Dalam diskursus berpakaian, perempuan selalu ditempatkan dalam dilema. Baju terbuka dianggap salah, berkerudung dalam bentuk apapun juga dianggap salah. Tidak sedikit yang disalahkan dalam kasus pelecehan, pencabulan, atau perkosaan yang dilakukan oleh laki-laki padahal perempuan adalah korban. Perempuan juga menjadi korban dalam negara yang radikal seperti Afganistan yang diwajibkan memakai burqa, bahkan matanyapun harus tertutup kain jarring karena memperlihatkan mata dianggap mengundang syahwat. Di sisi lain, di negara sekuler, perempuan juga dilarang berjilbab karena dianggap symbol agama tertentu yang mecolok, bahkan pernah mencuat dianggap sebagai bentuk radikalisme dan terorisme. Tanpa melihat sejarah bahwa kerudung/jilbab bukan hanya tradisi Islam tapi juga dalam tradisi agama lain. Berikut ini pandangan secara komprehensif bagaimana kita memandang jilbab secara netral sekaligus berkeadilan terhadap perempuan.
![]() |
Sumber: ganaislamika.com |
Dalam
banyak tradisi agama, kerudung bukan sekadar potongan kain yang menutup kepala.
Ia adalah simbol. Dalam Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, bahkan dalam komunitas
Buddha Tibet, perempuan (dan dalam beberapa konteks, laki-laki) menutup kepala
mereka dalam konteks ibadah, penghormatan, atau status spiritual. Artinya,
kerudung lebih dulu hadir sebagai simbol kesalehan, martabat, dan
keterhubungan dengan yang Ilahi—bukan sebagai tameng terhadap syahwat
laki-laki.
Tradisi
Agama yang Menggunakan Kerudung
- Kristen (Katolik dan Ortodoks)
- Dalam tradisi Katolik, perempuan dulu wajib
mengenakan kerudung (veil) saat mengikuti misa, terutama sebelum
Konsili Vatikan II pada 1960-an. Di gereja-gereja Ortodoks Timur, hingga
kini perempuan masih menutup kepala dengan kerudung saat ibadah.
- Alkitab sendiri mencatat hal ini dalam 1 Korintus
11:5-6, yang menyebutkan bahwa perempuan yang berdoa tanpa penutup
kepala adalah seperti perempuan yang dicukur rambutnya—tanda kehilangan
kehormatan.
- Yudaisme (Agama Yahudi)
- Dalam tradisi Yahudi Ortodoks, perempuan
menikah menutup rambutnya dengan kerudung (tichel) atau wig (sheitel)
sebagai simbol status pernikahan dan penghormatan terhadap suaminya.
- Bahkan pria Yahudi juga menutup kepala dengan
kippah atau topi sebagai tanda penghormatan kepada Tuhan.
- Hindu
- Di banyak komunitas Hindu di India dan Nepal, wanita
memakai sari yang ujungnya ditarik ke kepala (ghoonghat) sebagai
penutup, terutama di hadapan pria yang lebih tua atau saat upacara
keagamaan.
- Ini dilihat sebagai simbol kesopanan,
penghormatan, dan kematangan spiritual.
- Kristen Koptik (Mesir), Sikh, dan bahkan dalam
beberapa tradisi Buddha Tibet
- Para biarawati atau pemimpin spiritual memakai kerudung atau selubung kepala sebagai bentuk komitmen religius dan spiritualitas mereka, bukan untuk menyembunyikan diri dari pandangan laki-laki.
Simbol
Martabat, Bukan Alat Penjinak Nafsu
Namun
sayangnya, dalam masyarakat modern yang masih dipenuhi bias patriarkis, makna
kerudung sering direduksi menjadi semacam "alat proteksi diri" dari
pandangan dan hasrat laki-laki. Seolah-olah tubuh perempuan adalah sumber
masalah, dan tugas moral atas nafsu lelaki adalah beban yang harus ditanggung
melalui kain di kepala perempuan.
Penggunaan kerudung dalam
berbagai agama dan budaya lebih dari sekadar soal aurat atau perlindungan
dari nafsu laki-laki. Ia adalah simbol martabat, identitas spiritual,
dan integritas pribadi.
- Kerudung melambangkan kekhusyukan,
pengabdian, dan keterhubungan kepada yang Ilahi.
- Bagi banyak perempuan
religius, kerudung bukan untuk “melindungi diri dari laki-laki,” tetapi mewakili
dedikasi mereka kepada Tuhan atau prinsip suci tertentu.
- Mengaitkan kerudung
hanya pada perlindungan dari hasrat lelaki sesungguhnya mereduksi makna spiritual dan
simbolik yang jauh lebih luas dan agung.
Hasrat
dan Pengendalian: Tanggung Jawab Laki-Laki
Nafsu
adalah bagian dari kodrat manusia, baik lelaki maupun perempuan. Tapi, pengendalian
terhadap nafsu bukan tanggung jawab perempuan semata melalui busana,
melainkan kewajiban laki-laki untuk mengelola pikiran, pandangan, dan
sikapnya. Padahal, bila kita telusuri ajaran spiritual secara lebih jernih,
yang pertama kali diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan
mengendalikan nafsu adalah laki-laki itu sendiri. Bahkan dalam Islam (QS
An-Nur: 30), ayat tentang menjaga pandangan bagi laki-laki muncul sebelum ayat
yang menyerukan perempuan menjaga aurat. Ini bukan urutan kebetulan, tapi pesan
tersirat yang penting: Tanggung jawab kendali nafsu tidak boleh dialihkan.
Kerudung dalam konteks ini seharusnya kembali diposisikan sebagai simbol kesadaran spiritual, bukan alat penjinak birahi. Karena sejatinya, jika dunia menjadi tempat yang tidak aman bagi perempuan, maka bukan busana yang harus dibenahi—tetapi cara berpikir dan sistem sosial yang masih menyalahkan korban.Dan jika memang dunia ini belum aman, maka yang dibutuhkan perempuan bukan hanya kerudung, tapi keberanian dan keterampilan bela diri. Bukan untuk membalas, tapi untuk bertahan. Karena jika tubuhnya terus-menerus menjadi objek pelampiasan hasrat dan kontrol sosial, maka satu-satunya cara untuk mempertahankan martabat adalah dengan menegakkan otonomi tubuh dan kesadaran diri.
Dengan
kata lain, laki-laki harus belajar mengendalikan nafsunya sendiri. Jika
tidak, maka perempuan perlu membekali dirinya dengan kesadaran, keberanian, dan
mungkin kemampuan membela diri. Dunia tidak akan pernah benar-benar aman bagi
perempuan selama yang diatur hanya pakaian, bukan perilaku dan akal sehat.
Dari
Simbol Kontrol ke Simbol Kesadaran
Kerudung dalam
tradisi-tradisi dunia bukanlah lambang represi, tapi simbol kesadaran diri,
spiritualitas, dan martabat. Kita perlu melampaui narasi patriarkal yang
hanya melihat kerudung sebagai "penutup tubuh agar tak memancing
nafsu", dan mulai melihatnya sebagai pernyataan eksistensi perempuan
yang sadar akan nilai dirinya.Jika laki-laki merasa "terganggu"
karena perempuan tidak memakai kerudung, masalahnya bukan pada perempuan,
tetapi pada ketidakmampuan laki-laki mengelola pikirannya.
Kerudung Tak Menghalangi Nafsu: Saatnya Menyalahkan
Pelaku, Bukan Pakaian
Kerudung
kerap diposisikan sebagai simbol kesalehan dan perlindungan perempuan dari
syahwat lelaki. Namun, narasi ini perlu dikaji ulang secara kritis—karena
bukti-bukti nyata justru menunjukkan bahwa perempuan berjilbab pun tetap
menjadi korban kekerasan seksual. Artinya, masalah utama bukan pada busana,
tapi pada pikiran dan perilaku pelaku.
Pakaian Bukan Tameng Syahwat
Selama
ini, banyak yang beranggapan bahwa perempuan yang menutup aurat akan otomatis
terhindar dari pelecehan seksual. Sayangnya, realitas berkata sebaliknya. Pakaian
tertutup tidak pernah menjadi jaminan perlindungan. Data menunjukkan bahwa
perempuan berjilbab bahkan tak luput dari objek kemesuman.
Dalam
survei Tirto.id (2019) terhadap 2.519 responden, sebanyak 24%
perempuan yang dilecehkan seksual menyatakan sedang mengenakan pakaian
religius—seperti jilbab panjang, gamis, atau bahkan cadar—saat peristiwa
terjadi. Ini menunjukkan bahwa pelecehan tak mengenal batas kain.
Laporan Komnas
Perempuan (2023) juga menegaskan bahwa pelecehan seksual terjadi dalam
berbagai bentuk dan ruang, tanpa memandang cara berpakaian korban. Bahkan,
banyak pelecehan terjadi di ruang-ruang religius seperti sekolah, masjid, dan
pesantren. Salah satu kasus yang paling mencolok adalah pelecehan berantai oleh
Herry Wirawan, seorang guru agama terhadap santri-santrinya—semua korban
berjilbab.
Nafsu Bukan Masalah Tubuh Perempuan
Mengaitkan pakaian perempuan dengan nafsu lelaki adalah bentuk pengalihan tanggung jawab moral. Nafsu adalah bagian dari kodrat manusia, tapi pengendalian adalah tugas pribadi. Laki-laki harus belajar menundukkan pandangan dan menjaga perilakunya—itulah akar masalahnya. Dalam konteks Islam sekalipun, perintah pertama tentang menjaga pandangan justru ditujukan kepada laki-laki (QS An-Nur: 30). Baru setelah itu perempuan diminta menjaga aurat (QS An-Nur: 31). Ini menegaskan bahwa pengendalian nafsu adalah tanggung jawab laki-laki terlebih dahulu.
Ketika perempuan tetap
menjadi korban meski sudah menutup tubuhnya, jelas bahwa yang bermasalah
bukan tubuhnya, tapi pikiran pelaku. Menyuruh perempuan menutup kepala demi
mencegah godaan hanyalah cara halus menyalahkan korban (victim blaming).
Saatnya Berpihak pada Martabat dan Kesadaran
Kerudung
bukan tameng seksual. Ia bisa menjadi simbol spiritualitas, kesederhanaan, dan
kesadaran diri. Namun, ia tak boleh dijadikan beban moral untuk melindungi
lelaki dari pikirannya sendiri. Karena jika benar dunia ini belum aman, maka
yang dibutuhkan perempuan bukan hanya kerudung—tetapi keberanian, pendidikan,
solidaritas, bahkan bela diri.
Kita
perlu menggeser narasi dari "tutup aurat agar tidak digoda" menjadi
"didik laki-laki agar tidak menggoda". Tubuh perempuan bukan
pemicu dosa. Nafsu lelaki bukan hukum alam yang harus dimaklumi. Kerudung
adalah hak, bukan kewajiban moral atas dosa orang lain. Ia adalah pilihan
spiritual, bukan pagar atas kejahatan. Dan bila pelecehan tetap terjadi bahkan
pada mereka yang tertutup rapat, maka sudah saatnya kita bertanya ulang: apa
yang sebenarnya perlu ditutupi—tubuh perempuan, atau pikiran jahat lelaki?
Larangan Jilbab di Berbagai Negara: Antara Sekularisme
dan Pelanggaran Hak Perempuan
Dalam beberapa dekade
terakhir, isu larangan jilbab telah menjadi topik hangat dalam perdebatan
seputar sekularisme, kebebasan beragama, dan hak perempuan. Beberapa negara,
terutama di Eropa dan Asia Tengah, memberlakukan larangan penuh atau sebagian
terhadap pemakaian jilbab dan simbol keagamaan lainnya di ruang publik atau
institusi formal. Alasan yang dikemukakan beragam—dari menjaga netralitas
negara, keamanan, hingga integrasi sosial. Namun, pertanyaan utama tetap
mengemuka: apakah larangan ini benar-benar membebaskan perempuan, atau
justru membatasi kebebasan mereka?
Negara-Negara yang Melarang atau Membatasi Jilbab
Negara
dengan kebijakan paling tegas terhadap larangan jilbab adalah Prancis,
yang sejak 2004 melarang simbol keagamaan mencolok, termasuk jilbab, di
sekolah-sekolah negeri. Pada 2010, Prancis juga melarang cadar (burqa dan
niqab) di ruang publik, dan sejak 2024, melarang pemakaian abaya di sekolah. Negara
lain seperti Belgia, Belanda, Denmark, dan Swiss juga mengadopsi
kebijakan serupa, dengan cakupan berbeda—ada yang melarang hanya cadar, ada
pula yang memperluas ke jilbab dalam konteks pendidikan atau pemerintahan.
Di luar
Eropa, pembatasan jilbab juga terjadi di beberapa bagian India,
khususnya negara bagian Karnataka, serta di wilayah Xinjiang, Tiongkok,
di mana umat Muslim Uighur mengalami tekanan untuk meninggalkan simbol
keagamaannya. Negara-negara Asia Tengah seperti Tajikistan dan Uzbekistan
bahkan menerapkan kebijakan resmi yang melarang jilbab di instansi pemerintahan
dan sekolah.
Dampak Positif dan Negatif bagi Perempuan Berjilbab
✅ Dampak Positif (dari Perspektif Pendukung Larangan)
- Meningkatkan
"kesetaraan visual" di ruang publik: Dengan menghilangkan simbol keagamaan,
pemerintah berharap tercipta kesetaraan dalam interaksi sosial dan
pendidikan tanpa adanya diferensiasi berbasis agama.
- Melindungi dari
tekanan komunitas: Beberapa pihak
beranggapan bahwa larangan jilbab dapat membebaskan perempuan dari tekanan
keluarga atau lingkungan untuk menutup aurat secara paksa.
- Menegakkan
sekularisme: Di negara seperti
Prancis, larangan ini dianggap sebagai bagian dari mempertahankan prinsip laïcité
(sekularisme ketat), yang menuntut pemisahan total antara agama dan
negara.
Namun, klaim positif ini
sering kali tidak berdiri kokoh di hadapan kenyataan sosial yang kompleks.
❌ Dampak Negatif (yang Lebih Dominan Terjadi di
Lapangan)
- Pelanggaran terhadap
kebebasan beragama dan berekspresi:
Bagi banyak perempuan Muslim, mengenakan jilbab adalah pilihan spiritual.
Melarangnya sama saja dengan memaksa mereka melepas identitas
religiusnya, bukan membebaskan mereka.
- Marginalisasi di
bidang pendidikan dan pekerjaan: Di
negara-negara yang melarang jilbab, perempuan Muslim menghadapi dilema
berat antara meninggalkan keyakinannya atau kehilangan akses
pendidikan dan kerja. Ini memperkuat diskriminasi struktural.
- Stigma dan Islamofobia
meningkat: Larangan ini sering
kali memperkuat narasi negatif tentang Islam dan perempuan Muslim sebagai
ancaman atau simbol keterbelakangan.
- Paradoks kebebasan: Atas nama kebebasan, negara justru membatasi hak
perempuan untuk memilih. Kebebasan sejati mestinya mencakup hak untuk
berjilbab maupun tidak berjilbab.
Menghormati Pilihan, Bukan Memaksakan Norma
Kebijakan
larangan jilbab yang diberlakukan di beberapa negara menunjukkan kontradiksi
antara niat menjaga kebebasan dan praktik yang justru mengekang kebebasan itu
sendiri. Dalam masyarakat yang benar-benar demokratis dan menjunjung hak asasi
manusia, perempuan berhak memilih bagaimana mereka berpakaian—termasuk jika
pilihan itu adalah mengenakan jilbab.
Alih-alih mengatur tubuh perempuan demi norma sekular atau budaya mayoritas, negara seharusnya fokus pada perlindungan atas hak setiap warga untuk menjalankan keyakinannya tanpa paksaan, baik dari negara maupun komunitas. Membebaskan perempuan bukan berarti menyeragamkan mereka, tetapi memberi ruang bagi pilihan sadar yang lahir dari pemahaman dan keyakinan pribadi.
Daftar
Referensi
Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 30–31.
– QS An-Nur: 30: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah
mereka menahan pandangannya..."
– QS An-Nur: 31: "Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, hendaklah
mereka menahan pandangannya..."
Amnesty International. (2018). France: Discrimination in the name of neutrality.
Diakses dari: https://www.amnesty.org
BBC Indonesia. (2021). Herry Wirawan: Kasus Pemerkosaan oleh Guru Agama
terhadap 13 Santriwati di Bandung.
Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59666029
BBC News. (2023). France bans abaya dress in state schools.
Diakses dari: https://www.bbc.com/news/world-europe-66637913
European Court of Human Rights (ECHR) Cases –
Leyla Åžahin v. Turkey (2005).
Kasus yang menunjukkan legalisasi larangan jilbab di universitas oleh
pengadilan Eropa, tetapi juga memicu perdebatan tentang batas kebebasan
beragama.
Human Rights Watch. (2022). India: Hijab Ban Discriminatory.
Diakses dari: https://www.hrw.org/news/2022/02/14/india-hijab-ban-discriminatory
Joppke, Christian. (2009). Veil: Mirror of Identity. Polity Press.
Buku ini menganalisis kebijakan larangan jilbab di Eropa dan menyatakan bahwa
banyak dari larangan itu berbasis ketakutan budaya, bukan keamanan.
Komnas Perempuan. (2023). Catatan Tahunan Komnas Perempuan tentang Kekerasan
terhadap Perempuan.
Diakses dari: https://komnasperempuan.go.id
Mahmood, Saba. (2005). Politics of Piety: The Islamic Revival and the
Feminist Subject. Princeton University Press.
Buku ini membahas bagaimana jilbab bisa menjadi ekspresi kesadaran spiritual
dan bukan semata tekanan patriarkal.
Nuruzzaman, M. (2016). Jilbab dan Simbol Moralitas Perempuan dalam
Pandangan Islam: Analisis Kritis terhadap Wacana Keagamaan. Jurnal Ilmiah
Islam Futura, UIN Ar-Raniry.
OHCHR – United Nations Human Rights Office.
(2021). UN experts urge States to stop using women’s
rights as a pretext to restrict religious clothing.
Diakses dari: https://www.ohchr.org
Saputra, F. & Rahmadani, A. (2020). Victim Blaming terhadap Korban Kekerasan Seksual:
Telaah Sosial dan Budaya. Jurnal Komunikasi dan Gender, Universitas
Indonesia.
The Conversation. (2019). France's headscarf debate is a distraction from
real problems of discrimination.
Diakses dari: https://theconversation.com/frances-headscarf-debate-is-a-distraction-from-real-problems-of-discrimination-126395
The Guardian. (2021). Switzerland votes to ban burqa and niqab in public
places.
Diakses dari: https://www.theguardian.com/world/2021/mar/07/switzerland-votes-to-ban-burqa-and-niqab-in-public-places
Tirto.id. (2019). Survei Kekerasan Seksual: Sebagian Besar Terjadi
di Tempat Umum.
Diakses dari: https://tirto.id
UN Women. (2020). Sexual Harassment: A Widespread Violation of
Women's Rights.
Diakses dari: https://www.unwomen.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar