengapa harus merasa gagal hanya karena tak mengikuti jalan hidup mayoritas?

 


🔍 Membujang sebagai Pilihan, Bukan Kekurangan

Dunia modern seolah lupa bahwa dalam sejarah Islam sendiri, membujang adalah jalan mulia yang pernah ditempuh oleh para tokoh besar. Para ulama dan filsuf seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Kindi, dan banyak sufi — baik laki-laki maupun perempuan seperti Rabiah al-Adawiyah — justru memilih hidup sendiri demi menjaga kemurnian jiwa, ketajaman akal, dan kedekatan dengan Tuhan.


Apakah mereka dipandang rendah karena tidak menikah? Tidak. Mereka dihormati karena memilih keutuhan batin dan fokus intelektual daripada hubungan yang memaksa atau melemahkan.

Mengapa kini narasi seperti itu nyaris hilang dari wacana Islam modern?


Siapa bilang menjadi ilmuwan atau pemikir besar harus dibarengi dengan pasangan hidup? Dalam sejarah panjang dunia Islam dan Barat, kita menemukan deretan tokoh cendekia yang justru memilih jalan membujang — bukan karena anti cinta, melainkan karena mereka menganggap hidup intelektual dan spiritual menuntut keutuhan jiwa yang kadang tak bisa dibagi dengan urusan duniawi.

 

 

🕌 Ketika Islam Pernah Maju karena Ulama yang Membujang


Islam abad pertengahan adalah era emas — bukan hanya karena kemajuan ilmu pengetahuan, tapi juga karena keragaman cara hidup yang dimuliakan. Ulama bisa menjadi sufi, filsuf bisa membujang, ilmuwan bisa asketik, dan perempuan bisa menjadi pemimpin tanpa harus menjadi istri siapa pun.


Sayangnya, Islam modern tampak terlalu sibuk menormalisasi pernikahan sebagai satu-satunya jalan hidup yang “sah” dan “lulus”. Padahal, pernikahan dalam Islam bukan kewajiban mutlak. Ia adalah ibadah — dan seperti ibadah lainnya, harus dilakukan dengan niat dan kondisi yang layak.


Kalau tidak siap secara lahir dan batin — atau justru harus menikah dengan orang yang toxic, dangkal secara spiritual dan emosional — bukankah lebih baik sendiri sambil memperdalam diri dan pengabdian?

Pilihan selibat (membujang atau tidak menikah seumur hidup) bukan sekadar pilihan hidup, melainkan keputusan filosofis dan eksistensial. Para ilmuwan ini percaya bahwa pencarian akan kebenaran, hikmah, atau Tuhan membutuhkan totalitas yang tak terganggu oleh kewajiban rumah tangga. Siapa saja mereka?

 

🕌 Cendekia Islam yang Membujang

1. Al-Farabi (w. 950 M)

Dijuluki “Guru Kedua” setelah Aristoteles, Al-Farabi tidak menikah dan menghabiskan hidup dalam kesederhanaan, mengajar dan menulis puluhan karya filsafat, logika, dan musik. Baginya, kebahagiaan tertinggi adalah penyatuan akal manusia dengan akal universal — sesuatu yang bersifat spiritual dan tak bisa dicapai lewat kesenangan jasmani.


2. Ibn Sina (Avicenna) (w. 1037 M)

Penulis The Canon of Medicine, seorang polymath yang menulis lebih dari 450 karya. Sepanjang hidupnya tidak tercatat pernah menikah. Ia memilih menyelami dunia filsafat, kedokteran, dan metafisika. Bagi Ibn Sina, jiwa manusia harus disucikan dari dorongan inderawi demi mencapai “kebahagiaan sejati”.


3. Al-Kindi (w. 873 M)

Filsuf Arab pertama yang dikenal sebagai pelopor filsafat Islam. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa ia membujang dan mencurahkan hidup untuk ilmu pengetahuan, menerjemahkan dan menyusun ratusan karya yang menjadi jembatan ilmu dari Yunani ke dunia Islam.


4. Al-Ghazali (w. 1111 M)

Meskipun status pernikahannya masih diperdebatkan, fase penting hidupnya dihabiskan dalam kontemplasi dan pengasingan diri. Setelah mengalami krisis spiritual di puncak karier akademiknya, ia memilih meninggalkan kedudukan demi hidup zuhud, mendalami tasawuf, dan menjauhi keterikatan dunia.


5. Rabiah Al-Adawiyah (w. 801 M)

Sufi perempuan paling terkenal dari Basrah. Menolak lamaran laki-laki karena hanya ingin mencintai Tuhan. Puisi-puisinya menunjukkan cinta transendental, bukan cinta duniawi. “Ya Allah, aku mencintai-Mu bukan karena surga-Mu atau takut neraka-Mu, tetapi karena Engkau adalah Engkau.”

 

Ilmuwan Barat Abad Pertengahan & Modern Awal


1. Thomas Aquinas (1225–1274)

Seorang teolog Katolik besar, hidup dalam Ordo Dominikan yang mengharuskan selibat. Ia percaya bahwa kesucian dan kejernihan berpikir hanya bisa dicapai dengan menjauh dari nafsu dunia. Pikiran-pikirannya menjadi dasar teologi skolastik Katolik.


2. Isaac Newton (1643–1727)

Bapak ilmu fisika klasik ini tidak pernah menikah. Ia begitu tenggelam dalam penelitiannya tentang gravitasi, optik, dan kalkulus. Kehidupannya menunjukkan keseimbangan antara iman dan rasio — namun tanpa ruang untuk hubungan romantis.


3. Immanuel Kant (1724–1804)

Filsuf kritis asal Jerman, terkenal karena hidup sangat teratur dan membujang sepanjang hidupnya. Ia lebih mencintai ketertiban dan pemikiran mendalam daripada ikatan emosional yang tidak bisa dikalkulasi.


4. Leonardo da Vinci (1452–1519)

Seniman, ilmuwan, dan penemu Renaisans. Tak pernah menikah dan tidak pernah menjalin hubungan asmara publik. Ia hidup tenggelam dalam lukisan, eksperimen anatomi, dan teknologi masa depan.


5. Baruch Spinoza (1632–1677)

Filsuf Yahudi Belanda yang hidup sangat sederhana. Ia menolak kekuasaan, kekayaan, dan pernikahan demi kebebasan berpikir. Ia pernah ditawari jabatan menggiurkan tapi memilih mengukir lensa optik sambil menulis filsafat etika.

 

🧠 Mengapa Mereka Membujang?

Ada beberapa alasan umum mengapa para pemikir besar ini memilih selibat:

1. Dedikasi Ilmiah Total

Banyak dari mereka meyakini bahwa kehidupan ilmiah dan intelektual sejati menuntut waktu, energi, dan perhatian penuh. Urusan rumah tangga dianggap bisa mengganggu proses kontemplasi.


2. Asketisme Spiritual

Dalam tradisi sufi Islam dan monastik Kristen, pembatasan diri dari kenikmatan dunia adalah cara untuk mendekat kepada Tuhan. Selibat bukan penolakan terhadap cinta, tapi transformasi cinta ke arah spiritual.


3. Otonomi dan Kebebasan Eksistensial

Beberapa tokoh seperti Spinoza atau Kant melihat bahwa kebebasan berpikir membutuhkan ruang yang mandiri. Pernikahan dipandang bisa menjadi institusi sosial yang membatasi independensi pribadi.


4. Kontemplasi sebagai Jalan Hidup

Para pemikir ini menjalani kehidupan bukan sekadar untuk "hidup", tapi untuk memahami kehidupan itu sendiri. Dalam keheningan, kesendirian, dan jarak dari dunia sosial, mereka menemukan makna yang lebih dalam.


Tak semua orang cocok atau perlu meniru jalan hidup mereka. Namun, kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pencapaian besar tidak selalu lahir dari keramaian dan relasi sosial. Terkadang, dalam kesunyian dan kesendirian itulah lahir revolusi pemikiran dan cahaya peradaban.

Karena membujang — dalam konteks ini — bukan sekadar soal tidak menikah. Tapi tentang komitmen terhadap pencarian hakikat, dan memilih “kesendirian produktif” sebagai jalan sunyi menuju cahaya ilmu dan hikmah.


 


🤯 “Kenapa Pria Gatelan Banget, Sih?”

Pertanyaan ini tidak untuk menghina, tapi sebagai peringatan: banyak pria merasa berhak atas perhatian dan waktu perempuan — bahkan saat tak diminta. Lalu mereka marah saat tak dibalas, menganggap perempuan “sombong”, “jual mahal”, atau “pasti jomblo kesepian”.


Padahal, perempuan bisa bahagia tanpa pasangan. Bisa kenyang tanpa dirayu. Bisa tertawa tanpa digombali. Bisa sukses tanpa disponsori.

Dan jika kami menyukai seseorang, kami tahu cara menunjukkan itu. Jika kami diam, ya artinya: kami tidak tertarik. Sesederhana itu.


Jangan paksa perhatian. Jangan paksa balasan. Jangan ubah cinta jadi paksaan. Karena cinta sejati tidak pernah menjajah. Ia mengetuk, bukan mendobrak.

 

🌺 Hidup Tanpa Pasangan Bukan Dosa

Sudah waktunya umat Islam berhenti menyempitkan pilihan hidup menjadi hanya “yang sudah menikah dan punya anak”. Kita lupa, banyak wali, nabi, dan tokoh besar yang justru tidak menikah — atau tidak menikah lagi setelah memahami tugas spiritualnya lebih besar dari urusan biologis.


Perempuan tidak harus membuktikan kelayakan dirinya melalui suami. Menikah tidak membuat seseorang otomatis lebih matang atau lebih beriman. Yang membuat matang adalah kesadaran, pengalaman, dan kontemplasi. Dan itu bisa tumbuh dalam pernikahan ataupun dalam kesendirian.

 

📌Membujang Adalah Hak, Bukan Aib


Perempuan berhak memilih. Baik memilih menikah, menunda, atau tidak menikah sama sekali. Tidak ada satu pun hukum dalam Islam yang menghina perempuan karena belum menikah — selama ia tetap menjaga kehormatan, menjalani hidup dengan niat baik, dan berusaha menjadi pribadi yang berguna.


Jadi lain kali jika Anda bertanya, “Kok belum nikah juga?” — cobalah ganti pertanyaan itu dengan, “Apa misi hidup yang sedang kamu jalani?”
Karena perempuan bukan ditentukan oleh statusnya, tapi oleh nilainya.


 

 

Daftar Pustaka

Ackroyd, P. (2017). Leonardo da Vinci: The biography. Chatto & Windus.

Durant, W. (1926). The story of philosophy. Simon and Schuster.

Fromm, E. (1956). The art of loving. Harper Perennial Modern Classics.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Brill.

hooks, b. (2000). All about love: New visions. William Morrow.

Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy. Cambridge University Press.

Mernissi, F. (1991). The veil and the male elite: A feminist interpretation of women’s rights in Islam. Addison-Wesley.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard University Press.

Nussbaum, M. (2000). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge University Press.

Russell, B. (1945). A history of Western philosophy. Simon & Schuster.

Smith, M. (2001). Rabi‘a: The life and work of Rabi‘a and other women mystics in Islam. Oneworld Publications.

Wadud, A. (1999). Qur'an and woman: Rereading the sacred text from a woman’s perspective. Oxford University Press.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar