My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Rabu, 30 Juli 2025

Kerudung, Nafsu Lelaki, dan Martabat Perempuan

             Dalam diskursus berpakaian, perempuan selalu ditempatkan dalam dilema. Baju terbuka dianggap salah, berkerudung dalam bentuk apapun juga dianggap salah. Tidak sedikit yang disalahkan dalam kasus pelecehan, pencabulan, atau perkosaan yang dilakukan oleh laki-laki padahal perempuan adalah korban. Perempuan juga menjadi korban dalam negara yang radikal seperti Afganistan yang diwajibkan memakai burqa, bahkan matanyapun harus tertutup kain jarring karena memperlihatkan mata dianggap mengundang syahwat. Di sisi lain, di negara sekuler, perempuan juga dilarang berjilbab karena dianggap symbol agama tertentu yang mecolok, bahkan pernah mencuat dianggap sebagai bentuk radikalisme dan terorisme. Tanpa melihat sejarah bahwa kerudung/jilbab bukan hanya tradisi Islam tapi juga dalam tradisi agama lain. Berikut ini pandangan secara komprehensif bagaimana kita memandang jilbab secara netral sekaligus berkeadilan terhadap perempuan.


Sumber: ganaislamika.com


Dalam banyak tradisi agama, kerudung bukan sekadar potongan kain yang menutup kepala. Ia adalah simbol. Dalam Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, bahkan dalam komunitas Buddha Tibet, perempuan (dan dalam beberapa konteks, laki-laki) menutup kepala mereka dalam konteks ibadah, penghormatan, atau status spiritual. Artinya, kerudung lebih dulu hadir sebagai simbol kesalehan, martabat, dan keterhubungan dengan yang Ilahi—bukan sebagai tameng terhadap syahwat laki-laki.


Tradisi Agama yang Menggunakan Kerudung

  1. Kristen (Katolik dan Ortodoks)
    • Dalam tradisi Katolik, perempuan dulu wajib mengenakan kerudung (veil) saat mengikuti misa, terutama sebelum Konsili Vatikan II pada 1960-an. Di gereja-gereja Ortodoks Timur, hingga kini perempuan masih menutup kepala dengan kerudung saat ibadah.
    • Alkitab sendiri mencatat hal ini dalam 1 Korintus 11:5-6, yang menyebutkan bahwa perempuan yang berdoa tanpa penutup kepala adalah seperti perempuan yang dicukur rambutnya—tanda kehilangan kehormatan.
  2. Yudaisme (Agama Yahudi)
    • Dalam tradisi Yahudi Ortodoks, perempuan menikah menutup rambutnya dengan kerudung (tichel) atau wig (sheitel) sebagai simbol status pernikahan dan penghormatan terhadap suaminya.
    • Bahkan pria Yahudi juga menutup kepala dengan kippah atau topi sebagai tanda penghormatan kepada Tuhan.
  3. Hindu
    • Di banyak komunitas Hindu di India dan Nepal, wanita memakai sari yang ujungnya ditarik ke kepala (ghoonghat) sebagai penutup, terutama di hadapan pria yang lebih tua atau saat upacara keagamaan.
    • Ini dilihat sebagai simbol kesopanan, penghormatan, dan kematangan spiritual.
  4. Kristen Koptik (Mesir), Sikh, dan bahkan dalam beberapa tradisi Buddha Tibet
    • Para biarawati atau pemimpin spiritual memakai kerudung atau selubung kepala sebagai bentuk komitmen religius dan spiritualitas mereka, bukan untuk menyembunyikan diri dari pandangan laki-laki.

 

Simbol Martabat, Bukan Alat Penjinak Nafsu

Namun sayangnya, dalam masyarakat modern yang masih dipenuhi bias patriarkis, makna kerudung sering direduksi menjadi semacam "alat proteksi diri" dari pandangan dan hasrat laki-laki. Seolah-olah tubuh perempuan adalah sumber masalah, dan tugas moral atas nafsu lelaki adalah beban yang harus ditanggung melalui kain di kepala perempuan.

Penggunaan kerudung dalam berbagai agama dan budaya lebih dari sekadar soal aurat atau perlindungan dari nafsu laki-laki. Ia adalah simbol martabat, identitas spiritual, dan integritas pribadi.

  • Kerudung melambangkan kekhusyukan, pengabdian, dan keterhubungan kepada yang Ilahi.
  • Bagi banyak perempuan religius, kerudung bukan untuk “melindungi diri dari laki-laki,” tetapi mewakili dedikasi mereka kepada Tuhan atau prinsip suci tertentu.
  • Mengaitkan kerudung hanya pada perlindungan dari hasrat lelaki sesungguhnya mereduksi makna spiritual dan simbolik yang jauh lebih luas dan agung.

Hasrat dan Pengendalian: Tanggung Jawab Laki-Laki


Nafsu adalah bagian dari kodrat manusia, baik lelaki maupun perempuan. Tapi, pengendalian terhadap nafsu bukan tanggung jawab perempuan semata melalui busana, melainkan kewajiban laki-laki untuk mengelola pikiran, pandangan, dan sikapnya. Padahal, bila kita telusuri ajaran spiritual secara lebih jernih, yang pertama kali diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan mengendalikan nafsu adalah laki-laki itu sendiri. Bahkan dalam Islam (QS An-Nur: 30), ayat tentang menjaga pandangan bagi laki-laki muncul sebelum ayat yang menyerukan perempuan menjaga aurat. Ini bukan urutan kebetulan, tapi pesan tersirat yang penting: Tanggung jawab kendali nafsu tidak boleh dialihkan.


Kerudung dalam konteks ini seharusnya kembali diposisikan sebagai simbol kesadaran spiritual, bukan alat penjinak birahi. Karena sejatinya, jika dunia menjadi tempat yang tidak aman bagi perempuan, maka bukan busana yang harus dibenahi—tetapi cara berpikir dan sistem sosial yang masih menyalahkan korban.Dan jika memang dunia ini belum aman, maka yang dibutuhkan perempuan bukan hanya kerudung, tapi keberanian dan keterampilan bela diri. Bukan untuk membalas, tapi untuk bertahan. Karena jika tubuhnya terus-menerus menjadi objek pelampiasan hasrat dan kontrol sosial, maka satu-satunya cara untuk mempertahankan martabat adalah dengan menegakkan otonomi tubuh dan kesadaran diri.


Dengan kata lain, laki-laki harus belajar mengendalikan nafsunya sendiri. Jika tidak, maka perempuan perlu membekali dirinya dengan kesadaran, keberanian, dan mungkin kemampuan membela diri. Dunia tidak akan pernah benar-benar aman bagi perempuan selama yang diatur hanya pakaian, bukan perilaku dan akal sehat.

 

Dari Simbol Kontrol ke Simbol Kesadaran

    Kerudung dalam tradisi-tradisi dunia bukanlah lambang represi, tapi simbol kesadaran diri, spiritualitas, dan martabat. Kita perlu melampaui narasi patriarkal yang hanya melihat kerudung sebagai "penutup tubuh agar tak memancing nafsu", dan mulai melihatnya sebagai pernyataan eksistensi perempuan yang sadar akan nilai dirinya.Jika laki-laki merasa "terganggu" karena perempuan tidak memakai kerudung, masalahnya bukan pada perempuan, tetapi pada ketidakmampuan laki-laki mengelola pikirannya.

 

Kerudung Tak Menghalangi Nafsu: Saatnya Menyalahkan Pelaku, Bukan Pakaian


Kerudung kerap diposisikan sebagai simbol kesalehan dan perlindungan perempuan dari syahwat lelaki. Namun, narasi ini perlu dikaji ulang secara kritis—karena bukti-bukti nyata justru menunjukkan bahwa perempuan berjilbab pun tetap menjadi korban kekerasan seksual. Artinya, masalah utama bukan pada busana, tapi pada pikiran dan perilaku pelaku.


Pakaian Bukan Tameng Syahwat


Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa perempuan yang menutup aurat akan otomatis terhindar dari pelecehan seksual. Sayangnya, realitas berkata sebaliknya. Pakaian tertutup tidak pernah menjadi jaminan perlindungan. Data menunjukkan bahwa perempuan berjilbab bahkan tak luput dari objek kemesuman.


Dalam survei Tirto.id (2019) terhadap 2.519 responden, sebanyak 24% perempuan yang dilecehkan seksual menyatakan sedang mengenakan pakaian religius—seperti jilbab panjang, gamis, atau bahkan cadar—saat peristiwa terjadi. Ini menunjukkan bahwa pelecehan tak mengenal batas kain.


Laporan Komnas Perempuan (2023) juga menegaskan bahwa pelecehan seksual terjadi dalam berbagai bentuk dan ruang, tanpa memandang cara berpakaian korban. Bahkan, banyak pelecehan terjadi di ruang-ruang religius seperti sekolah, masjid, dan pesantren. Salah satu kasus yang paling mencolok adalah pelecehan berantai oleh Herry Wirawan, seorang guru agama terhadap santri-santrinya—semua korban berjilbab.


Nafsu Bukan Masalah Tubuh Perempuan


Mengaitkan pakaian perempuan dengan nafsu lelaki adalah bentuk pengalihan tanggung jawab moral. Nafsu adalah bagian dari kodrat manusia, tapi pengendalian adalah tugas pribadi. Laki-laki harus belajar menundukkan pandangan dan menjaga perilakunya—itulah akar masalahnya. Dalam konteks Islam sekalipun, perintah pertama tentang menjaga pandangan justru ditujukan kepada laki-laki (QS An-Nur: 30). Baru setelah itu perempuan diminta menjaga aurat (QS An-Nur: 31). Ini menegaskan bahwa pengendalian nafsu adalah tanggung jawab laki-laki terlebih dahulu.


    Ketika perempuan tetap menjadi korban meski sudah menutup tubuhnya, jelas bahwa yang bermasalah bukan tubuhnya, tapi pikiran pelaku. Menyuruh perempuan menutup kepala demi mencegah godaan hanyalah cara halus menyalahkan korban (victim blaming).


Saatnya Berpihak pada Martabat dan Kesadaran


Kerudung bukan tameng seksual. Ia bisa menjadi simbol spiritualitas, kesederhanaan, dan kesadaran diri. Namun, ia tak boleh dijadikan beban moral untuk melindungi lelaki dari pikirannya sendiri. Karena jika benar dunia ini belum aman, maka yang dibutuhkan perempuan bukan hanya kerudung—tetapi keberanian, pendidikan, solidaritas, bahkan bela diri.


Kita perlu menggeser narasi dari "tutup aurat agar tidak digoda" menjadi "didik laki-laki agar tidak menggoda". Tubuh perempuan bukan pemicu dosa. Nafsu lelaki bukan hukum alam yang harus dimaklumi. Kerudung adalah hak, bukan kewajiban moral atas dosa orang lain. Ia adalah pilihan spiritual, bukan pagar atas kejahatan. Dan bila pelecehan tetap terjadi bahkan pada mereka yang tertutup rapat, maka sudah saatnya kita bertanya ulang: apa yang sebenarnya perlu ditutupi—tubuh perempuan, atau pikiran jahat lelaki?

 

Larangan Jilbab di Berbagai Negara: Antara Sekularisme dan Pelanggaran Hak Perempuan

        Dalam beberapa dekade terakhir, isu larangan jilbab telah menjadi topik hangat dalam perdebatan seputar sekularisme, kebebasan beragama, dan hak perempuan. Beberapa negara, terutama di Eropa dan Asia Tengah, memberlakukan larangan penuh atau sebagian terhadap pemakaian jilbab dan simbol keagamaan lainnya di ruang publik atau institusi formal. Alasan yang dikemukakan beragam—dari menjaga netralitas negara, keamanan, hingga integrasi sosial. Namun, pertanyaan utama tetap mengemuka: apakah larangan ini benar-benar membebaskan perempuan, atau justru membatasi kebebasan mereka?


Negara-Negara yang Melarang atau Membatasi Jilbab


Negara dengan kebijakan paling tegas terhadap larangan jilbab adalah Prancis, yang sejak 2004 melarang simbol keagamaan mencolok, termasuk jilbab, di sekolah-sekolah negeri. Pada 2010, Prancis juga melarang cadar (burqa dan niqab) di ruang publik, dan sejak 2024, melarang pemakaian abaya di sekolah. Negara lain seperti Belgia, Belanda, Denmark, dan Swiss juga mengadopsi kebijakan serupa, dengan cakupan berbeda—ada yang melarang hanya cadar, ada pula yang memperluas ke jilbab dalam konteks pendidikan atau pemerintahan.


Di luar Eropa, pembatasan jilbab juga terjadi di beberapa bagian India, khususnya negara bagian Karnataka, serta di wilayah Xinjiang, Tiongkok, di mana umat Muslim Uighur mengalami tekanan untuk meninggalkan simbol keagamaannya. Negara-negara Asia Tengah seperti Tajikistan dan Uzbekistan bahkan menerapkan kebijakan resmi yang melarang jilbab di instansi pemerintahan dan sekolah.


Dampak Positif dan Negatif bagi Perempuan Berjilbab

Dampak Positif (dari Perspektif Pendukung Larangan)

  1. Meningkatkan "kesetaraan visual" di ruang publik: Dengan menghilangkan simbol keagamaan, pemerintah berharap tercipta kesetaraan dalam interaksi sosial dan pendidikan tanpa adanya diferensiasi berbasis agama.
  2. Melindungi dari tekanan komunitas: Beberapa pihak beranggapan bahwa larangan jilbab dapat membebaskan perempuan dari tekanan keluarga atau lingkungan untuk menutup aurat secara paksa.
  3. Menegakkan sekularisme: Di negara seperti Prancis, larangan ini dianggap sebagai bagian dari mempertahankan prinsip laïcité (sekularisme ketat), yang menuntut pemisahan total antara agama dan negara.

Namun, klaim positif ini sering kali tidak berdiri kokoh di hadapan kenyataan sosial yang kompleks.


Dampak Negatif (yang Lebih Dominan Terjadi di Lapangan)

  1. Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berekspresi: Bagi banyak perempuan Muslim, mengenakan jilbab adalah pilihan spiritual. Melarangnya sama saja dengan memaksa mereka melepas identitas religiusnya, bukan membebaskan mereka.
  2. Marginalisasi di bidang pendidikan dan pekerjaan: Di negara-negara yang melarang jilbab, perempuan Muslim menghadapi dilema berat antara meninggalkan keyakinannya atau kehilangan akses pendidikan dan kerja. Ini memperkuat diskriminasi struktural.
  3. Stigma dan Islamofobia meningkat: Larangan ini sering kali memperkuat narasi negatif tentang Islam dan perempuan Muslim sebagai ancaman atau simbol keterbelakangan.
  4. Paradoks kebebasan: Atas nama kebebasan, negara justru membatasi hak perempuan untuk memilih. Kebebasan sejati mestinya mencakup hak untuk berjilbab maupun tidak berjilbab.

Menghormati Pilihan, Bukan Memaksakan Norma


Kebijakan larangan jilbab yang diberlakukan di beberapa negara menunjukkan kontradiksi antara niat menjaga kebebasan dan praktik yang justru mengekang kebebasan itu sendiri. Dalam masyarakat yang benar-benar demokratis dan menjunjung hak asasi manusia, perempuan berhak memilih bagaimana mereka berpakaian—termasuk jika pilihan itu adalah mengenakan jilbab.

 Alih-alih mengatur tubuh perempuan demi norma sekular atau budaya mayoritas, negara seharusnya fokus pada perlindungan atas hak setiap warga untuk menjalankan keyakinannya tanpa paksaan, baik dari negara maupun komunitas. Membebaskan perempuan bukan berarti menyeragamkan mereka, tetapi memberi ruang bagi pilihan sadar yang lahir dari pemahaman dan keyakinan pribadi.


       

Daftar Referensi

Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 30–31.
– QS An-Nur: 30: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya..."
– QS An-Nur: 31: "Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya..."

Amnesty International. (2018). France: Discrimination in the name of neutrality.
Diakses dari: https://www.amnesty.org

BBC Indonesia. (2021). Herry Wirawan: Kasus Pemerkosaan oleh Guru Agama terhadap 13 Santriwati di Bandung.
Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59666029

BBC News. (2023). France bans abaya dress in state schools.
Diakses dari: https://www.bbc.com/news/world-europe-66637913

European Court of Human Rights (ECHR) Cases – Leyla Åžahin v. Turkey (2005).
Kasus yang menunjukkan legalisasi larangan jilbab di universitas oleh pengadilan Eropa, tetapi juga memicu perdebatan tentang batas kebebasan beragama.

Human Rights Watch. (2022). India: Hijab Ban Discriminatory.
Diakses dari: https://www.hrw.org/news/2022/02/14/india-hijab-ban-discriminatory

Joppke, Christian. (2009). Veil: Mirror of Identity. Polity Press.
Buku ini menganalisis kebijakan larangan jilbab di Eropa dan menyatakan bahwa banyak dari larangan itu berbasis ketakutan budaya, bukan keamanan.

Komnas Perempuan. (2023). Catatan Tahunan Komnas Perempuan tentang Kekerasan terhadap Perempuan.
Diakses dari: https://komnasperempuan.go.id

Mahmood, Saba. (2005). Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton University Press.
Buku ini membahas bagaimana jilbab bisa menjadi ekspresi kesadaran spiritual dan bukan semata tekanan patriarkal.

Nuruzzaman, M. (2016). Jilbab dan Simbol Moralitas Perempuan dalam Pandangan Islam: Analisis Kritis terhadap Wacana Keagamaan. Jurnal Ilmiah Islam Futura, UIN Ar-Raniry.

OHCHR – United Nations Human Rights Office. (2021). UN experts urge States to stop using women’s rights as a pretext to restrict religious clothing.
Diakses dari: https://www.ohchr.org

Saputra, F. & Rahmadani, A. (2020). Victim Blaming terhadap Korban Kekerasan Seksual: Telaah Sosial dan Budaya. Jurnal Komunikasi dan Gender, Universitas Indonesia.

The Conversation. (2019). France's headscarf debate is a distraction from real problems of discrimination.
Diakses dari: https://theconversation.com/frances-headscarf-debate-is-a-distraction-from-real-problems-of-discrimination-126395

The Guardian. (2021). Switzerland votes to ban burqa and niqab in public places.
Diakses dari: https://www.theguardian.com/world/2021/mar/07/switzerland-votes-to-ban-burqa-and-niqab-in-public-places

Tirto.id. (2019). Survei Kekerasan Seksual: Sebagian Besar Terjadi di Tempat Umum.
Diakses dari: https://tirto.id

UN Women. (2020). Sexual Harassment: A Widespread Violation of Women's Rights.
Diakses dari: https://www.unwomen.org

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar