My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Rabu, 07 Mei 2025

Rezeki Itu Tidak Habis, Tapi Nafsu Kita yang Tak Pernah Puas

 Kita sering dengar, katanya Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Tapi, benarkah angka itu? Banyak sejarawan kini menyepakati bahwa penjajahan dalam arti penguasaan terpusat mungkin “hanya” sekitar 150–200 tahun. Walau tetap lama, tapi bukan tiga setengah abad penuh (Triyana, 2011). Yang lebih penting: dalam rentang itu, kekayaan Indonesia dijarah habis-habisan—rempah-rempah, emas, hasil hutan, dan lain-lain.


Ilustrasi orang sedang terbawa nafsu keserakahan


Hal yang bikin heran, setelah ratusan tahun dijarah, kok kekayaan negeri ini belum habis juga? Bahkan, kita masih terus menemukan tambang-tambang emas baru, seperti di Papua yang baru dikelola besar-besaran setelah Indonesia merdeka. Emasnya tetap di situ dari dulu, tapi seperti “menunggu” waktu yang tepat untuk ditampakkan dan diekstrak. Aneh, ya?


Kalau kita berpikir bahwa kekayaan hanya soal jumlah materi, mungkin ini tak masuk akal. Tapi kalau kita melihatnya sebagai bagian dari sistem rezeki yang diatur Tuhan, semua terasa lebih logis. Rezeki bukan soal berapa banyak yang kita punya, tapi bagaimana dan kapan kita layak untuk menerima. Charles Eisenstein dalam bukunya Sacred Economics menyebut bahwa sistem ekonomi modern menciptakan rasa “kurang terus” lewat uang dan utang, agar manusia terus merasa kekurangan dan berkompetisi (Eisenstein, 2011). Padahal, kelimpahan sejati tak bisa diukur hanya lewat saldo bank.

Kisah Bani Israil yang Kufur Nikmat


Sejak zaman dahulu, manusia selalu diuji soal rasa cukup. Dalam Al-Qur’an, kisah Bani Israil menjadi pelajaran penting. Mereka diberi makanan langsung dari langit—mann dan salwa, semacam embun manis dan daging burung—tanpa perlu bekerja, cukup meminta. Tapi mereka malah mengeluh dan minta menu lain. Bahkan, mereka menyimpan makanan karena takut besok tak kebagian. Akhirnya makanan itu basi, dan nikmat dari langit pun dihentikan (QS. Al-Baqarah: 57; Tafsir Jalalain & Al-Baidhawi).


Dan Kami menaungi kamu dengan awan, dan Kami menurunkan kepadamu mann dan salwa. Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu. Mereka tidak menzalimi Kami, tetapi justru merekalah yang menzalimi diri sendiri.


Setelah Nabi Musa AS memukulkan tongkatnya ke laut, kemudian laut terbelah menjadi beberapa bagian sehingga masing-masing bagian yang terkuak airnya terhimpun seperti gunung yang tinggi. Selanjutnya, Bani Israil mulai menyeberanginya hingga mereka sampai ke tepian pantai yang lain. Firaun yang mengejar Nabi Musa AS tenggelam, sementara Nabi Musa dan Bani Israil diselamatkan oleh Allah.

dalam buku Kisah-kisah dalam Al-Qur'an untuk Anak, menjelaskan bahwa Nabi Musa AS kemudian memerintahkan Bani Isra'il untuk sujud syukur kepada Allah, namun mereka berkata, "Sesungguhnya kami letih, wahai Musa. Kami tidak akan sujud sekarang." (Hamid Ahmad Ath-Thahir)



Demikianlah, umat Yahudi itu lupa akan karunia Allah yang diberikan kepada mereka, dan sikap ini selalu menjadi kebiasaan mereka.

Musa dan kaumnya Bani Israil kemudian berjalan di gurun pasir Sinai yang luas, lalu mereka bertemu dengan satu kaum yang menyembah berhala. Mereka berkata, "Wahai Musa, buatlah untuk kami berhala yang dapat kami sembah seperti berhala mereka itu."

Allah SWT telah menganugerahkan banyak kenikmatan kepada Bani Israil namun mereka menyia-nyiakannya. Salah satunya ketika diberi manna dan salwa. Dikutip dari buku Pelajaran Hidup dari Kisah-kisah Musa yang ditulis Abdullah bin Muhammad As-Saleh Al-Mu'taz disebutkan bahwa keduanya (manna dan salwa) merupakan sebagian dari karunia Allah kepada kaum Musa AS sehingga memakan keduanya itu sama dengan bersyukur kepada Allah.



Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 7 yang berbunyi,

"Kami menaungi kamu dengan awan dan Kami menurunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu. Mereka tidak menzalimi Kami, tetapi justru merekalah yang menzalimi diri sendiri."



Ini mengingatkan kita bahwa ketika seseorang menjanjikan sesuatu kepada Anda dan Anda setuju, seakan-akan Anda sudah masuk dalam perjanjian tersebut.

"Di sebelah kanan gunung itu." Di tempat Musa menerima wahyu langit. Sebuah tempat yang jauh di gurun sahara yang tidak ada tumbuhan dan air sama sekali.
Oleh karena itu, Allah memberikan jaminan kepada mereka berupa makanan yang menopang hidup mereka sebagaimana dijelaskan dalam surah Thaha ayat 80,


"Wahai Bani Israil, sungguh Kami telah menyelamatkanmu dari musuhmu, mengadakan perjanjian denganmu (untuk bermunajat) di sebelah kanan gunung itu (gunung Sinai), dan menurunkan kepadamu manna dan salwa."



Apa Itu Manna dan Salwa?


Imam Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi menggambarkan, manna adalah cairan putih mirip madu, jatuh seperti tetesan kristal menyerupai embun di atas daun. Pada pagi hari, mereka mengumpulkannya menjadi makanan yang manis.Salwa adalah burung yang bentuknya mirip burung puyuh. Allah menyediakan bagi mereka segala keperluan yang menopang hidup mereka dengan makanan berbahan gula yang manis dan burung yang enak tanpa perlu bersusah payah.

 

Bahkan mereka melihat semua itu sudah disediakan di hadapan mereka. Sehingga yang tinggal mereka lakukan adalah bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat itu. Namun mereka justru protes.Mereka berkata, "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja.

Makanan yang mereka mintakan kepada Allah, yaitu bawang merah, bawang putih, mentimun, dan kacang adas itu lebih rendah kualitasnya daripada manna. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 61,

"(Ingatlah) ketika kamu berkata, "Wahai Musa, kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan. Maka, mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah." Dia (Musa) menjawab, "Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota. Pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta." Kemudian, mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena sesungguhnya mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu ditimpakan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas."

Lihat, bahkan makanan yang datang dari Tuhan pun bisa jadi racun kalau disimpan dengan niat rakus.


Pelajaran yang Bisa Diambil

Pelajaran ini relevan banget sekarang. Banyak orang bukan karena tak punya, tapi tak pernah merasa cukup. Kita tak lagi hidup untuk memenuhi kebutuhan, tapi memupuk ketakutan: takut miskin, takut tak dianggap sukses, takut kalah bersaing. Akhirnya, kita menimbun dan menjarah, sama seperti penjajah dulu. Bedanya, sekarang yang dijarah bukan oleh bangsa asing, tapi oleh kita sendiri: dari alam, dari satu sama lain, bahkan dari masa depan anak cucu.


Padahal, kalau kita mau sedikit tenang dan percaya, rezeki itu bukan seperti kue yang makin habis jika dibagi. Rezeki itu seperti udara atau cahaya matahari: selalu ada, selama kita hidup selaras dengan hukum-Nya. Alam pun akan memberi lebih kalau manusia tahu kapan harus mengambil dan kapan harus menahan diri.


Kita diciptakan bukan untuk menjadi koruptor, tapi manifestor—makhluk yang bisa mewujudkan potensi, bukan memanipulasi realitas. Kalau bumi masih terus memberi sampai sekarang, bahkan setelah semua kerusakan dan penjarahan, itu bukan karena kita pintar mengelola. Tapi karena Tuhan masih sayang, dan bumi masih sabar.Tapi kesabaran itu ada batasnya. Dan rezeki, seperti hujan, bisa berhenti kalau awan keserakahan menutupi langit kita sendiri.


Referensi

  • Al-Qur’an
  • Jalaluddin Al-Mahalli & Jalaluddin As-Suyuthi. Tafsir Jalalain.
  • Imam Al-Baidhawi. Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil.
  • Triyana, B. (2011). Sejarah Singkat Penjajahan Belanda di Indonesia. Kompas.
  • Eisenstein, C. (2011). Sacred Economics: Money, Gift, and Society in the Age of Transition. Evolver Editions.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar