Di tengah konflik geopolitik yang melibatkan Israel dan Iran, tak sedikit dari kita mendengar cibiran yang mengarah kepada mereka yang menyuarakan dukungan terhadap Iran. Cibiran itu kadang datang dari sesama Muslim sendiri, dengan nada sinis: “Kok bisa dukung Iran? Kan beda aliran, beda mazhab, bahkan beda konsep ketuhanan!”
Logika
semacam ini memperlihatkan betapa sebagian orang masih kesulitan membedakan
antara persoalan Hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan) dan Hablumminannas
(hubungan antar manusia). Padahal, keduanya adalah dua ranah berbeda yang
perlu dipahami secara dewasa dan kontekstual. Jika dalam setiap laku sosial
kita selalu disandarkan pada kesamaan akidah secara mutlak, maka ruang kita
untuk mendukung nilai-nilai keadilan dan melawan kezaliman akan menjadi sangat
sempit.
![]() |
Ilustrasi gambaran perang (google search) |
Flexibilitas dalam
Muamalah, Teguh dalam Tauhid
Dalam
persoalan tauhid, manusia akan bertanggung jawab secara individual
kepada Tuhannya. Namun dalam soal muamalah, kita dituntut untuk bersikap
adil dan berperan aktif dalam menciptakan keadaban bersama. Maka, mendukung
Iran bukan berarti kita menjadi pengikut Syiah atau menyetujui seluruh
ideologinya. Tapi dalam konteks tertentu — misalnya melawan penjajahan, membela
rakyat yang ditindas, atau merespons agresi brutal — kita bisa berdiri bersama
siapa pun yang punya nilai yang sama: keadilan dan keberanian melawan tirani.
Jadi, bukan
soal sealiran atau seagama, tapi soal siapa yang saat ini mengambil posisi
melawan penindasan yang nyata. Buat apa mengaku sepaham dalam iman, tapi diam
terhadap kezaliman? Apalah artinya kesamaan aliran jika tak dibarengi ketegasan
sikap?
Belajar dari Piagam
Madinah: Etika Hidup Bersama dalam Perbedaan
Sikap
sinis terhadap dukungan terhadap kelompok berbeda ini sebenarnya adalah bentuk
kegagalan kita dalam membaca sejarah. Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah
menyusun Piagam Madinah, sebuah dokumen peradaban yang sangat visioner
di zamannya? Di dalamnya, kaum Muslim, Yahudi, dan bahkan kelompok pagan diberi
tempat yang setara dalam satu komunitas politik dan sosial. Kuncinya: mereka
terikat dalam kesepakatan menjaga keadilan dan keamanan bersama. Artinya, Rasulullah
sendiri sudah memberi contoh: dalam muamalah dan urusan kemanusiaan, kita bisa
bekerja sama dengan siapa pun, selama mereka berdiri di pihak yang benar.
Piagam Madinah
adalah dokumen sosial-politik pertama yang disusun oleh Nabi Muhammad ï·º setelah
hijrah ke Madinah. Dokumen ini menjadi dasar terbentuknya masyarakat majemuk
yang damai, adil, dan menjunjung tinggi kerja sama lintas agama dan suku. Meski
bukan bagian dari hadits secara sanad dan matan, isi Piagam Madinah sejalan
dengan nilai-nilai universal yang diajarkan Nabi dalam banyak haditsnya. Piagam
ini memuat sekitar 47 pasal yang dapat dikelompokkan ke dalam lima pokok utama.
Pertama, persatuan
umat Islam, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, ditegaskan
dalam dokumen ini. Mereka diposisikan sebagai satu umat yang wajib saling
membantu, saling menanggung beban, dan menegakkan keadilan antar sesama. Hal
ini sesuai dengan sabda Nabi, “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim
lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti.” (HR.
Bukhari & Muslim).
Kedua, hubungan
dengan non-Muslim, terutama Yahudi, dijelaskan secara tegas. Kaum
Yahudi Madinah diakui sebagai bagian dari umat yang satu dengan kaum Muslimin
dalam konteks sosial-politik. Mereka bebas menjalankan agama mereka dan
mendapat perlindungan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal
keamanan kota, mereka juga bertanggung jawab untuk ikut serta. Prinsip ini
tercermin dalam hadits Nabi yang menyatakan, “Siapa pun yang menyakiti
non-Muslim yang dilindungi (dzimmi), maka aku menjadi lawannya pada hari
kiamat.” (HR. Abu Dawud).
Ketiga, keadilan
hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Tidak ada perlindungan bagi
pelanggar hukum, meskipun dari kelompok sendiri. Semua pihak wajib mencegah
kezaliman dan tidak boleh menutupi kejahatan. Nabi menegaskan prinsip ini
dengan mengatakan, “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku
akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Keempat, dalam hal pertahanan
dan keamanan, seluruh kelompok masyarakat—baik Muslim maupun
non-Muslim—harus saling membantu jika Madinah diserang. Tidak boleh ada satu
kelompok pun yang membuat perjanjian damai dengan musuh tanpa persetujuan
kolektif. Ini mencerminkan semangat jihad defensif (jihad difa’i) dan
solidaritas komunitas.
Kelima, kepemimpinan
tertinggi dalam menyelesaikan perselisihan diserahkan kepada Nabi
Muhammad ï·º sebagai kepala negara dan hakim utama. Beliau menjadi penengah yang
adil dan pengikat seluruh keputusan hukum dan sosial. Ini sejalan dengan sabda
beliau, “Siapa yang taat padaku berarti taat kepada Allah, dan siapa yang
tidak taat padaku berarti tidak taat kepada Allah.” (HR. Bukhari &
Muslim).
Dengan demikian, Piagam
Madinah bukan hanya dokumen historis, tetapi juga contoh awal dari konstitusi
berbasis nilai-nilai profetik, yang menegaskan pentingnya toleransi,
keadilan, persatuan, dan kepemimpinan yang visioner. Ia menunjukkan bahwa Islam
sejak awal telah mengajarkan prinsip-prinsip hidup damai dalam keberagaman,
serta pentingnya kerja sama untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab.
Penulis telah menulis tentang
implementasi politik profetik berikut ini:
Referensi
Hamidullah, M. (1941). The first written
constitution in the world: An important document of the time of the Holy Prophet.
Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.
Ibn Hisham. (n.d.). As-Sirah an-Nabawiyyah.
Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Ibn Ishaq. (1955). The life of Muhammad: A
translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah (A. Guillaume, Trans.). Oxford
University Press.
Al-Bukhari, M. I. (2000). Sahih al-Bukhari.
Kairo: Dar Ibn Kathir.
Muslim, I. H. (1992). Sahih Muslim. Beirut: Dar
al-Fikr.
Abu Dawud, S. A. (2008). Sunan Abu Dawud.
Riyadh: Darussalam.
Al-Mubarakfuri, S. (2002). The sealed nectar
(Ar-Raheeq Al-Makhtum): Biography of the noble Prophet. Riyadh: Darussalam.
Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford:
Clarendon Press.
Esposito, J. L. (1998). Islam: The straight path
(3rd ed.). New York: Oxford University Press.
Al-Waqidi. (1989). Kitab al-Maghazi. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar