My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Kamis, 08 Mei 2025

Kenapa Banyak Perempuan “Baik-baik” Berubah Haluan Setelah Disakiti?

 “Kenapa banyak perempuan yang tadinya baik-baik saja, lalu jadi pelacur hanya karena diputusin pacarnya?” Kalimat itu mungkin terdengar ekstrem, tapi fenomenanya bukan isapan jempol. Di balik kisah kelam yang tampak di permukaan, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar patah hati: kombinasi antara luka emosional, dinamika hormonal, dan ketidakseimbangan relasi antara laki-laki dan perempuan.

Mari kita telaah lebih jauh.




Antara Cinta, Otak, dan Tubuh


        Secara biologis, perempuan dan laki-laki memang merespons cinta dan seks secara berbeda. Sebuah teori yang sering dikutip dalam psikologi evolusioner menyebut bahwa laki-laki cenderung memulai hubungan dengan intensitas cinta yang tinggi, lalu menurun, sedangkan perempuan mulai dari nol dan meningkat seiring waktu (Fisher, 2004).

        Hal ini didukung oleh penelitian tentang oksitosin—hormon yang dilepaskan saat berpelukan, bercinta, atau bahkan hanya merasa dekat secara emosional. Dalam tubuh perempuan, oksitosin jauh lebih berpengaruh secara emosional dibandingkan pada laki-laki (Young & Wang, 2004). Ini artinya: sekali perempuan merasa terikat, maka keterikatannya bisa lebih dalam dan sulit dilepaskan, bahkan jika secara rasional tahu hubungan itu menyakitkan.

 


Ketika Seks Menjadi Kompensasi Luka


        Ada juga fenomena psikologis yang disebut “self-objectification”—di mana seseorang mulai memandang tubuhnya sebagai objek untuk dikonsumsi atau dikendalikan orang lain. Saat seorang perempuan merasa ditolak atau “tidak cukup berharga” di mata mantan pasangannya, bisa muncul impuls untuk “mengambil alih kembali kendali” atas tubuhnya—ironisnya, dengan cara mengekspos atau “menjual” tubuh itu sendiri (Fredrickson & Roberts, 1997).


        Seperti yang dijelaskan oleh neuroendokrinolog Robert Sapolsky (2017), perilaku ekstrem manusia, termasuk keputusan-keputusan yang tampak irasional setelah disakiti, sering kali dipicu oleh kompleksitas sistem saraf, pengalaman masa lalu, dan stres kronis. Maka, menjadi “nakal” setelah patah hati bisa jadi bukan karena lemahnya iman, tapi karena tubuh dan otak tidak tahu bagaimana harus menenangkan rasa hancur yang tiba-tiba.


        Tidak semua perempuan yang tersakiti akan memilih jalan itu, tentu saja. Tapi dalam beberapa kasus, luka emosional yang tidak disadari atau tidak tersalurkan bisa berubah menjadi keputusan ekstrem—termasuk menjadi pekerja seks atau “rebel” terhadap nilai-nilai yang dulu diyakininya.


Hubungan yang Tak Seimbang: Sumber Kekacauan Emosional


        Di sisi lain, kita juga perlu menyoroti ketimpangan dalam hubungan modern. Ketika laki-laki dan perempuan menjalin relasi tanpa mengenali dirinya sendiri dan pasangan secara mendalam, hubungan jadi seperti permainan ego. Yang satu ingin dimengerti, yang lain ingin dikejar. Yang satu “haus” kasih sayang, yang lain sibuk menjaga jarak.

        Padahal, hubungan ideal bukan soal siapa yang memberi lebih dulu atau lebih banyak, melainkan soal menemukan titik temu yang seimbang—baik secara personal (mengenal luka dan kebutuhan diri sendiri) maupun interpersonal (menghargai ritme dan batasan pasangan). Sayangnya, di tengah budaya instan dan narsistik hari ini, banyak orang yang hanya belajar mencintai lewat konten motivasi lima menit, tanpa benar-benar menyelami kedalaman jiwa manusia. Maka tidak heran jika relasi yang rapuh akan cepat runtuh ketika diuji.


Kesadaran sebagai Jalan Pulang


            Fenomena perempuan yang berubah haluan setelah disakiti bukan hanya soal moral atau keimanan, tapi juga soal pemahaman terhadap diri sendiri dan dinamika cinta yang terlalu sering disederhanakan. Brené Brown (2012) menyebut bahwa ketika manusia tidak memiliki ruang aman untuk memproses luka dan kerentanan, rasa malu dan harga diri yang hancur bisa berubah menjadi keputusan yang merusak diri. Maka tidak cukup hanya menyuruh perempuan “move on”—yang dibutuhkan adalah ruang yang memberi validasi dan keberanian untuk tetap bernilai, bahkan setelah patah hati. Kita hidup di zaman yang butuh lebih dari sekadar nasihat “move on”. Kita butuh ruang aman untuk membicarakan luka tanpa dihakimi, memahami cinta tanpa tergesa-gesa, dan membangun relasi yang bukan hanya manis di awal tapi tahan uji di tengah badai.

          Hal itu semua, berawal dari kesadaran. Mengenali diri, mengenali pasangan, dan menyadari bahwa cinta bukan sekadar perasaan menggebu, tapi proses tumbuh—yang kadang menyakitkan, namun jika dikelola dengan bijak, bisa menyelamatkan kita dari pilihan-pilihan yang merusak.

 

Daftar Pustaka

  • Fisher, H. E. (2004). Why We Love: The Nature and Chemistry of Romantic Love. New York: Henry Holt and Company.
  • Fredrickson, B. L., & Roberts, T. (1997). Objectification theory: Toward understanding women’s lived experiences and mental health risks. Psychology of Women Quarterly, 21(2), 173–206. https://doi.org/10.1111/j.1471-6402.1997.tb00108.x
  • Young, L. J., & Wang, Z. (2004). The neurobiology of pair bonding. Nature Neuroscience, 7(10), 1048–1054. https://doi.org/10.1038/nn1327
  • Sapolsky, R. M. (2017). Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst. New York: Penguin Press.
  • Brown, B. (2012). Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead. New York: Gotham Books.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar