My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Selasa, 24 Juni 2025

Antara Fanatisme Buta dan Nurani Kemanusiaan (Membaca Ulang Sikap Sinis terhadap Dukungan Terhadap Iran dalam Serangan ke Israel)

 Di tengah konflik geopolitik yang melibatkan Israel dan Iran, tak sedikit dari kita mendengar cibiran yang mengarah kepada mereka yang menyuarakan dukungan terhadap Iran. Cibiran itu kadang datang dari sesama Muslim sendiri, dengan nada sinis: “Kok bisa dukung Iran? Kan beda aliran, beda mazhab, bahkan beda konsep ketuhanan!”

Logika semacam ini memperlihatkan betapa sebagian orang masih kesulitan membedakan antara persoalan Hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan) dan Hablumminannas (hubungan antar manusia). Padahal, keduanya adalah dua ranah berbeda yang perlu dipahami secara dewasa dan kontekstual. Jika dalam setiap laku sosial kita selalu disandarkan pada kesamaan akidah secara mutlak, maka ruang kita untuk mendukung nilai-nilai keadilan dan melawan kezaliman akan menjadi sangat sempit.

Ilustrasi gambaran perang (google search)


Flexibilitas dalam Muamalah, Teguh dalam Tauhid

Dalam persoalan tauhid, manusia akan bertanggung jawab secara individual kepada Tuhannya. Namun dalam soal muamalah, kita dituntut untuk bersikap adil dan berperan aktif dalam menciptakan keadaban bersama. Maka, mendukung Iran bukan berarti kita menjadi pengikut Syiah atau menyetujui seluruh ideologinya. Tapi dalam konteks tertentu — misalnya melawan penjajahan, membela rakyat yang ditindas, atau merespons agresi brutal — kita bisa berdiri bersama siapa pun yang punya nilai yang sama: keadilan dan keberanian melawan tirani.

Jadi, bukan soal sealiran atau seagama, tapi soal siapa yang saat ini mengambil posisi melawan penindasan yang nyata. Buat apa mengaku sepaham dalam iman, tapi diam terhadap kezaliman? Apalah artinya kesamaan aliran jika tak dibarengi ketegasan sikap?

Belajar dari Piagam Madinah: Etika Hidup Bersama dalam Perbedaan

Sikap sinis terhadap dukungan terhadap kelompok berbeda ini sebenarnya adalah bentuk kegagalan kita dalam membaca sejarah. Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah menyusun Piagam Madinah, sebuah dokumen peradaban yang sangat visioner di zamannya? Di dalamnya, kaum Muslim, Yahudi, dan bahkan kelompok pagan diberi tempat yang setara dalam satu komunitas politik dan sosial. Kuncinya: mereka terikat dalam kesepakatan menjaga keadilan dan keamanan bersama. Artinya, Rasulullah sendiri sudah memberi contoh: dalam muamalah dan urusan kemanusiaan, kita bisa bekerja sama dengan siapa pun, selama mereka berdiri di pihak yang benar.

Piagam Madinah adalah dokumen sosial-politik pertama yang disusun oleh Nabi Muhammad ï·º setelah hijrah ke Madinah. Dokumen ini menjadi dasar terbentuknya masyarakat majemuk yang damai, adil, dan menjunjung tinggi kerja sama lintas agama dan suku. Meski bukan bagian dari hadits secara sanad dan matan, isi Piagam Madinah sejalan dengan nilai-nilai universal yang diajarkan Nabi dalam banyak haditsnya. Piagam ini memuat sekitar 47 pasal yang dapat dikelompokkan ke dalam lima pokok utama.

Pertama, persatuan umat Islam, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, ditegaskan dalam dokumen ini. Mereka diposisikan sebagai satu umat yang wajib saling membantu, saling menanggung beban, dan menegakkan keadilan antar sesama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti.” (HR. Bukhari & Muslim).

Kedua, hubungan dengan non-Muslim, terutama Yahudi, dijelaskan secara tegas. Kaum Yahudi Madinah diakui sebagai bagian dari umat yang satu dengan kaum Muslimin dalam konteks sosial-politik. Mereka bebas menjalankan agama mereka dan mendapat perlindungan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal keamanan kota, mereka juga bertanggung jawab untuk ikut serta. Prinsip ini tercermin dalam hadits Nabi yang menyatakan, “Siapa pun yang menyakiti non-Muslim yang dilindungi (dzimmi), maka aku menjadi lawannya pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).

Ketiga, keadilan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Tidak ada perlindungan bagi pelanggar hukum, meskipun dari kelompok sendiri. Semua pihak wajib mencegah kezaliman dan tidak boleh menutupi kejahatan. Nabi menegaskan prinsip ini dengan mengatakan, “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari & Muslim).

Keempat, dalam hal pertahanan dan keamanan, seluruh kelompok masyarakat—baik Muslim maupun non-Muslim—harus saling membantu jika Madinah diserang. Tidak boleh ada satu kelompok pun yang membuat perjanjian damai dengan musuh tanpa persetujuan kolektif. Ini mencerminkan semangat jihad defensif (jihad difa’i) dan solidaritas komunitas.

Kelima, kepemimpinan tertinggi dalam menyelesaikan perselisihan diserahkan kepada Nabi Muhammad ï·º sebagai kepala negara dan hakim utama. Beliau menjadi penengah yang adil dan pengikat seluruh keputusan hukum dan sosial. Ini sejalan dengan sabda beliau, “Siapa yang taat padaku berarti taat kepada Allah, dan siapa yang tidak taat padaku berarti tidak taat kepada Allah.” (HR. Bukhari & Muslim).

Dengan demikian, Piagam Madinah bukan hanya dokumen historis, tetapi juga contoh awal dari konstitusi berbasis nilai-nilai profetik, yang menegaskan pentingnya toleransi, keadilan, persatuan, dan kepemimpinan yang visioner. Ia menunjukkan bahwa Islam sejak awal telah mengajarkan prinsip-prinsip hidup damai dalam keberagaman, serta pentingnya kerja sama untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab.

Penulis telah menulis tentang implementasi politik profetik berikut ini: Politik Profetik: Sistem Pemerintahan Ideal Berdasarkan Nilai-Nilai Kenabian

 

Referensi

Hamidullah, M. (1941). The first written constitution in the world: An important document of the time of the Holy Prophet. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Ibn Hisham. (n.d.). As-Sirah an-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Ibn Ishaq. (1955). The life of Muhammad: A translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah (A. Guillaume, Trans.). Oxford University Press.

Al-Bukhari, M. I. (2000). Sahih al-Bukhari. Kairo: Dar Ibn Kathir.

Muslim, I. H. (1992). Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr.

Abu Dawud, S. A. (2008). Sunan Abu Dawud. Riyadh: Darussalam.

Al-Mubarakfuri, S. (2002). The sealed nectar (Ar-Raheeq Al-Makhtum): Biography of the noble Prophet. Riyadh: Darussalam.

Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Clarendon Press.

Esposito, J. L. (1998). Islam: The straight path (3rd ed.). New York: Oxford University Press.

Al-Waqidi. (1989). Kitab al-Maghazi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar