My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Rabu, 04 Juni 2025

Melayani Cahaya: Tentang Integritas, Kekuasaan, dan Hati yang Bersih



Tak ada sebaik-baiknya pelayan selain yang melayani kebenaran, kebaikan, dan segala hal yang sejajar dengan cahaya. Cahaya di sini bukan semata simbol spiritualitas, melainkan nilai universal yang menjadi kompas hidup. Dalam dunia yang dipenuhi godaan kekuasaan dan kompromi moral, pilihan untuk tetap selaras dengan cahaya adalah tindakan radikal dan langka.


Dalam politik, saya selalu mengingat keputusan Mohammad Hatta yang mundur dari jabatan wakil presiden karena arah ideologis Sukarno tak lagi sejalan dengan keyakinannya (Ricklefs, 2008). Padahal, Sukarno adalah sosok yang luar biasa dalam banyak hal. Namun, ketika kekuasaan menjadi candu, ia pun berubah. Transformasi Sukarno ini tidak serta-merta menghapus jasanya, tetapi jadi pengingat bahwa bahkan orang besar pun bisa terpeleset ketika terlalu lama berada dalam pusaran kuasa.


 Pola itu terus berulang. Para aktivis 1998, misalnya—dulu lantang melawan ketidakadilan, kini sebagian justru menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka tentang (Heryanto, 1999). Ini bukan tuduhan serampangan, tapi refleksi pahit tentang bagaimana idealisme bisa terkikis oleh kenyamanan, jabatan, atau bahkan “uang haram” yang masuk sedikit demi sedikit ke dalam hidup mereka.


Uang haram, sekecil apa pun, bisa mengubah karakter manusia. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa makanan dan harta yang tak halal menimbulkan kegelapan dalam hati, mematikan sensitivitas spiritual, dan menumpulkan intuisi terhadap kebenaran. Saya percaya, karakter tidak runtuh secara tiba-tiba, tetapi goyah dari dalam karena kompromi kecil yang terus dibiarkan.


Itulah kenapa menjaga diri dari yang haram—bahkan dari yang syubhat (samar hukumnya)—bukan sekadar sikap konservatif, tapi bentuk kehati-hatian batin. Rasulullah saw. pernah menolak makan daging dzob (sejenis kadal gurun) saat ditawari para sahabat. Meskipun beliau tidak mengharamkannya secara hukum, beliau menolak karena merasa jijik dan tak biasa memakannya (HR. Bukhari-Muslim). Ini pelajaran penting: Rasul tidak melarang orang lain, tapi memilih menjaga kejernihan batin dari sesuatu yang tak jelas. Karena hati yang bersihlah yang bisa menangkap bisikan kebenaran.


Banyak orang berkata, “yang penting niatnya baik.” Tapi niat baik tanpa penjagaan diri bisa berubah arah. Kita perlu lebih dari sekadar niat—kita butuh integritas dan prinsip yang berakar kuat. Dan bagi saya, integritas itu berarti tetap berjalan dalam cahaya, meski harus sendirian. Tetap menjaga, meski orang lain menganggap berlebihan. Karena saya sadar, harga dari satu kompromi kecil bisa jadi adalah nurani saya sendiri.



Setia pada cahaya bukan berarti anti manusia. Saya bisa mencintai sosok, tapi tak segan meninggalkannya jika ia menyimpang dari nilai. Karena manusia bisa berubah, tapi cahaya kebenaran tidak. Dan dalam dunia yang semakin membingungkan ini, saya memilih menjadi pelayan cahaya—bukan pelayan kekuasaan, bukan pula pelayan tren.

 

Referensi:

  • Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Kitab Halal dan Haram.
  • Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Palgrave Macmillan.
  • Heryanto, Ariel. (1999). Reformasi, Resistance, and Change in Indonesia. Postcolonial Studies Journal.
  • HR. Bukhari dan Muslim: tentang penolakan Nabi terhadap daging dzob.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar