Pada dua tulisan sebelumnya membahas tentang piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama di dunia. Dalam tulisan kali ini adalah menghubungan relevansinya dengan keberagama di Nusantara. Dalam perjalanan sejarah umat manusia, keberagaman sering kali menjadi ujian besar sekaligus anugerah terbesar. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dan ratusan kelompok etnis, bahasa, dan budaya, adalah potret nyata dari keberagaman tersebut. Dalam konteks ini, Piagam Madinah yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 Masehi, memiliki relevansi luar biasa sebagai model peradaban yang mengelola kemajemukan secara damai, adil, dan inklusif.
![]() |
Keberagaman Indonesia (sumber: Uinsa) |
Apa Itu
Piagam Madinah?
Piagam
Madinah atau Mitsaq al-Madinah adalah dokumen
perjanjian yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW setelah hijrahnya ke Madinah.
Piagam ini mengatur hubungan antara berbagai kelompok yang tinggal di Madinah,
termasuk kaum Muhajirin, Anshar, serta komunitas Yahudi dan suku-suku Arab
lainnya. Isi piagam mencakup prinsip-prinsip dasar hidup bersama, perlindungan
terhadap hak-hak tiap kelompok, kewajiban bela negara, serta sistem hukum dan
keadilan.
Dalam
sejarah Islam, Piagam Madinah dianggap sebagai konstitusi pertama di dunia yang
mengatur tatanan masyarakat multikultural dan multiagama secara formal dan
tertulis. Piagam ini tidak hanya mengatur umat Islam, tetapi juga memberikan
tempat dan perlindungan kepada komunitas non-Muslim sebagai bagian dari
masyarakat Madinah yang satu, disebut sebagai ummah wahidah—satu
komunitas.
Merefleksikan
Piagam Madinah dalam Konteks Indonesia
Indonesia,
dengan Pancasila sebagai dasar negara, sesungguhnya telah memuat semangat
serupa dengan yang tercantum dalam Piagam Madinah. Nilai-nilai seperti Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Persatuan
Indonesia sejalan dengan semangat pluralisme dan kesetaraan dalam Piagam
Madinah.
Seperti Madinah, Nusantara bukanlah ruang homogen. Dalam setiap jengkal tanahnya, hidup bersama masyarakat beragam keyakinan, adat istiadat, serta bahasa daerah. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dalam Piagam Madinah dapat menjadi cermin bagaimana kita seharusnya memperlakukan keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Beberapa poin relevan dari
Piagam Madinah untuk konteks Indonesia, antara lain:
- Pengakuan terhadap Keragaman Agama dan Etnis
Dalam Piagam Madinah, tiap komunitas berhak menjalankan ajaran dan tradisinya tanpa paksaan atau diskriminasi. Hal ini sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan Indonesia—berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
- Perlindungan Terhadap Minoritas
Piagam
Madinah memberikan jaminan keamanan dan keadilan kepada semua warga, termasuk
minoritas Yahudi. Dalam konteks Indonesia, ini sejalan dengan amanat konstitusi
untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, tanpa melihat jumlah atau
kekuatan kelompok.
- Keadilan Sebagai Pilar Bersama
Tidak ada
satu kelompok yang diistimewakan dalam hukum Madinah. Keadilan ditegakkan untuk
semua, dan ini merupakan prinsip penting dalam sistem demokrasi Indonesia yang
menjunjung hukum sebagai panglima.
- Kolaborasi dalam Menjaga Perdamaian
Salah
satu pasal penting dalam Piagam Madinah adalah kesepakatan bersama untuk
membela kota Madinah jika diserang. Artinya, tanggung jawab menjaga negara
menjadi kewajiban kolektif. Hal ini mengajarkan kita untuk menempatkan kepentingan
bangsa di atas kepentingan golongan.
Merawat
Indonesia dengan Semangat Piagam Madinah
Indonesia
saat ini menghadapi tantangan globalisasi, intoleransi, dan disinformasi yang
dapat menggerus semangat persatuan. Di sinilah relevansi Piagam Madinah kembali
bersinar. Ia bukan sekadar teks sejarah, melainkan panduan etis dan politis
tentang bagaimana membangun bangsa majemuk.
Menghidupkan
kembali semangat Piagam Madinah berarti menumbuhkan budaya dialog, menjunjung
tinggi hak asasi manusia, menolak kekerasan atas nama agama, dan menjadikan
negara sebagai rumah bersama—bukan milik satu kelompok tertentu. Pendidikan
multikultural, dialog antariman, dan kebijakan inklusif perlu terus diperkuat.
Negara tidak cukup hanya menjamin kebebasan beragama secara formal, tetapi juga
harus hadir dalam bentuk perlindungan nyata terhadap kelompok rentan.
Sejarah
telah membuktikan bahwa peradaban besar dibangun di atas fondasi keragaman yang
dikelola dengan keadilan. Nabi Muhammad SAW, melalui Piagam Madinah, telah
menunjukkan kepada dunia bahwa harmoni bukan utopia, melainkan bisa diwujudkan
dengan komitmen, kesetaraan, dan keberanian untuk saling menerima. Indonesia
pun bisa menjadi versi modern dari Madinah—sebuah rumah damai bagi semua anak
bangsanya.
Daftar
Pustaka
Alatas, S. H. (2000). Islam dan Tantangan
Modernisasi di Indonesia. LP3ES.
An-Nabhani, T. (2001). Sistem Politik Islam.
HTI Press.
Azra, A. (2002). Paradigma Baru Pendidikan
Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi. Kompas.
Azra, A. (2007). Islam Nusantara: Jaringan Global
dan Lokal. Mizan.
Esposito, J. L. (2002). What Everyone Needs to Know
About Islam. Oxford University Press.
Hallaq, W. B. (2009). An Introduction to Islamic
Law. Cambridge University Press.
Hasani, I., & Naipospos, B. G. (2007). Wajah
Para “Pembela Islam”. Pustaka Masyarakat Setara.
Ibrahim, A. (2015). Konsep Piagam Madinah dan
Relevansinya dalam Konteks Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia. Jurnal
Ilmiah Al-Syir’ah, 13(2), 187–200. https://doi.org/10.30984/jis.v13i2.255
Lubis, N. (2008). Islam dan Multikulturalisme:
Menyemai Perdamaian dalam Keberagaman. Penerbit Buku Kompas.
Madjid, N. (1997). Islam Doktrin dan Peradaban.
Paramadina.
Syahrin, S. (2011). Piagam Madinah: Konstitusi
Politik Islam Pertama di Dunia. Lembaga Penelitian UIN Sumatera Utara.
Wahyuni, S. (2016). Piagam Madinah: Relevansi
Historis dan Kontekstual dalam Masyarakat Pluralistik Indonesia. Jurnal
Addin, 10(2), 327–354. https://doi.org/10.21043/addin.v10i2.1484
Tidak ada komentar:
Posting Komentar