Kematian adalah misteri yang paling pasti. Ia tak datang dengan pengumuman, tapi seringkali mengetuk hati orang-orang tertentu jauh-jauh hari sebelum ajal menjemput. Saya masih ingat jelas kisah wafatnya nenek saya. Di usia yang sudah sangat renta, ia tidak hanya bersikap tenang, tapi bahkan menyambut kedatangan tamu-tamunya yang tak kasatmata. Kala itu, beliau memanggil budhe saya, meminta dibuatkan minuman untuk "empat pria berbaju putih yang datang bertamu." Hanya beliau yang bisa melihat. Dan tak lama setelah itu, beliau wafat dalam damai. Tak ada drama, tak ada teriakan, seolah hanya pindah kamar dari dunia ke akhirat.
![]() |
Ilustrasi Surga dan Neraka |
Fenomena
semacam ini tidak asing dalam tradisi banyak masyarakat. Dalam kajian
antropologi kematian, Clifford Geertz pernah mencatat bahwa banyak komunitas
tradisional meyakini bahwa tanda-tanda kematian bisa hadir dalam mimpi,
perilaku aneh, atau bahkan semacam firasat mendalam (Geertz, 1973). Dalam
literatur Islam, bahkan Rasulullah SAW pun memberikan isyarat bahwa orang-orang
yang akan wafat seringkali diberi “tanda” atau “kepekaan batin” menjelang
ajalnya. Allah berfirman dalam Surah Qaf ayat 19: "Dan datanglah sakaratul
maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya."
Namun,
tidak semua kematian hadir seindah kisah nenek saya. Ada yang pergi dengan
linangan air mata, dengan pelukan yang belum usai, dengan janji yang masih
menggantung. Bukan berarti yang dramatis itu salah, tapi sebagaimana ikhlas tak
bisa dipaksakan, demikian juga kesiapan meninggal. Orang yang hidupnya sudah
selesai dengan urusan dunia cenderung lebih lapang. Ia tak lagi disibukkan oleh
keinginan-keinginan yang membebani. Sementara kita—yang masih ingin ini, ingin
itu, menyelesaikan ini, menggapai itu—seringkali merasa belum siap mati. Dan
itu wajar.
Psikolog
Elisabeth Kübler-Ross, dalam teorinya tentang lima tahap menghadapi kematian
(denial, anger, bargaining, depression, acceptance), menjelaskan bahwa
penerimaan adalah tahap paling akhir dan paling berat (Kübler-Ross, 1969).
Dalam praktiknya, banyak orang tidak pernah benar-benar mencapai tahap ini,
bahkan sampai ajal menjemput. Keikhlasan terhadap kematian membutuhkan proses
spiritual yang panjang: merenungi makna hidup, menyelesaikan konflik batin,
dan—terutama—mengikhlaskan keterikatan pada dunia.
Teori Lima Tahap Duka
Elisabeth Kübler-Ross (Five Stages of Grief / Kübler-Ross Model)
Psikolog
dan psikiater Swiss-Amerika, Elisabeth Kübler-Ross, memperkenalkan teorinya tentang
lima tahap respon manusia terhadap kematian dan kehilangan dalam bukunya yang
berjudul On Death and Dying (1969). Teori ini awalnya dikembangkan dari
studinya terhadap pasien-pasien terminal—orang-orang yang telah divonis
memiliki waktu hidup terbatas. Namun, dalam perkembangannya, model ini juga
digunakan untuk memahami berbagai bentuk kehilangan: mulai dari kematian orang
terkasih, perceraian, kehilangan pekerjaan, hingga hilangnya identitas atau
masa depan.
Kelima tahap tersebut tidak
selalu dialami secara berurutan dan tidak semua orang akan melalui kelimanya.
Namun, teori ini membantu kita memahami dinamika psikologis seseorang saat
menghadapi kenyataan tentang kematian atau kehilangan besar.
- Denial
(Penolakan)
“Saya tidak percaya ini terjadi.”
Penolakan adalah respon awal terhadap kabar buruk yang mengejutkan, seperti diagnosis penyakit terminal atau kabar kematian orang terkasih. Ini adalah mekanisme pertahanan alami untuk meredakan efek keterkejutan. Otak dan hati seolah belum siap menerima kenyataan.
Contoh: Seorang pasien
kanker yang baru didiagnosis mungkin mengatakan, “Tidak mungkin, hasilnya pasti
salah.” Seseorang yang kehilangan pasangan bisa tetap menata meja makan untuk
dua orang setiap hari, seperti biasa.
Dalam
Islam, bentuk penolakan semacam ini bisa dipahami sebagai bagian dari fitrah
manusia yang belum sepenuhnya siap menerima takdir. Namun, melalui zikir dan
tadabbur, Islam mendorong agar manusia berpindah dari penolakan menuju
penerimaan takdir Allah (rida bi qadha’illah).
- Anger
(Kemarahan)
“Kenapa aku? Ini tidak adil!”
Setelah penolakan mulai memudar dan realitas mulai terasa, muncul perasaan marah. Kemarahan ini bisa diarahkan ke diri sendiri, orang lain, dokter, sistem, bahkan Tuhan. Ini adalah fase emosi yang kuat, terkadang meledak-ledak atau pasif-agresif.
Contoh: “Tuhan tidak adil!”
atau “Kalau saja dokter bertindak lebih cepat, ini tidak akan terjadi.”
Kemarahan
bisa menjadi pintu masuk ke dialog batin dan kejujuran emosi. Dalam Islam,
ekspresi marah terhadap takdir memang tidak dianjurkan, tetapi perasaan itu
dipahami sebagai bagian dari proses. Nabi ﷺ sendiri mengajarkan agar orang yang
marah mencari ketenangan: duduk jika sedang berdiri, berwudhu, dan mengingat
Allah.
- Bargaining
(Tawar-menawar)
“Kalau aku sembuh, aku janji akan lebih taat.”
Tahap ini ditandai dengan upaya ‘menegosiasikan’ realitas demi harapan. Seseorang mulai mencari celah atau pengganti agar bisa membatalkan kenyataan yang menyakitkan. Tawar-menawar bisa berbentuk janji pada Tuhan, mencoba ‘beramal lebih’ agar kematian tertunda, atau berharap bisa ‘menukar’ kondisi.
Contoh: “Ya Allah,
sembuhkan aku, nanti aku akan rajin salat dan tidak lalai lagi.”
Dalam
konteks spiritual, fase ini bisa menjadi titik balik jika direspons dengan niat
tulus. Tawar-menawar ini, jika ditransformasikan, bisa menjadi awal dari taubat
dan perubahan perilaku. Namun jika tidak diterima dengan sadar, bisa
menimbulkan kekecewaan mendalam saat realitas tetap berjalan.
- Depression
(Kedukaan atau Keputusasaan)
“Saya benar-benar kehilangan harapan.”
Ketika tawar-menawar tidak “mengubah” apa pun, dan realitas semakin nyata, kesedihan mulai mendalam. Individu merasa hampa, kehilangan semangat, merasa tidak punya arah. Ini bisa menjadi fase yang gelap, tapi juga jujur, karena tidak lagi menolak kenyataan.
Contoh: “Semua tidak ada
artinya.” atau “Saya lelah, untuk apa hidup?”
Dalam
Islam, kesedihan bukan sesuatu yang tabu. Bahkan Nabi Ya’qub as pun menangis
sampai matanya buta ketika kehilangan Yusuf as. Yang penting bukan menahan
tangis, tapi bagaimana tetap menjaga harapan kepada Allah (husnuzan billah) di
tengah kesedihan. Doa, dzikir, dan support sosial sangat penting di fase ini.
- Acceptance
(Penerimaan)
“Saya damai dengan ini.”
Penerimaan bukan berarti bahagia atau rela kehilangan, tetapi mampu hidup berdampingan dengan kenyataan. Dalam fase ini, seseorang mulai menyusun ulang hidupnya dengan situasi yang ada. Tidak semua orang mencapai tahap ini, dan tidak semua mencapainya dengan cara yang sama.
Contoh:
“Saya siap kalau ini memang saatnya.” atau “Saya ingin memanfaatkan sisa waktu
saya dengan baik.”
Dalam
Islam, penerimaan terhadap takdir disebut rida (رضا). Imam Al-Ghazali menulis
bahwa rida adalah puncak dari sabar dan bentuk tertinggi dari kepasrahan kepada
kehendak Allah. Seseorang yang wafat dalam keadaan rida disebut akan mendapat
keridhaan Allah juga:
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah: 8)
Menariknya,
dalam berbagai laporan kasus akhir hayat (end-of-life experiences), beberapa
pasien dengan penyakit terminal yang menerima kematian mereka justru wafat
dalam damai. Penelitian dari Harvard Medical School (2014) menunjukkan bahwa
pasien paliatif yang menerima kondisi mereka secara spiritual dan emosional
cenderung mengalami “kematian yang lebih baik” — minim intervensi medis
berlebihan dan lebih tenang secara psikologis.
Tapi, di
balik semua itu, satu hal pasti: kematian tak akan pernah datang dengan
permisi. Ia seperti tamu yang datang di luar musim, yang tak menunggu kita rapi
berdandan atau membereskan rumah jiwa kita. Maka, mempersiapkan diri untuk
kematian bukanlah tindakan muram. Justru, itu adalah bentuk paling luhur dari
mencintai hidup: dengan menyadari bahwa setiap detiknya berarti, karena ia bisa
saja yang terakhir.
Persiapan Kematiaan dalam Islam
Saya lama merenungi peristiwa itu. Bahwa ternyata,
meski mati tak bisa direncanakan, ia kadang bisa “diketahui”—terutama oleh
jiwa-jiwa yang telah selesai urusannya di dunia. Dalam Islam, kematian bukan
sekadar akhir, tapi juga titik balik. Ia bukan sekadar penutup hidup, tapi juga
pembuka menuju kehidupan hakiki di akhirat.
Kematian adalah keniscayaan. Dalam bahasa Al-Qur’an:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
"Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati."
(QS. Ali Imran: 185)
Tak ada
satupun makhluk yang bisa menghindar, mempercepat, apalagi menunda. “Maut yang
kamu lari darinya, justru akan menemui kamu,” firman Allah dalam QS.
Al-Jumu’ah: 8. Bahkan malaikat maut pun tak menunggu kesiapan kita, sebagaimana
disebut dalam QS. As-Sajdah: 11, bahwa malaikat maut telah ditugaskan untuk
mencabut nyawa tiap jiwa.
Kematian
bukan sesuatu yang asing dalam Islam, justru ia adalah pengingat paling nyata
tentang hakikat hidup. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perbanyaklah mengingat
pemutus kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi) Bukan untuk membuat hidup
muram, tapi agar manusia lebih sadar akan batasnya.
Namun,
bersiap mati bukanlah perkara mudah. Karena sebagaimana ikhlas, meninggalkan
dunia—yang begitu kita cintai—menuntut pelepasan. Banyak dari kita yang masih
bergantung: pada cita-cita, pada orang-orang terkasih, pada ambisi-ambisi yang
belum tercapai. Maka wajar bila banyak yang belum siap mati.
Imam
Al-Ghazali bahkan menyebut bahwa mengingat mati adalah kunci lembutnya hati.
“Orang yang paling cerdas adalah yang paling banyak ingat mati dan paling
serius mempersiapkannya.” (Ihya’ Ulumuddin). Dalam pandangannya, semakin dekat
seseorang pada Allah, semakin ringan ia memandang kematian.
Imam Ibn
Qayyim dalam Kitab ar-Ruh menulis bahwa ruh orang beriman akan disambut
malaikat dengan sapaan damai, diperlihatkan tempatnya di surga, dan mendapatkan
ketenangan di alam barzakh. Sebaliknya, ruh orang yang durhaka menghadapi
penyempitan kubur dan penyesalan.
Saya
kira, kalaupun kematian tak bisa direncanakan, ia tetap bisa “diketahui”—dalam
artian dirasakan kehadirannya lewat batin yang peka dan jiwa yang lapang.
Mungkin itu pula sebabnya nenek saya menyambut “empat pria berbaju putih” itu
dengan tenang. Karena bagi orang yang telah selesai dengan hidupnya, kematian
bukan lagi penutup, tapi pintu pulang yang dinanti.
Nenek
saya, menurut saya, termasuk golongan pertama itu. Ia wafat setelah
menyelesaikan “pekerjaan rumahnya” di dunia. Ia telah memaafkan, melepas, dan
menyiapkan diri. Maka tak heran jika ketika malaikat maut datang—mungkin dalam
rupa empat pria berbaju putih—beliau menyambutnya sebagai tamu, bukan momok
yang menakutkan.
Dari
kisah itu, saya belajar satu hal penting: bahwa kematian memang tidak bisa
dipastikan waktunya, tapi ia bisa dipersiapkan. Dengan hidup yang lebih jujur,
lebih lembut, dan lebih ringan. Kita mungkin belum sampai pada tahap ikhlas
sepenuhnya. Tapi setidaknya, kita bisa mulai berjalan ke arah itu. Karena
sejatinya, hidup yang baik adalah hidup yang siap untuk mati kapan saja.
Dan bukankah kematian itu,
sejatinya, hanyalah jalan pulang?
📚
Referensi:
Al-Qur’an: QS. Ali Imran:
185; Al-Jumu’ah: 8; As-Sajdah: 11; Al-Mulk: 2
Hadis Nabi SAW: HR.
Tirmidzi, HR. Hakim, HR. Ahmad, HR. Abu Dawud
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin
Ibn Qayyim al-Jawziyyah,
Kitab ar-Ruh
Kübler-Ross, E. (1969). On
Death and Dying
Harvard Medical School
(2014). End-of-life care studies
Tidak ada komentar:
Posting Komentar