Di tengah dunia yang semakin gaduh dan serba menghakimi, masih saja perempuan yang belum menikah dipandang dengan kacamata curiga: "Jangan-jangan nggak laku?", "Jangan-jangan terlalu pemilih?", atau yang lebih menyebalkan, "Kasihan, siapa yang mau ya?"
Padahal, mari kita perjelas
satu hal: tidak semua perempuan belum menikah karena tak bisa mendapatkan
pria. Banyak dari mereka tidak menikah karena tidak mau mendapatkan pria
yang biasa-biasa saja.
Biasa dalam hal akhlak,
visi hidup, kematangan emosi, hingga kualitas spiritual dan intelektual. Karena
apa gunanya menikah jika hanya menambah beban jiwa, bukan keberkahan hidup?
Mengapa harus merasa gagal hanya karena tak mengikuti jalan hidup mayoritas?
🔍 Membujang sebagai Pilihan,
Bukan Kekurangan
Dunia modern seolah lupa
bahwa dalam sejarah Islam sendiri, membujang adalah jalan mulia yang pernah
ditempuh oleh para tokoh besar. Para ulama dan filsuf seperti Al-Farabi,
Ibn Sina, Al-Kindi, dan banyak sufi — baik laki-laki maupun
perempuan seperti Rabiah al-Adawiyah — justru memilih hidup sendiri demi
menjaga kemurnian jiwa, ketajaman akal, dan kedekatan dengan Tuhan.
Apakah mereka dipandang
rendah karena tidak menikah? Tidak. Mereka dihormati karena memilih keutuhan
batin dan fokus intelektual daripada hubungan yang memaksa atau melemahkan.
Mengapa kini narasi seperti
itu nyaris hilang dari wacana Islam modern?
Siapa bilang menjadi
ilmuwan atau pemikir besar harus dibarengi dengan pasangan hidup? Dalam sejarah
panjang dunia Islam dan Barat, kita menemukan deretan tokoh cendekia yang
justru memilih jalan membujang — bukan karena anti cinta, melainkan karena mereka
menganggap hidup intelektual dan spiritual menuntut keutuhan jiwa yang kadang
tak bisa dibagi dengan urusan duniawi.
🕌 Ketika Islam Pernah Maju
karena Ulama yang Membujang
Islam abad pertengahan
adalah era emas — bukan hanya karena kemajuan ilmu pengetahuan, tapi juga
karena keragaman cara hidup yang dimuliakan. Ulama bisa menjadi sufi,
filsuf bisa membujang, ilmuwan bisa asketik, dan perempuan bisa menjadi
pemimpin tanpa harus menjadi istri siapa pun.
Sayangnya, Islam modern
tampak terlalu sibuk menormalisasi pernikahan sebagai satu-satunya jalan hidup
yang “sah” dan “lulus”. Padahal, pernikahan dalam Islam bukan kewajiban
mutlak. Ia adalah ibadah — dan seperti ibadah lainnya, harus dilakukan dengan
niat dan kondisi yang layak.
Kalau tidak siap secara
lahir dan batin — atau justru harus menikah dengan orang yang toxic,
dangkal secara spiritual dan emosional — bukankah lebih baik sendiri sambil
memperdalam diri dan pengabdian?
Pilihan selibat (membujang
atau tidak menikah seumur hidup) bukan sekadar pilihan hidup, melainkan
keputusan filosofis dan eksistensial. Para ilmuwan ini percaya bahwa pencarian
akan kebenaran, hikmah, atau Tuhan membutuhkan totalitas yang tak terganggu
oleh kewajiban rumah tangga. Siapa saja mereka?
🕌 Cendekia Islam yang
Membujang
1.
Al-Farabi (w. 950 M)
Dijuluki “Guru Kedua”
setelah Aristoteles, Al-Farabi tidak menikah dan menghabiskan hidup dalam
kesederhanaan, mengajar dan menulis puluhan karya filsafat, logika, dan musik.
Baginya, kebahagiaan tertinggi adalah penyatuan akal manusia dengan akal universal
— sesuatu yang bersifat spiritual dan tak bisa dicapai lewat kesenangan
jasmani.
2. Ibn
Sina (Avicenna) (w. 1037 M)
Penulis The Canon of
Medicine, seorang polymath yang menulis lebih dari 450 karya. Sepanjang
hidupnya tidak tercatat pernah menikah. Ia memilih menyelami dunia filsafat,
kedokteran, dan metafisika. Bagi Ibn Sina, jiwa manusia harus disucikan dari
dorongan inderawi demi mencapai “kebahagiaan sejati”.
3.
Al-Kindi (w. 873 M)
Filsuf Arab pertama yang
dikenal sebagai pelopor filsafat Islam. Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa ia
membujang dan mencurahkan hidup untuk ilmu pengetahuan, menerjemahkan dan
menyusun ratusan karya yang menjadi jembatan ilmu dari Yunani ke dunia Islam.
4.
Al-Ghazali (w. 1111 M)
Meskipun status
pernikahannya masih diperdebatkan, fase penting hidupnya dihabiskan dalam
kontemplasi dan pengasingan diri. Setelah mengalami krisis spiritual di puncak
karier akademiknya, ia memilih meninggalkan kedudukan demi hidup zuhud,
mendalami tasawuf, dan menjauhi keterikatan dunia.
5. Rabiah
Al-Adawiyah (w. 801 M)
Sufi perempuan paling
terkenal dari Basrah. Menolak lamaran laki-laki karena hanya ingin mencintai
Tuhan. Puisi-puisinya menunjukkan cinta transendental, bukan cinta duniawi. “Ya
Allah, aku mencintai-Mu bukan karena surga-Mu atau takut neraka-Mu, tetapi
karena Engkau adalah Engkau.”
⛪ Ilmuwan Barat Abad
Pertengahan & Modern Awal
1. Thomas
Aquinas (1225–1274)
Seorang teolog Katolik
besar, hidup dalam Ordo Dominikan yang mengharuskan selibat. Ia percaya bahwa
kesucian dan kejernihan berpikir hanya bisa dicapai dengan menjauh dari nafsu
dunia. Pikiran-pikirannya menjadi dasar teologi skolastik Katolik.
2. Isaac
Newton (1643–1727)
Bapak ilmu fisika klasik
ini tidak pernah menikah. Ia begitu tenggelam dalam penelitiannya tentang
gravitasi, optik, dan kalkulus. Kehidupannya menunjukkan keseimbangan antara
iman dan rasio — namun tanpa ruang untuk hubungan romantis.
3.
Immanuel Kant (1724–1804)
Filsuf kritis asal Jerman,
terkenal karena hidup sangat teratur dan membujang sepanjang hidupnya. Ia lebih
mencintai ketertiban dan pemikiran mendalam daripada ikatan emosional yang
tidak bisa dikalkulasi.
4.
Leonardo da Vinci (1452–1519)
Seniman, ilmuwan, dan
penemu Renaisans. Tak pernah menikah dan tidak pernah menjalin hubungan asmara
publik. Ia hidup tenggelam dalam lukisan, eksperimen anatomi, dan teknologi
masa depan.
5. Baruch
Spinoza (1632–1677)
Filsuf Yahudi Belanda yang hidup
sangat sederhana. Ia menolak kekuasaan, kekayaan, dan pernikahan demi kebebasan
berpikir. Ia pernah ditawari jabatan menggiurkan tapi memilih mengukir lensa
optik sambil menulis filsafat etika.
🧠 Mengapa Mereka Membujang?
Ada beberapa alasan umum
mengapa para pemikir besar ini memilih selibat:
1. Dedikasi
Ilmiah Total
Banyak dari mereka meyakini
bahwa kehidupan ilmiah dan intelektual sejati menuntut waktu, energi, dan
perhatian penuh. Urusan rumah tangga dianggap bisa mengganggu proses
kontemplasi.
2. Asketisme
Spiritual
Dalam tradisi sufi Islam
dan monastik Kristen, pembatasan diri dari kenikmatan dunia adalah cara untuk
mendekat kepada Tuhan. Selibat bukan penolakan terhadap cinta, tapi
transformasi cinta ke arah spiritual.
3. Otonomi
dan Kebebasan Eksistensial
Beberapa tokoh seperti
Spinoza atau Kant melihat bahwa kebebasan berpikir membutuhkan ruang yang
mandiri. Pernikahan dipandang bisa menjadi institusi sosial yang membatasi
independensi pribadi.
4. Kontemplasi
sebagai Jalan Hidup
Para pemikir ini menjalani kehidupan bukan sekadar untuk "hidup", tapi untuk memahami kehidupan itu sendiri. Dalam keheningan, kesendirian, dan jarak dari dunia sosial, mereka menemukan makna yang lebih dalam.
Tak semua orang cocok atau
perlu meniru jalan hidup mereka. Namun, kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pencapaian
besar tidak selalu lahir dari keramaian dan relasi sosial. Terkadang, dalam
kesunyian dan kesendirian itulah lahir revolusi pemikiran dan cahaya peradaban.
Karena membujang — dalam
konteks ini — bukan sekadar soal tidak menikah. Tapi tentang komitmen
terhadap pencarian hakikat, dan memilih “kesendirian produktif” sebagai
jalan sunyi menuju cahaya ilmu dan hikmah.
🤯 “Kenapa Pria Gatelan
Banget, Sih?”
Pertanyaan ini tidak untuk
menghina, tapi sebagai peringatan: banyak pria merasa berhak atas perhatian
dan waktu perempuan — bahkan saat tak diminta. Lalu mereka marah saat tak
dibalas, menganggap perempuan “sombong”, “jual mahal”, atau “pasti jomblo
kesepian”.
Padahal, perempuan bisa
bahagia tanpa pasangan. Bisa kenyang tanpa dirayu. Bisa tertawa tanpa
digombali. Bisa sukses tanpa disponsori.
Dan jika kami menyukai
seseorang, kami tahu cara menunjukkan itu. Jika kami diam, ya artinya: kami
tidak tertarik. Sesederhana itu.
Jangan paksa perhatian.
Jangan paksa balasan. Jangan ubah cinta jadi paksaan. Karena cinta sejati tidak
pernah menjajah. Ia mengetuk, bukan mendobrak.
🌺 Hidup Tanpa Pasangan Bukan
Dosa
Sudah waktunya umat Islam
berhenti menyempitkan pilihan hidup menjadi hanya “yang sudah menikah dan punya
anak”. Kita lupa, banyak wali, nabi, dan tokoh besar yang justru tidak menikah
— atau tidak menikah lagi setelah memahami tugas spiritualnya lebih
besar dari urusan biologis.
Perempuan tidak harus
membuktikan kelayakan dirinya melalui suami. Menikah tidak membuat seseorang
otomatis lebih matang atau lebih beriman. Yang membuat matang adalah
kesadaran, pengalaman, dan kontemplasi. Dan itu bisa tumbuh dalam pernikahan
ataupun dalam kesendirian.
📌Membujang Adalah
Hak, Bukan Aib
Perempuan berhak memilih.
Baik memilih menikah, menunda, atau tidak menikah sama sekali. Tidak ada satu
pun hukum dalam Islam yang menghina perempuan karena belum menikah — selama ia tetap
menjaga kehormatan, menjalani hidup dengan niat baik, dan berusaha menjadi
pribadi yang berguna.
Jadi lain kali jika Anda
bertanya, “Kok belum nikah juga?” — cobalah ganti pertanyaan itu dengan, “Apa
misi hidup yang sedang kamu jalani?”
Karena perempuan bukan ditentukan oleh statusnya, tapi oleh nilainya.
Daftar Pustaka
Ackroyd, P. (2017). Leonardo da Vinci: The biography. Chatto & Windus.
Durant, W. (1926). The story of philosophy. Simon and Schuster.
Fromm, E. (1956). The art of loving. Harper Perennial Modern
Classics.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition:
Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Brill.
hooks, b. (2000). All about love: New visions. William Morrow.
Leaman, O. (2002). An introduction to classical Islamic philosophy.
Cambridge University Press.
Mernissi, F. (1991). The veil and the male elite: A feminist
interpretation of women’s rights in Islam. Addison-Wesley.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Harvard
University Press.
Nussbaum, M. (2000). Women and human development: The capabilities
approach. Cambridge University Press.
Russell, B. (1945).
A history of Western philosophy. Simon
& Schuster.
Smith, M. (2001). Rabi‘a: The life and work of Rabi‘a and other
women mystics in Islam. Oneworld Publications.
Wadud, A. (1999). Qur'an and woman: Rereading the sacred text from
a woman’s perspective. Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar