Saat seseorang berhenti menginginkan apa yang dimiliki orang lain dan tidak lagi memaksakan kehendak, di situlah ketenangan sejati mulai tumbuh. Ini bukan tentang menjadi lemah atau pasrah, melainkan tentang kebijaksanaan untuk berdamai dengan hidup sebagaimana adanya. Dalam kondisi seperti ini, sejatinya kita telah hidup layaknya seorang pensiunan—bukan dalam makna administrasi pekerjaan, melainkan dalam cara pandang terhadap dunia dan kehidupan.
Konsep
“pensiun” sesungguhnya adalah produk zaman industri. Ia lahir ketika manusia
mulai dibentuk dalam kerangka buruh pabrik: bekerja sejak muda, produktif
secara angka, dan berhenti total di usia tertentu. Sebelum revolusi industri,
masyarakat tak mengenal konsep ini. Hidup berjalan sebagai aliran, bukan
sistem. Manusia hanya terbagi dua: mereka yang menetap dan membangun kehidupan
(anshor), serta mereka yang menjelajah dan membawa pembaruan (muhajirin). Tak
ada tenggat, tak ada cut-off, karena makna hidup tidak diukur dari masa kerja (Illich,
1978; Graeber, 2018).
Kini,
dalam peradaban yang sangat materialistis, kepemilikan menjadi identitas.
Semakin banyak seseorang memiliki, semakin tinggi dianggap nilainya. Padahal,
justru kepemilikan itu sering menjadi belenggu batin. Ia membatasi ruang gerak,
membebani pikiran, dan menciptakan ketakutan untuk kehilangan. Tak jarang,
bahkan saat ajal mendekat, manusia masih enggan melepaskan apa yang
dimilikinya, seolah dunia ini belum selesai bagi mereka—padahal waktu mereka
sudah usai (Fromm, 2008).
Pertanyaannya:
dunia seperti apa yang kita tinggali? Dunia yang membanggakan keterikatan.
Dunia yang membungkus kesemuan dengan kemasan prestise dan gengsi. Kebahagiaan
menjadi ilusi yang dikejar tanpa henti. Di tengah semua itu, kita sering lupa
bahwa ketenangan bukan datang dari capaian, tetapi dari pembebasan batin.
Bekerja
dengan sepenuh hati tentu bukan kesalahan. Bahkan, dalam banyak hal, itu adalah
bentuk pengabdian dan kehormatan. Namun menjadi masalah ketika kita memaksa
diri untuk terus tinggal di ruang yang jiwanya telah pergi. Ketika pekerjaan
tidak lagi menjadi ladang makna, melainkan jebakan rutinitas yang dijalani
tanpa cinta, maka sesungguhnya yang kita pertahankan hanyalah tubuh—sementara
jiwa kita telah lama berhenti hadir.
Maka, pensiun
dalam arti terdalam bukanlah berhenti bekerja. Ia adalah keberanian untuk
berhenti berambisi yang membutakan, berhenti membandingkan yang melukai, dan
berhenti menggenggam dunia yang tak akan pernah benar-benar bisa dimiliki. Ini
bukan ajakan untuk menyerah, tapi undangan untuk lebih jernih—menemukan kembali
kualitas hidup yang tidak bergantung pada validasi sosial, tapi pada koneksi
jujur antara diri, Tuhan, dan semesta (Tolle, 2004).
Daftar
Pustaka
Fromm, E. (2008). To Have
or to Be?. Continuum International Publishing Group.
Graeber, D. (2018). Bullshit
Jobs: A Theory. Simon & Schuster.
Illich, I. (1978). The
Right to Useful Unemployment and Its Professional Enemies. Marion Boyars.
Tolle, E. (2004). The
Power of Now: A Guide to Spiritual Enlightenment. New World Library.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar