My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Senin, 05 Mei 2025

Tradisi, dan Masalah yang Sebenarnya: Pengendalian Diri dalam Relasi Antar Gender

            Perdebatan antara perempuan modern di Barat dan perempuan dalam tradisi Timur sering kali mengarah pada dikotomi palsu: antara perempuan yang "bebas" tetapi lelah dalam relasi tanpa ikatan dan nafkah, versus perempuan yang "terjaga" namun merasa terkurung dalam sistem patriarkis yang membatasi ruang geraknya. Namun, persoalan yang lebih mendasar sebenarnya bukanlah tentang pembagian kerja atau peran gender semata, melainkan persoalan pemaknaan hubungan dan pengendalian diri (Baumeister & Tierney, 2011).


Ilustrasi berbagai perempuan baik barat maupun timur


Di Barat, banyak perempuan mengalami kelelahan emosional dan ekonomi karena terjebak dalam relasi non-komitmen. Mereka berpacaran bertahun-tahun, telah melakukan hubungan seksual, namun tidak mendapatkan jaminan komitmen maupun dukungan finansial. Alih-alih menuju pernikahan, relasi semacam ini kerap berakhir pada ketidakpastian (Illouz, 2012). Ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kebebasan seksual yang tanpa arah benar-benar membebaskan, atau justru memperpanjang penderitaan perempuan? (Giddens, 1992)


Sebaliknya, di banyak masyarakat Timur, sistem tradisional justru memosisikan perempuan untuk tinggal di rumah, sementara laki-laki menjadi pencari nafkah utama. Idealnya, ini memberikan ruang aman dan terlindungi bagi perempuan. Namun, dalam praktiknya, banyak perempuan merasa kehilangan otonomi, terisolasi secara finansial, bahkan rentan ketika pasangannya tidak setia atau tidak bertanggung jawab secara ekonomi dan emosional (Tronto, 1993; Synnott, 2009).


Kedua kutub ini menunjukkan bahwa sistem relasi apa pun—baik yang bebas maupun yang konservatif—bisa gagal bila tidak dibarengi dengan nilai pengendalian diri dan komitmen. Masalah utama bukanlah siapa yang bekerja atau tinggal di rumah, melainkan bagaimana kedua belah pihak memaknai hubungan, terutama hubungan seksual (Nussbaum, 1999). Ketika seks dilakukan tanpa komitmen dan tanggung jawab, ia kehilangan nilai eksklusivitasnya sebagai wujud cinta dalam pernikahan. Ini yang menjadikan seksualitas mudah dipermainkan, baik dalam bentuk free sex maupun perselingkuhan (Bell, 2007).


Jika seks hanya dianggap aktivitas biologis yang bisa dilakukan kapan saja tanpa komitmen, maka manusia akan terjebak dalam relasi dangkal dan saling menyakiti. Sebaliknya, bila seks dimaknai sebagai bagian dari ikatan suci, ia menjadi bagian dari ekspresi cinta dan kepercayaan. Ini bukan sekadar soal moralitas, tapi soal kedewasaan dan tanggung jawab manusia terhadap dirinya dan pasangannya (Baumeister & Tierney, 2011; Giddens, 1992).


Maka, alih-alih terus memperdebatkan pembagian peran berdasarkan gender, sudah saatnya masyarakat global—Barat dan Timur—fokus pada pembangunan karakter dan pengendalian diri dalam menjalin relasi. Hubungan yang sehat, bermakna, dan penuh cinta hanya mungkin terjadi bila kedua pihak saling menghormati, berkomitmen, dan mampu mengendalikan nafsu demi kebaikan jangka panjang (Nussbaum, 1999).


Sebagai penulis, saya meyakini bahwa inti dari hubungan yang sehat bukanlah soal siapa yang dominan atau siapa yang lebih berhak menentukan arah hidup bersama, melainkan kesediaan untuk bertumbuh bersama dalam kesetiaan dan kesadaran. Seksualitas seharusnya menjadi ruang spiritual yang menjaga martabat manusia, bukan sekadar aktivitas jasmani yang kehilangan makna. Dalam dunia yang makin permisif, justru kita perlu keberanian untuk menahan diri, karena cinta sejati selalu tumbuh dari pengorbanan, bukan pelampiasan.

 


Daftar Pustaka

  1. Baumeister, R. F., & Tierney, J. (2011). Willpower: Rediscovering the Greatest Human Strength. New York: Penguin Press.
  2. Bell, L. A. (2007). Sexuality and the Politics of Ethos in the Global Era. Routledge.
  3. Giddens, A. (1992). The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love, and Eroticism in Modern Societies. Stanford University Press.
  4. Illouz, E. (2012). Why Love Hurts: A Sociological Explanation. Polity Press.
  5. Nussbaum, M. C. (1999). Sex and Social Justice. Oxford University Press.
  6. Synnott, A. (2009). Re-thinking Men: Heroes, Villains and Victims. Ashgate Publishing.
  7. Tronto, J. C. (1993). Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic of Care. Routledge.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar