My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Senin, 14 Juli 2025

Pensiun Sebagai Sikap Hidup: Menemukan Ketenteraman di Dunia yang Penuh Keterikatan

             Saat seseorang berhenti menginginkan apa yang dimiliki orang lain dan tidak lagi memaksakan kehendak, di situlah ketenangan sejati mulai tumbuh. Ini bukan tentang menjadi lemah atau pasrah, melainkan tentang kebijaksanaan untuk berdamai dengan hidup sebagaimana adanya. Dalam kondisi seperti ini, sejatinya kita telah hidup layaknya seorang pensiunan—bukan dalam makna administrasi pekerjaan, melainkan dalam cara pandang terhadap dunia dan kehidupan.



Konsep “pensiun” sesungguhnya adalah produk zaman industri. Ia lahir ketika manusia mulai dibentuk dalam kerangka buruh pabrik: bekerja sejak muda, produktif secara angka, dan berhenti total di usia tertentu. Sebelum revolusi industri, masyarakat tak mengenal konsep ini. Hidup berjalan sebagai aliran, bukan sistem. Manusia hanya terbagi dua: mereka yang menetap dan membangun kehidupan (anshor), serta mereka yang menjelajah dan membawa pembaruan (muhajirin). Tak ada tenggat, tak ada cut-off, karena makna hidup tidak diukur dari masa kerja (Illich, 1978; Graeber, 2018).


Kini, dalam peradaban yang sangat materialistis, kepemilikan menjadi identitas. Semakin banyak seseorang memiliki, semakin tinggi dianggap nilainya. Padahal, justru kepemilikan itu sering menjadi belenggu batin. Ia membatasi ruang gerak, membebani pikiran, dan menciptakan ketakutan untuk kehilangan. Tak jarang, bahkan saat ajal mendekat, manusia masih enggan melepaskan apa yang dimilikinya, seolah dunia ini belum selesai bagi mereka—padahal waktu mereka sudah usai (Fromm, 2008).


Pertanyaannya: dunia seperti apa yang kita tinggali? Dunia yang membanggakan keterikatan. Dunia yang membungkus kesemuan dengan kemasan prestise dan gengsi. Kebahagiaan menjadi ilusi yang dikejar tanpa henti. Di tengah semua itu, kita sering lupa bahwa ketenangan bukan datang dari capaian, tetapi dari pembebasan batin.


Bekerja dengan sepenuh hati tentu bukan kesalahan. Bahkan, dalam banyak hal, itu adalah bentuk pengabdian dan kehormatan. Namun menjadi masalah ketika kita memaksa diri untuk terus tinggal di ruang yang jiwanya telah pergi. Ketika pekerjaan tidak lagi menjadi ladang makna, melainkan jebakan rutinitas yang dijalani tanpa cinta, maka sesungguhnya yang kita pertahankan hanyalah tubuh—sementara jiwa kita telah lama berhenti hadir.


Maka, pensiun dalam arti terdalam bukanlah berhenti bekerja. Ia adalah keberanian untuk berhenti berambisi yang membutakan, berhenti membandingkan yang melukai, dan berhenti menggenggam dunia yang tak akan pernah benar-benar bisa dimiliki. Ini bukan ajakan untuk menyerah, tapi undangan untuk lebih jernih—menemukan kembali kualitas hidup yang tidak bergantung pada validasi sosial, tapi pada koneksi jujur antara diri, Tuhan, dan semesta (Tolle, 2004).


 


Daftar Pustaka

Fromm, E. (2008). To Have or to Be?. Continuum International Publishing Group.

Graeber, D. (2018). Bullshit Jobs: A Theory. Simon & Schuster.

Illich, I. (1978). The Right to Useful Unemployment and Its Professional Enemies. Marion Boyars.

Tolle, E. (2004). The Power of Now: A Guide to Spiritual Enlightenment. New World Library.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar