Tak ada sebaik-baiknya pelayan selain yang melayani kebenaran, kebaikan, dan segala hal yang sejajar dengan cahaya. Cahaya di sini bukan semata simbol spiritualitas, melainkan nilai universal yang menjadi kompas hidup. Dalam dunia yang dipenuhi godaan kekuasaan dan kompromi moral, pilihan untuk tetap selaras dengan cahaya adalah tindakan radikal dan langka.
Dalam
politik, saya selalu mengingat keputusan Mohammad Hatta yang mundur dari
jabatan wakil presiden karena arah ideologis Sukarno tak lagi sejalan dengan
keyakinannya (Ricklefs, 2008). Padahal, Sukarno adalah sosok yang luar biasa
dalam banyak hal. Namun, ketika kekuasaan menjadi candu, ia pun berubah.
Transformasi Sukarno ini tidak serta-merta menghapus jasanya, tetapi jadi
pengingat bahwa bahkan orang besar pun bisa terpeleset ketika terlalu lama
berada dalam pusaran kuasa.
Pola
itu terus berulang. Para aktivis 1998, misalnya—dulu lantang melawan
ketidakadilan, kini sebagian justru menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka
tentang (Heryanto, 1999). Ini bukan tuduhan serampangan, tapi refleksi pahit
tentang bagaimana idealisme bisa terkikis oleh kenyamanan, jabatan, atau bahkan
“uang haram” yang masuk sedikit demi sedikit ke dalam hidup mereka.
Uang
haram, sekecil apa pun, bisa mengubah karakter manusia. Imam Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menjelaskan bahwa makanan dan harta yang tak halal menimbulkan
kegelapan dalam hati, mematikan sensitivitas spiritual, dan menumpulkan intuisi
terhadap kebenaran. Saya percaya, karakter tidak runtuh secara tiba-tiba,
tetapi goyah dari dalam karena kompromi kecil yang terus dibiarkan.
Itulah
kenapa menjaga diri dari yang haram—bahkan dari yang syubhat (samar
hukumnya)—bukan sekadar sikap konservatif, tapi bentuk kehati-hatian batin.
Rasulullah saw. pernah menolak makan daging dzob (sejenis kadal gurun)
saat ditawari para sahabat. Meskipun beliau tidak mengharamkannya secara hukum,
beliau menolak karena merasa jijik dan tak biasa memakannya (HR.
Bukhari-Muslim). Ini pelajaran penting: Rasul tidak melarang orang lain, tapi
memilih menjaga kejernihan batin dari sesuatu yang tak jelas. Karena hati yang
bersihlah yang bisa menangkap bisikan kebenaran.
Banyak
orang berkata, “yang penting niatnya baik.” Tapi niat baik tanpa penjagaan diri
bisa berubah arah. Kita perlu lebih dari sekadar niat—kita butuh integritas dan
prinsip yang berakar kuat. Dan bagi saya, integritas itu berarti tetap berjalan
dalam cahaya, meski harus sendirian. Tetap menjaga, meski orang lain menganggap
berlebihan. Karena saya sadar, harga dari satu kompromi kecil bisa jadi adalah
nurani saya sendiri.
Setia
pada cahaya bukan berarti anti manusia. Saya bisa mencintai sosok, tapi tak
segan meninggalkannya jika ia menyimpang dari nilai. Karena manusia bisa
berubah, tapi cahaya kebenaran tidak. Dan dalam dunia yang semakin
membingungkan ini, saya memilih menjadi pelayan cahaya—bukan pelayan kekuasaan,
bukan pula pelayan tren.
Referensi:
- Al-Ghazali.
Ihya Ulumuddin, Kitab Halal dan Haram.
- Ricklefs,
M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Palgrave
Macmillan.
- Heryanto,
Ariel. (1999). Reformasi, Resistance, and Change in Indonesia. Postcolonial
Studies Journal.
- HR.
Bukhari dan Muslim: tentang penolakan Nabi terhadap daging dzob.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar