Oleh: Novy Khusnul Khotimah / Novy Khayra
Dulu, Belitung hanyalah sepotong pulau sunyi di
timur Sumatra—sebuah tanah yang diguratkan debu timah, kerja keras, dan
ketakpastian. Jalan-jalan tanahnya sepi, sekolah-sekolah berdinding papan
reyot, dan angin laut hanya membawa harapan yang nyaris tak terdengar. Namun,
dari kampung kecil bernama Gantong, lahir seberkas cahaya yang kelak menembus
langit Indonesia: Laskar Pelangi.
Andrea Hirata, anak kampung yang menyulam
kenangan menjadi kata, menuliskan kisahnya dalam halaman demi halaman yang tak
hanya menggetarkan hati, tetapi juga mengguncang sejarah. Dari sana, Indonesia
mengenal Belitung bukan lagi sebagai pulau terpencil, tapi sebagai negeri penuh
makna—tempat anak-anak miskin berjuang demi secarik ilmu dan secuil mimpi.
![]() |
Belitung dan Laskar Pelangi (Sumber: teman healing.id) |
Ketika buku itu terbit pada 2005, dan terlebih saat filmnya menggema di
layar lebar tahun 2008, dunia tiba-tiba memandang ke arah yang dulu dilupakan.
Orang-orang datang, bukan untuk menambang logam, tetapi untuk mencari jejak
pelangi:
– Di sekolah reyot yang berdiri tegak di antara ilalang,
– Di batu-batu granit raksasa yang menjulang dari laut,
– Di wajah anak-anak yang tak pernah kehilangan tawa meski hidup menaburkan
getir.
Belitung pun berbenah, bukan karena rencana besar, tetapi karena sebuah cerita
yang menyala di hati pembacanya.
Dari Buku ke Museum, dari
Cerita ke Wisata
Andrea Hirata mendirikan Museum Kata,
satu-satunya di negeri ini yang lahir dari rahim sastra. Museum itu menjadi
rumah ziarah para pencinta kata dan pelancong jiwa. Di Gantong, rumah-rumah
warga tak lagi sunyi; homestay tumbuh, UMKM berkembang, kedai kopi membuka
pintu, dan anak-anak lokal tumbuh dengan rasa bangga atas tanah mereka.
Pantai-pantai yang dulu hanya saksi bisu kini
berbisik tentang mimpi-mimpi baru. Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, Pulau
Lengkuas—nama-nama yang kini akrab di telinga wisatawan, menggantikan narasi
lama tentang keterpencilan dan tambang. Tak hanya itu, Belitung pun resmi
diakui dunia sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark, menjadikannya kawasan
strategis yang memadukan konservasi, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan.
Di titik inilah relevansi pemikiran I Nyoman Suyasa menjadi nyata: “Mengintegrasikan,
bukanlah penggabungan atau mempertemukan batas antara ruang daratan dengan
ruang lautan, akan tetapi menegaskan pada upaya pemaduserasian → rekonstruksi
yang menghasilkan harmonisasi dan sinergi.” Belitung bukan hanya menjahit
kembali ruang-ruang geografis dan budaya, tapi juga menjembatani masa lalu dan
masa depan dalam satu kesatuan narasi yang utuh.
Belitung adalah bukti hidup bahwa pembangunan
tak selalu datang dari beton dan angka-angka kebijakan. Kadang, pembangunan
lahir dari kata. Dari narasi yang jujur. Dari film yang menyentuh. Dari
semangat yang dibangun dalam kesunyian, tapi didengar dunia.Sastra dan film
adalah infrastruktur jiwa. Ia membangun bukan hanya jalan dan jembatan, tetapi
juga harga diri, kebanggaan, dan imajinasi kolektif. Di tempat-tempat yang dulu
ditinggalkan, orang-orang kini datang membawa kamera, buku catatan, dan rasa
kagum. Mereka datang untuk menambang makna. Apa yang dulu dianggap
“tertinggal”, kini justru berlari ke depan karena satu hal yang tak terduga:
cerita.
Dari Laskar Pelangi, lahirlah ekonomi
berbasis budaya. Sektor wisata tumbuh, literasi menyala, dan pendidikan menjadi
pusat harapan. Sekolah-sekolah dibangun, guru-guru dipacu, dan anak-anak
belajar dengan semangat baru. Laskar Pelangi bukan lagi tokoh fiksi;
mereka hidup di tiap anak yang kini berani bermimpi, meski kaki mereka masih
berdebu.Inilah wajah pembangunan yang bersandar pada kemanusiaan. Ketika
kata-kata menjadi sumber daya yang tak habis digali. Ketika film bukan hanya
tontonan, tetapi gerakan yang mengubah arah hidup masyarakat.
Bayangkan Jika Setiap
Daerah Menulis Kisahnya Sendiri
Jika
Belitung bisa bangkit karena satu buku dan satu film, berapa banyak lagi daerah
di Indonesia yang sedang menunggu penulis-penulisnya sendiri? Berapa banyak
kisah lokal yang, jika ditulis dengan jujur dan indah, bisa mengubah wajah
kampung halaman? Sastra dan film bukan hanya ekspresi. Mereka adalah
investasi—pada nilai, pada perasaan, pada peradaban. Mereka menjangkau lebih
dari sekadar pembangunan fisik; mereka menghidupkan martabat.
Kini,
jika kau bertandang ke Belitung, dengarkan desir angin di antara pepohonan.
Dengarkan suara anak-anak membaca di bawah langit biru. Dengarkan gema tawa
dari sekolah-sekolah yang dulu nyaris runtuh. Karena pelangi itu belum hilang.
Ia masih menari di mata mereka yang percaya bahwa dari tanah terpencil pun
cahaya bisa lahir dan menyinari negeri. Dan mungkin, Belitung bukan
satu-satunya. Ia hanyalah permulaan. Kini giliran daerah-daerah lain menyalakan
pelangi mereka sendiri. Karena negeri ini bisa dibangun bukan hanya dengan batu
dan semen—tetapi juga dengan cerita.
Setiap
daerah di Indonesia sesungguhnya memiliki pelangi mereka sendiri. Pelangi yang
tersembunyi dalam kisah-kisah nenek moyang, dalam perjuangan anak-anaknya
menuntut ilmu, dalam senyum perempuan pasar, dan dalam desir angin yang menyapa
sawah-sawah tua. Yang perlu dilakukan hanyalah menyapunya ke langit, agar
tampak oleh dunia. Belitung telah membuktikan: cerita bisa menjadi jembatan
antara sunyi dan kemajuan. Maka, inilah saatnya kita mulai menggali kisah-kisah
yang tersembunyi itu dengan cinta.
Setiap
jengkal tanah punya kisah. Tapi tidak semua kisah terdengar. Maka, langkah
pertama adalah menggali—bukan hanya tambang atau sumber daya, tapi memori
kolektif, legenda desa, dan narasi manusia biasa yang menyimpan nilai luar
biasa. Komunitas penulis, ruang baca, atau lomba kisah rakyat yang melibatkan
anak muda dan tetua adat bisa menjadi jalan untuk menulis sebagai jalan pulang
ke jati diri.
Ketika
cerita telah ditemukan, biarkan ia menjelma bentuk: puisi, novel, esai, atau
film dokumenter. Biarkan narasi itu hidup, menyapa, dan membekas. Seperti
Laskar Pelangi yang tak hanya dibaca, tetapi dilihat dan dirasakan. Gandeng
sineas lokal, pelajar seni, atau komunitas sastra untuk menghidupkan kisah
dalam berbagai media. Kampanye visual, film pendek, mural, hingga drama rakyat
bisa menjadi alat perubahan yang efektif.
Dari
situ, identitas daerah akan tumbuh. Ketika cerita menjadi kuat, ia menciptakan
rasa bangga. Dari situlah identitas daerah dibangun—bukan dari logo atau
jargon, tetapi dari jiwa yang meresap. Cerita menjadi merek. Tempat-tempat
biasa pun berubah menjadi destinasi. Kawasan wisata berbasis narasi bisa dibentuk,
seperti rute “Jejak Cerita”, desa wisata kisah, atau museum rakyat yang dijaga
dan dibimbing oleh warganya sendiri.
Namun
satu pena tak cukup. Yang dibutuhkan adalah orkestra pena dan kamera, dari anak
muda hingga sesepuh. Yang tua membawa kenangan, yang muda membawa teknologi.
Yang satu menuturkan, yang lain mengabarkan. Forum lintas usia, pelibatan
pelajar dan seniman muda dalam proyek budaya desa, dan media sosial sebagai
panggung kreatif—dari YouTube lokal hingga podcast cerita kampung—semua bisa menjadi
jembatan antara generasi dan waktu.
Cerita
yang kuat tumbuh dari akar budaya yang sehat. Jangan biarkan cerita tercerabut
dari tanahnya. Maka pembangunan berbasis kisah harus tetap bersandar pada
nilai, pada bahasa ibu, pada adat yang bijak. Literasi budaya lokal perlu
dikembangkan di sekolah, kisah-kisah daerah disisipkan dalam kurikulum, dan
festival-festival tradisional dihidupkan kembali sebagai panggung cerita.
Di tengah
semua itu, “Forum Bumi yang
diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia”
menjadi salah satu contoh konkret bahwa cerita dan narasi mampu menjadi fondasi
pemikiran dan arah baru pembangunan. Forum ini menyampaikan pesan penting bahwa
“Mengintegrasikan, bukanlah
penggabungan atau mempertemukan batas antara ruang daratan dengan ruang lautan,
akan tetapi menegaskan pada upaya pemaduserasian → rekonstruksi yang
menghasilkan harmonisasi dan sinergi.” Sebuah gagasan yang
sejatinya juga berlaku dalam pembangunan berbasis kisah: tidak memaksa
menyatukan yang berbeda, tetapi menyelaraskan suara lokal dengan arah masa
depan, agar tumbuh seimbang dan bermakna.
Kita tak
harus menunggu penulis besar untuk datang. Kita bisa menjadi Andrea Hirata bagi
tanah kita sendiri. Karena siapa pun bisa menulis. Siapa pun bisa berkisah. Dan
dari satu cerita, mungkin akan lahir ribuan langkah baru menuju masa depan.
Seperti pelangi yang muncul usai hujan, daerah-daerah yang dianggap tertinggal
mungkin hanya sedang menunggu cahaya. Dan cahaya itu bisa datang dari kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar