My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Jumat, 25 April 2025

Kesaktian Sarah dan Keikhlasan Hajar: Jejak Spiritualitas Perempuan dari Zaman Fir’aun

Tahukah kita bahwa di balik sejarah kelahiran bangsa-bangsa besar, tersembunyi kisah perempuan-perempuan agung yang tak hanya membawa rahim, tetapi juga cahaya spiritual yang menundukkan kekuasaan dunia?

Salah satu kisah yang jarang dibicarakan secara mendalam adalah peristiwa ketika Fir’aun menghadiahkan seorang perempuan Mesir bernama Hajar kepada Nabi Ibrahim. Tapi, kisah ini tidak sederhana. Ia dimulai dari rasa takluk—bukan secara militer, tapi spiritual.


Ilustrasi Sarah dan Hajar


Sarah dan Fir’aun: Pertarungan Aura


Riwayat ini berasal dari berbagai literatur Islam klasik. Di antaranya disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (jilid 1), serta dalam kitab tafsir Tafsir al-Tabari, bahwa ketika Nabi Ibrahim dan Sarah masuk ke Mesir, Raja Mesir saat itu (dalam beberapa pendapat disebut sebagai Fir’aun, meski belum tentu Fir’aun dari kisah Musa), terpesona oleh kecantikan Sarah dan ingin mengambilnya.

Namun, ketika ia mencoba menyentuh Sarah, tubuhnya menjadi kaku dan tak bisa bergerak. Sarah pun berdoa kepada Allah, dan Fir’aun sembuh. Tapi ketika ia mencoba lagi, tubuhnya kembali lumpuh. Sampai akhirnya ia menyerah dan berkata:

“Kalian membawa seorang perempuan setan ini kepadaku? Dia akan membunuhku dengan doanya!”
(Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir)

Lalu sebagai "pengganti" atau hadiah perdamaian, ia memberikan pelayan perempuan bernama Hajar kepada Ibrahim. Inilah titik awal dari kisah Hajar yang kemudian melahirkan Nabi Ismail.



Hajar: Dari Hadiah Menjadi Ibu Bangsa


Hajar bukanlah sekadar pelayan. Ia adalah titik awal dari jejak keislaman yang panjang. Dikisahkan dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Hajar ditinggalkan bersama bayi Ismail di padang tandus Makkah atas perintah Allah. Di situlah terjadi sa’i—lari kecil dari bukit Shafa ke Marwah—yang kini menjadi bagian ibadah haji.

Ritual itu bukan sekadar sejarah, tapi simbol: pencarian, harapan, dan spiritualitas seorang ibu yang mengandalkan sepenuhnya pertolongan Tuhan. Dan dari kesabaran itulah, mengalir air Zamzam—sebuah mukjizat yang mengalir hingga hari ini.

 


Spiritualitas Perempuan: Lembut, Tapi Tak Terkalahkan


Dari Sarah kita belajar tentang perlindungan ilahi, bahwa perempuan yang menjaga kemurnian niat dan relasinya dengan Tuhan bisa mendapatkan nur atau energi spiritual yang melindungi dirinya. Bahkan dalam tafsir sufi seperti Tafsir Ruh al-Ma’ani (Al-Alusi), perempuan seperti Sarah dianggap sebagai perwujudan energi cahaya (nur) yang bisa menggetarkan kezaliman.

Dari Hajar, kita belajar bahwa keikhlasan dan kepercayaan pada Tuhan bisa membuka jalan di tengah keterasingan dan kesunyian. Seperti disebut oleh Karen Armstrong dalam bukunya The History of God, tokoh perempuan dalam sejarah kenabian bukanlah figur pasif, tetapi pelaku aktif dalam terbentuknya dimensi spiritual umat manusia.

 


Referensi Modern: Menggali Potensi Ruhani Perempuan


Dalam karya kontemporer seperti Women and Gender in the Qur’an oleh Asma Barlas dan The Tao of Islam oleh Sachiko Murata, perempuan disebut memiliki jalur spiritual yang khas—yang lembut namun transformatif. Kelembutan perempuan bukanlah kelemahan, melainkan saluran energi batin yang mendalam dan menghubungkan mereka langsung pada aspek divine receptivity.

Dalam Islam, perempuan sering dikaitkan dengan rahim, akar kata dari rahmah (kasih sayang). Artinya, tubuh perempuan adalah tempat turunnya sifat Ilahi—dan saat ia selaras dengan fitrahnya, ia membawa kekuatan spiritual yang bisa menundukkan dunia.

 


Mengingat Diri, Mengaktifkan Nur


Sarah dan Hajar bukan hanya tokoh sejarah, tetapi cermin jiwa kita. Mereka adalah simbol bahwa ketauhidan, kesabaran, dan keikhlasan bisa mengubah nasib bahkan tanpa kekuasaan.

Di zaman modern ini, spiritualitas perempuan terlalu sering dibungkam oleh rutinitas, ekspektasi sosial, dan tuntutan kesempurnaan. Tapi mungkin, melalui kisah-kisah seperti ini, perempuan bisa kembali menyadari: bahwa di dalam dirinya, mengalir warisan kesucian dan kekuatan ruhani yang bisa mengguncang takhta dunia—seperti tubuh Fir’aun yang tak mampu menyentuh Sarah.

Karena ketika perempuan sadar siapa dirinya, dunia pun tak punya kuasa lagi untuk menyentuhnya tanpa izin Tuhan.

 


Referensi:

  1. Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 1.
  2. Al-Tabari. Tafsir al-Tabari, Surat Al-Baqarah & Ibrahim.
  3. Sahih Bukhari & Muslim: Hadits tentang Hajar dan Sa’i.
  4. Karen Armstrong. The History of God. Vintage Books, 1993.
  5. Asma Barlas. “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. University of Texas Press, 2002.
  6. Sachiko Murata. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought. SUNY Press, 1992.
  7. Tafsir Ruh al-Ma’ani, Syekh Al-Alusi (interpretasi spiritual tentang perempuan dan nur).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar