My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Minggu, 29 Juni 2025

Ketika Pelangi Turun di Tanah Timah: Kisah Bangkitnya Belitung oleh Sastra dan Film

 

Oleh: Novy Khusnul Khotimah / Novy Khayra


Dulu, Belitung hanyalah sepotong pulau sunyi di timur Sumatra—sebuah tanah yang diguratkan debu timah, kerja keras, dan ketakpastian. Jalan-jalan tanahnya sepi, sekolah-sekolah berdinding papan reyot, dan angin laut hanya membawa harapan yang nyaris tak terdengar. Namun, dari kampung kecil bernama Gantong, lahir seberkas cahaya yang kelak menembus langit Indonesia: Laskar Pelangi.


Andrea Hirata, anak kampung yang menyulam kenangan menjadi kata, menuliskan kisahnya dalam halaman demi halaman yang tak hanya menggetarkan hati, tetapi juga mengguncang sejarah. Dari sana, Indonesia mengenal Belitung bukan lagi sebagai pulau terpencil, tapi sebagai negeri penuh makna—tempat anak-anak miskin berjuang demi secarik ilmu dan secuil mimpi.


Belitung dan Laskar Pelangi (Sumber: teman healing.id)


Ketika buku itu terbit pada 2005, dan terlebih saat filmnya menggema di layar lebar tahun 2008, dunia tiba-tiba memandang ke arah yang dulu dilupakan. Orang-orang datang, bukan untuk menambang logam, tetapi untuk mencari jejak pelangi:
– Di sekolah reyot yang berdiri tegak di antara ilalang,
– Di batu-batu granit raksasa yang menjulang dari laut,
– Di wajah anak-anak yang tak pernah kehilangan tawa meski hidup menaburkan getir.
Belitung pun berbenah, bukan karena rencana besar, tetapi karena sebuah cerita yang menyala di hati pembacanya.


Dari Buku ke Museum, dari Cerita ke Wisata


Andrea Hirata mendirikan Museum Kata, satu-satunya di negeri ini yang lahir dari rahim sastra. Museum itu menjadi rumah ziarah para pencinta kata dan pelancong jiwa. Di Gantong, rumah-rumah warga tak lagi sunyi; homestay tumbuh, UMKM berkembang, kedai kopi membuka pintu, dan anak-anak lokal tumbuh dengan rasa bangga atas tanah mereka.


Pantai-pantai yang dulu hanya saksi bisu kini berbisik tentang mimpi-mimpi baru. Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, Pulau Lengkuas—nama-nama yang kini akrab di telinga wisatawan, menggantikan narasi lama tentang keterpencilan dan tambang. Tak hanya itu, Belitung pun resmi diakui dunia sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark, menjadikannya kawasan strategis yang memadukan konservasi, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan. Di titik inilah relevansi pemikiran I Nyoman Suyasa menjadi nyata: “Mengintegrasikan, bukanlah penggabungan atau mempertemukan batas antara ruang daratan dengan ruang lautan, akan tetapi menegaskan pada upaya pemaduserasian → rekonstruksi yang menghasilkan harmonisasi dan sinergi.” Belitung bukan hanya menjahit kembali ruang-ruang geografis dan budaya, tapi juga menjembatani masa lalu dan masa depan dalam satu kesatuan narasi yang utuh.


Belitung adalah bukti hidup bahwa pembangunan tak selalu datang dari beton dan angka-angka kebijakan. Kadang, pembangunan lahir dari kata. Dari narasi yang jujur. Dari film yang menyentuh. Dari semangat yang dibangun dalam kesunyian, tapi didengar dunia.Sastra dan film adalah infrastruktur jiwa. Ia membangun bukan hanya jalan dan jembatan, tetapi juga harga diri, kebanggaan, dan imajinasi kolektif. Di tempat-tempat yang dulu ditinggalkan, orang-orang kini datang membawa kamera, buku catatan, dan rasa kagum. Mereka datang untuk menambang makna. Apa yang dulu dianggap “tertinggal”, kini justru berlari ke depan karena satu hal yang tak terduga: cerita.


Dari Laskar Pelangi, lahirlah ekonomi berbasis budaya. Sektor wisata tumbuh, literasi menyala, dan pendidikan menjadi pusat harapan. Sekolah-sekolah dibangun, guru-guru dipacu, dan anak-anak belajar dengan semangat baru. Laskar Pelangi bukan lagi tokoh fiksi; mereka hidup di tiap anak yang kini berani bermimpi, meski kaki mereka masih berdebu.Inilah wajah pembangunan yang bersandar pada kemanusiaan. Ketika kata-kata menjadi sumber daya yang tak habis digali. Ketika film bukan hanya tontonan, tetapi gerakan yang mengubah arah hidup masyarakat.


 



Bayangkan Jika Setiap Daerah Menulis Kisahnya Sendiri


Jika Belitung bisa bangkit karena satu buku dan satu film, berapa banyak lagi daerah di Indonesia yang sedang menunggu penulis-penulisnya sendiri? Berapa banyak kisah lokal yang, jika ditulis dengan jujur dan indah, bisa mengubah wajah kampung halaman? Sastra dan film bukan hanya ekspresi. Mereka adalah investasi—pada nilai, pada perasaan, pada peradaban. Mereka menjangkau lebih dari sekadar pembangunan fisik; mereka menghidupkan martabat.


Kini, jika kau bertandang ke Belitung, dengarkan desir angin di antara pepohonan. Dengarkan suara anak-anak membaca di bawah langit biru. Dengarkan gema tawa dari sekolah-sekolah yang dulu nyaris runtuh. Karena pelangi itu belum hilang. Ia masih menari di mata mereka yang percaya bahwa dari tanah terpencil pun cahaya bisa lahir dan menyinari negeri. Dan mungkin, Belitung bukan satu-satunya. Ia hanyalah permulaan. Kini giliran daerah-daerah lain menyalakan pelangi mereka sendiri. Karena negeri ini bisa dibangun bukan hanya dengan batu dan semen—tetapi juga dengan cerita.


Setiap daerah di Indonesia sesungguhnya memiliki pelangi mereka sendiri. Pelangi yang tersembunyi dalam kisah-kisah nenek moyang, dalam perjuangan anak-anaknya menuntut ilmu, dalam senyum perempuan pasar, dan dalam desir angin yang menyapa sawah-sawah tua. Yang perlu dilakukan hanyalah menyapunya ke langit, agar tampak oleh dunia. Belitung telah membuktikan: cerita bisa menjadi jembatan antara sunyi dan kemajuan. Maka, inilah saatnya kita mulai menggali kisah-kisah yang tersembunyi itu dengan cinta.


Setiap jengkal tanah punya kisah. Tapi tidak semua kisah terdengar. Maka, langkah pertama adalah menggali—bukan hanya tambang atau sumber daya, tapi memori kolektif, legenda desa, dan narasi manusia biasa yang menyimpan nilai luar biasa. Komunitas penulis, ruang baca, atau lomba kisah rakyat yang melibatkan anak muda dan tetua adat bisa menjadi jalan untuk menulis sebagai jalan pulang ke jati diri.


Ketika cerita telah ditemukan, biarkan ia menjelma bentuk: puisi, novel, esai, atau film dokumenter. Biarkan narasi itu hidup, menyapa, dan membekas. Seperti Laskar Pelangi yang tak hanya dibaca, tetapi dilihat dan dirasakan. Gandeng sineas lokal, pelajar seni, atau komunitas sastra untuk menghidupkan kisah dalam berbagai media. Kampanye visual, film pendek, mural, hingga drama rakyat bisa menjadi alat perubahan yang efektif.


Dari situ, identitas daerah akan tumbuh. Ketika cerita menjadi kuat, ia menciptakan rasa bangga. Dari situlah identitas daerah dibangun—bukan dari logo atau jargon, tetapi dari jiwa yang meresap. Cerita menjadi merek. Tempat-tempat biasa pun berubah menjadi destinasi. Kawasan wisata berbasis narasi bisa dibentuk, seperti rute “Jejak Cerita”, desa wisata kisah, atau museum rakyat yang dijaga dan dibimbing oleh warganya sendiri.


Namun satu pena tak cukup. Yang dibutuhkan adalah orkestra pena dan kamera, dari anak muda hingga sesepuh. Yang tua membawa kenangan, yang muda membawa teknologi. Yang satu menuturkan, yang lain mengabarkan. Forum lintas usia, pelibatan pelajar dan seniman muda dalam proyek budaya desa, dan media sosial sebagai panggung kreatif—dari YouTube lokal hingga podcast cerita kampung—semua bisa menjadi jembatan antara generasi dan waktu.


Cerita yang kuat tumbuh dari akar budaya yang sehat. Jangan biarkan cerita tercerabut dari tanahnya. Maka pembangunan berbasis kisah harus tetap bersandar pada nilai, pada bahasa ibu, pada adat yang bijak. Literasi budaya lokal perlu dikembangkan di sekolah, kisah-kisah daerah disisipkan dalam kurikulum, dan festival-festival tradisional dihidupkan kembali sebagai panggung cerita.


Di tengah semua itu, “Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia” menjadi salah satu contoh konkret bahwa cerita dan narasi mampu menjadi fondasi pemikiran dan arah baru pembangunan. Forum ini menyampaikan pesan penting bahwa “Mengintegrasikan, bukanlah penggabungan atau mempertemukan batas antara ruang daratan dengan ruang lautan, akan tetapi menegaskan pada upaya pemaduserasian → rekonstruksi yang menghasilkan harmonisasi dan sinergi.” Sebuah gagasan yang sejatinya juga berlaku dalam pembangunan berbasis kisah: tidak memaksa menyatukan yang berbeda, tetapi menyelaraskan suara lokal dengan arah masa depan, agar tumbuh seimbang dan bermakna.


Kita tak harus menunggu penulis besar untuk datang. Kita bisa menjadi Andrea Hirata bagi tanah kita sendiri. Karena siapa pun bisa menulis. Siapa pun bisa berkisah. Dan dari satu cerita, mungkin akan lahir ribuan langkah baru menuju masa depan. Seperti pelangi yang muncul usai hujan, daerah-daerah yang dianggap tertinggal mungkin hanya sedang menunggu cahaya. Dan cahaya itu bisa datang dari kata.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar