Tahukah kita bahwa di balik sejarah kelahiran bangsa-bangsa besar, tersembunyi kisah perempuan-perempuan agung yang tak hanya membawa rahim, tetapi juga cahaya spiritual yang menundukkan kekuasaan dunia?
Salah satu kisah yang
jarang dibicarakan secara mendalam adalah peristiwa ketika Fir’aun
menghadiahkan seorang perempuan Mesir bernama Hajar kepada Nabi Ibrahim. Tapi,
kisah ini tidak sederhana. Ia dimulai dari rasa takluk—bukan secara militer,
tapi spiritual.
![]() |
Ilustrasi Sarah dan Hajar |
Sarah dan
Fir’aun: Pertarungan Aura
Riwayat ini berasal dari
berbagai literatur Islam klasik. Di antaranya disebutkan oleh Ibnu Katsir
dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (jilid 1), serta dalam kitab tafsir Tafsir
al-Tabari, bahwa ketika Nabi Ibrahim dan Sarah masuk ke Mesir, Raja Mesir
saat itu (dalam beberapa pendapat disebut sebagai Fir’aun, meski belum tentu
Fir’aun dari kisah Musa), terpesona oleh kecantikan Sarah dan ingin
mengambilnya.
Namun, ketika ia mencoba
menyentuh Sarah, tubuhnya menjadi kaku dan tak bisa bergerak. Sarah pun berdoa
kepada Allah, dan Fir’aun sembuh. Tapi ketika ia mencoba lagi, tubuhnya kembali
lumpuh. Sampai akhirnya ia menyerah dan berkata:
“Kalian membawa seorang
perempuan setan ini kepadaku? Dia akan membunuhku dengan doanya!”
(Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir)
Lalu sebagai
"pengganti" atau hadiah perdamaian, ia memberikan pelayan perempuan
bernama Hajar kepada Ibrahim. Inilah titik awal dari kisah Hajar yang
kemudian melahirkan Nabi Ismail.
Hajar:
Dari Hadiah Menjadi Ibu Bangsa
Hajar bukanlah sekadar
pelayan. Ia adalah titik awal dari jejak keislaman yang panjang. Dikisahkan
dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Hajar ditinggalkan bersama bayi
Ismail di padang tandus Makkah atas perintah Allah. Di situlah terjadi sa’i—lari
kecil dari bukit Shafa ke Marwah—yang kini menjadi bagian ibadah haji.
Ritual itu bukan sekadar
sejarah, tapi simbol: pencarian, harapan, dan spiritualitas seorang ibu
yang mengandalkan sepenuhnya pertolongan Tuhan. Dan dari kesabaran itulah,
mengalir air Zamzam—sebuah mukjizat yang mengalir hingga hari ini.
Spiritualitas
Perempuan: Lembut, Tapi Tak Terkalahkan
Dari Sarah kita belajar
tentang perlindungan ilahi, bahwa perempuan yang menjaga kemurnian niat
dan relasinya dengan Tuhan bisa mendapatkan nur atau energi spiritual
yang melindungi dirinya. Bahkan dalam tafsir sufi seperti Tafsir Ruh
al-Ma’ani (Al-Alusi), perempuan seperti Sarah dianggap sebagai perwujudan
energi cahaya (nur) yang bisa menggetarkan kezaliman.
Dari Hajar, kita belajar
bahwa keikhlasan dan kepercayaan pada Tuhan bisa membuka jalan di tengah
keterasingan dan kesunyian. Seperti disebut oleh Karen Armstrong dalam
bukunya The History of God, tokoh perempuan dalam sejarah kenabian
bukanlah figur pasif, tetapi pelaku aktif dalam terbentuknya dimensi spiritual
umat manusia.
Referensi
Modern: Menggali Potensi Ruhani Perempuan
Dalam karya kontemporer
seperti Women and Gender in the Qur’an oleh Asma Barlas dan The
Tao of Islam oleh Sachiko Murata, perempuan disebut memiliki jalur
spiritual yang khas—yang lembut namun transformatif. Kelembutan perempuan
bukanlah kelemahan, melainkan saluran energi batin yang mendalam dan
menghubungkan mereka langsung pada aspek divine receptivity.
Dalam Islam, perempuan
sering dikaitkan dengan rahim, akar kata dari rahmah (kasih
sayang). Artinya, tubuh perempuan adalah tempat turunnya sifat Ilahi—dan saat
ia selaras dengan fitrahnya, ia membawa kekuatan spiritual yang bisa
menundukkan dunia.
Mengingat
Diri, Mengaktifkan Nur
Sarah dan Hajar bukan hanya
tokoh sejarah, tetapi cermin jiwa kita. Mereka adalah simbol bahwa ketauhidan,
kesabaran, dan keikhlasan bisa mengubah nasib bahkan tanpa kekuasaan.
Di zaman modern ini,
spiritualitas perempuan terlalu sering dibungkam oleh rutinitas, ekspektasi
sosial, dan tuntutan kesempurnaan. Tapi mungkin, melalui kisah-kisah seperti
ini, perempuan bisa kembali menyadari: bahwa di dalam dirinya, mengalir warisan
kesucian dan kekuatan ruhani yang bisa mengguncang takhta dunia—seperti tubuh
Fir’aun yang tak mampu menyentuh Sarah.
Karena ketika perempuan
sadar siapa dirinya, dunia pun tak punya kuasa lagi untuk menyentuhnya tanpa
izin Tuhan.
Referensi:
- Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa An-Nihayah,
Jilid 1.
- Al-Tabari. Tafsir al-Tabari, Surat
Al-Baqarah & Ibrahim.
- Sahih Bukhari & Muslim: Hadits tentang Hajar
dan Sa’i.
- Karen Armstrong. The History of God.
Vintage Books, 1993.
- Asma Barlas. “Believing Women” in Islam:
Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. University of
Texas Press, 2002.
- Sachiko Murata. The Tao of Islam: A Sourcebook
on Gender Relationships in Islamic Thought. SUNY Press, 1992.
- Tafsir Ruh al-Ma’ani, Syekh Al-Alusi
(interpretasi spiritual tentang perempuan dan nur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar