My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Selasa, 13 Mei 2025

Mati Itu Tak Bisa Direncanakan, Tapi Bisa Diketahui

           Kematian adalah misteri yang paling pasti. Ia tak datang dengan pengumuman, tapi seringkali mengetuk hati orang-orang tertentu jauh-jauh hari sebelum ajal menjemput. Saya masih ingat jelas kisah wafatnya nenek saya. Di usia yang sudah sangat renta, ia tidak hanya bersikap tenang, tapi bahkan menyambut kedatangan tamu-tamunya yang tak kasatmata. Kala itu, beliau memanggil budhe saya, meminta dibuatkan minuman untuk "empat pria berbaju putih yang datang bertamu." Hanya beliau yang bisa melihat. Dan tak lama setelah itu, beliau wafat dalam damai. Tak ada drama, tak ada teriakan, seolah hanya pindah kamar dari dunia ke akhirat.

Ilustrasi Surga dan Neraka



Fenomena semacam ini tidak asing dalam tradisi banyak masyarakat. Dalam kajian antropologi kematian, Clifford Geertz pernah mencatat bahwa banyak komunitas tradisional meyakini bahwa tanda-tanda kematian bisa hadir dalam mimpi, perilaku aneh, atau bahkan semacam firasat mendalam (Geertz, 1973). Dalam literatur Islam, bahkan Rasulullah SAW pun memberikan isyarat bahwa orang-orang yang akan wafat seringkali diberi “tanda” atau “kepekaan batin” menjelang ajalnya. Allah berfirman dalam Surah Qaf ayat 19: "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya."


Namun, tidak semua kematian hadir seindah kisah nenek saya. Ada yang pergi dengan linangan air mata, dengan pelukan yang belum usai, dengan janji yang masih menggantung. Bukan berarti yang dramatis itu salah, tapi sebagaimana ikhlas tak bisa dipaksakan, demikian juga kesiapan meninggal. Orang yang hidupnya sudah selesai dengan urusan dunia cenderung lebih lapang. Ia tak lagi disibukkan oleh keinginan-keinginan yang membebani. Sementara kita—yang masih ingin ini, ingin itu, menyelesaikan ini, menggapai itu—seringkali merasa belum siap mati. Dan itu wajar.


Psikolog Elisabeth Kübler-Ross, dalam teorinya tentang lima tahap menghadapi kematian (denial, anger, bargaining, depression, acceptance), menjelaskan bahwa penerimaan adalah tahap paling akhir dan paling berat (Kübler-Ross, 1969). Dalam praktiknya, banyak orang tidak pernah benar-benar mencapai tahap ini, bahkan sampai ajal menjemput. Keikhlasan terhadap kematian membutuhkan proses spiritual yang panjang: merenungi makna hidup, menyelesaikan konflik batin, dan—terutama—mengikhlaskan keterikatan pada dunia.


Teori Lima Tahap Duka Elisabeth Kübler-Ross (Five Stages of Grief / Kübler-Ross Model)


Psikolog dan psikiater Swiss-Amerika, Elisabeth Kübler-Ross, memperkenalkan teorinya tentang lima tahap respon manusia terhadap kematian dan kehilangan dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying (1969). Teori ini awalnya dikembangkan dari studinya terhadap pasien-pasien terminal—orang-orang yang telah divonis memiliki waktu hidup terbatas. Namun, dalam perkembangannya, model ini juga digunakan untuk memahami berbagai bentuk kehilangan: mulai dari kematian orang terkasih, perceraian, kehilangan pekerjaan, hingga hilangnya identitas atau masa depan.


Kelima tahap tersebut tidak selalu dialami secara berurutan dan tidak semua orang akan melalui kelimanya. Namun, teori ini membantu kita memahami dinamika psikologis seseorang saat menghadapi kenyataan tentang kematian atau kehilangan besar.


  1. Denial (Penolakan)
    “Saya tidak percaya ini terjadi.”
    Penolakan adalah respon awal terhadap kabar buruk yang mengejutkan, seperti diagnosis penyakit terminal atau kabar kematian orang terkasih. Ini adalah mekanisme pertahanan alami untuk meredakan efek keterkejutan. Otak dan hati seolah belum siap menerima kenyataan.

Contoh: Seorang pasien kanker yang baru didiagnosis mungkin mengatakan, “Tidak mungkin, hasilnya pasti salah.” Seseorang yang kehilangan pasangan bisa tetap menata meja makan untuk dua orang setiap hari, seperti biasa.

Dalam Islam, bentuk penolakan semacam ini bisa dipahami sebagai bagian dari fitrah manusia yang belum sepenuhnya siap menerima takdir. Namun, melalui zikir dan tadabbur, Islam mendorong agar manusia berpindah dari penolakan menuju penerimaan takdir Allah (rida bi qadha’illah).


  1. Anger (Kemarahan)
    “Kenapa aku? Ini tidak adil!”
    Setelah penolakan mulai memudar dan realitas mulai terasa, muncul perasaan marah. Kemarahan ini bisa diarahkan ke diri sendiri, orang lain, dokter, sistem, bahkan Tuhan. Ini adalah fase emosi yang kuat, terkadang meledak-ledak atau pasif-agresif.

Contoh: “Tuhan tidak adil!” atau “Kalau saja dokter bertindak lebih cepat, ini tidak akan terjadi.”

Kemarahan bisa menjadi pintu masuk ke dialog batin dan kejujuran emosi. Dalam Islam, ekspresi marah terhadap takdir memang tidak dianjurkan, tetapi perasaan itu dipahami sebagai bagian dari proses. Nabi ﷺ sendiri mengajarkan agar orang yang marah mencari ketenangan: duduk jika sedang berdiri, berwudhu, dan mengingat Allah.


  1. Bargaining (Tawar-menawar)
    “Kalau aku sembuh, aku janji akan lebih taat.”
    Tahap ini ditandai dengan upaya ‘menegosiasikan’ realitas demi harapan. Seseorang mulai mencari celah atau pengganti agar bisa membatalkan kenyataan yang menyakitkan. Tawar-menawar bisa berbentuk janji pada Tuhan, mencoba ‘beramal lebih’ agar kematian tertunda, atau berharap bisa ‘menukar’ kondisi.

Contoh: “Ya Allah, sembuhkan aku, nanti aku akan rajin salat dan tidak lalai lagi.”

Dalam konteks spiritual, fase ini bisa menjadi titik balik jika direspons dengan niat tulus. Tawar-menawar ini, jika ditransformasikan, bisa menjadi awal dari taubat dan perubahan perilaku. Namun jika tidak diterima dengan sadar, bisa menimbulkan kekecewaan mendalam saat realitas tetap berjalan.


  1. Depression (Kedukaan atau Keputusasaan)
    “Saya benar-benar kehilangan harapan.”
    Ketika tawar-menawar tidak “mengubah” apa pun, dan realitas semakin nyata, kesedihan mulai mendalam. Individu merasa hampa, kehilangan semangat, merasa tidak punya arah. Ini bisa menjadi fase yang gelap, tapi juga jujur, karena tidak lagi menolak kenyataan.

Contoh: “Semua tidak ada artinya.” atau “Saya lelah, untuk apa hidup?”

Dalam Islam, kesedihan bukan sesuatu yang tabu. Bahkan Nabi Ya’qub as pun menangis sampai matanya buta ketika kehilangan Yusuf as. Yang penting bukan menahan tangis, tapi bagaimana tetap menjaga harapan kepada Allah (husnuzan billah) di tengah kesedihan. Doa, dzikir, dan support sosial sangat penting di fase ini.


  1. Acceptance (Penerimaan)
    “Saya damai dengan ini.”
    Penerimaan bukan berarti bahagia atau rela kehilangan, tetapi mampu hidup berdampingan dengan kenyataan. Dalam fase ini, seseorang mulai menyusun ulang hidupnya dengan situasi yang ada. Tidak semua orang mencapai tahap ini, dan tidak semua mencapainya dengan cara yang sama.

Contoh: “Saya siap kalau ini memang saatnya.” atau “Saya ingin memanfaatkan sisa waktu saya dengan baik.”

Dalam Islam, penerimaan terhadap takdir disebut rida (رضا). Imam Al-Ghazali menulis bahwa rida adalah puncak dari sabar dan bentuk tertinggi dari kepasrahan kepada kehendak Allah. Seseorang yang wafat dalam keadaan rida disebut akan mendapat keridhaan Allah juga:

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
“Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah: 8)

 

Menariknya, dalam berbagai laporan kasus akhir hayat (end-of-life experiences), beberapa pasien dengan penyakit terminal yang menerima kematian mereka justru wafat dalam damai. Penelitian dari Harvard Medical School (2014) menunjukkan bahwa pasien paliatif yang menerima kondisi mereka secara spiritual dan emosional cenderung mengalami “kematian yang lebih baik” — minim intervensi medis berlebihan dan lebih tenang secara psikologis.


Tapi, di balik semua itu, satu hal pasti: kematian tak akan pernah datang dengan permisi. Ia seperti tamu yang datang di luar musim, yang tak menunggu kita rapi berdandan atau membereskan rumah jiwa kita. Maka, mempersiapkan diri untuk kematian bukanlah tindakan muram. Justru, itu adalah bentuk paling luhur dari mencintai hidup: dengan menyadari bahwa setiap detiknya berarti, karena ia bisa saja yang terakhir.



 

Persiapan Kematiaan dalam Islam


    Saya lama merenungi peristiwa itu. Bahwa ternyata, meski mati tak bisa direncanakan, ia kadang bisa “diketahui”—terutama oleh jiwa-jiwa yang telah selesai urusannya di dunia. Dalam Islam, kematian bukan sekadar akhir, tapi juga titik balik. Ia bukan sekadar penutup hidup, tapi juga pembuka menuju kehidupan hakiki di akhirat.

Kematian adalah keniscayaan. Dalam bahasa Al-Qur’an:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
"Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati."
(QS. Ali Imran: 185)

Tak ada satupun makhluk yang bisa menghindar, mempercepat, apalagi menunda. “Maut yang kamu lari darinya, justru akan menemui kamu,” firman Allah dalam QS. Al-Jumu’ah: 8. Bahkan malaikat maut pun tak menunggu kesiapan kita, sebagaimana disebut dalam QS. As-Sajdah: 11, bahwa malaikat maut telah ditugaskan untuk mencabut nyawa tiap jiwa.


Kematian bukan sesuatu yang asing dalam Islam, justru ia adalah pengingat paling nyata tentang hakikat hidup. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi) Bukan untuk membuat hidup muram, tapi agar manusia lebih sadar akan batasnya.


Namun, bersiap mati bukanlah perkara mudah. Karena sebagaimana ikhlas, meninggalkan dunia—yang begitu kita cintai—menuntut pelepasan. Banyak dari kita yang masih bergantung: pada cita-cita, pada orang-orang terkasih, pada ambisi-ambisi yang belum tercapai. Maka wajar bila banyak yang belum siap mati.


Imam Al-Ghazali bahkan menyebut bahwa mengingat mati adalah kunci lembutnya hati. “Orang yang paling cerdas adalah yang paling banyak ingat mati dan paling serius mempersiapkannya.” (Ihya’ Ulumuddin). Dalam pandangannya, semakin dekat seseorang pada Allah, semakin ringan ia memandang kematian.


Imam Ibn Qayyim dalam Kitab ar-Ruh menulis bahwa ruh orang beriman akan disambut malaikat dengan sapaan damai, diperlihatkan tempatnya di surga, dan mendapatkan ketenangan di alam barzakh. Sebaliknya, ruh orang yang durhaka menghadapi penyempitan kubur dan penyesalan.


Saya kira, kalaupun kematian tak bisa direncanakan, ia tetap bisa “diketahui”—dalam artian dirasakan kehadirannya lewat batin yang peka dan jiwa yang lapang. Mungkin itu pula sebabnya nenek saya menyambut “empat pria berbaju putih” itu dengan tenang. Karena bagi orang yang telah selesai dengan hidupnya, kematian bukan lagi penutup, tapi pintu pulang yang dinanti.


Nenek saya, menurut saya, termasuk golongan pertama itu. Ia wafat setelah menyelesaikan “pekerjaan rumahnya” di dunia. Ia telah memaafkan, melepas, dan menyiapkan diri. Maka tak heran jika ketika malaikat maut datang—mungkin dalam rupa empat pria berbaju putih—beliau menyambutnya sebagai tamu, bukan momok yang menakutkan.


Dari kisah itu, saya belajar satu hal penting: bahwa kematian memang tidak bisa dipastikan waktunya, tapi ia bisa dipersiapkan. Dengan hidup yang lebih jujur, lebih lembut, dan lebih ringan. Kita mungkin belum sampai pada tahap ikhlas sepenuhnya. Tapi setidaknya, kita bisa mulai berjalan ke arah itu. Karena sejatinya, hidup yang baik adalah hidup yang siap untuk mati kapan saja.


Dan bukankah kematian itu, sejatinya, hanyalah jalan pulang?

 

 

📚 Referensi:

Al-Qur’an: QS. Ali Imran: 185; Al-Jumu’ah: 8; As-Sajdah: 11; Al-Mulk: 2

Hadis Nabi SAW: HR. Tirmidzi, HR. Hakim, HR. Ahmad, HR. Abu Dawud

Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Kitab ar-Ruh

Kübler-Ross, E. (1969). On Death and Dying

Harvard Medical School (2014). End-of-life care studies

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar