Kita sering dengar, katanya Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Tapi, benarkah angka itu? Banyak sejarawan kini menyepakati bahwa penjajahan dalam arti penguasaan terpusat mungkin “hanya” sekitar 150–200 tahun. Walau tetap lama, tapi bukan tiga setengah abad penuh (Triyana, 2011). Yang lebih penting: dalam rentang itu, kekayaan Indonesia dijarah habis-habisan—rempah-rempah, emas, hasil hutan, dan lain-lain.
![]() |
Ilustrasi orang sedang terbawa nafsu keserakahan |
Hal yang
bikin heran, setelah ratusan tahun dijarah, kok kekayaan negeri ini belum habis
juga? Bahkan, kita masih terus menemukan tambang-tambang emas baru, seperti di
Papua yang baru dikelola besar-besaran setelah Indonesia merdeka. Emasnya tetap
di situ dari dulu, tapi seperti “menunggu” waktu yang tepat untuk ditampakkan
dan diekstrak. Aneh, ya?
Kalau
kita berpikir bahwa kekayaan hanya soal jumlah materi, mungkin ini tak masuk
akal. Tapi kalau kita melihatnya sebagai bagian dari sistem rezeki yang diatur
Tuhan, semua terasa lebih logis. Rezeki bukan soal berapa banyak yang kita
punya, tapi bagaimana dan kapan kita layak untuk menerima. Charles Eisenstein
dalam bukunya Sacred Economics menyebut bahwa sistem ekonomi modern
menciptakan rasa “kurang terus” lewat uang dan utang, agar manusia terus merasa
kekurangan dan berkompetisi (Eisenstein, 2011). Padahal, kelimpahan sejati tak
bisa diukur hanya lewat saldo bank.
Kisah Bani Israil yang
Kufur Nikmat
Sejak
zaman dahulu, manusia selalu diuji soal rasa cukup. Dalam Al-Qur’an, kisah Bani
Israil menjadi pelajaran penting. Mereka diberi makanan langsung dari langit—mann
dan salwa, semacam embun manis dan daging burung—tanpa perlu bekerja,
cukup meminta. Tapi mereka malah mengeluh dan minta menu lain. Bahkan, mereka
menyimpan makanan karena takut besok tak kebagian. Akhirnya makanan itu basi,
dan nikmat dari langit pun dihentikan (QS. Al-Baqarah: 57; Tafsir Jalalain
& Al-Baidhawi).
Dan Kami menaungi kamu dengan awan, dan Kami menurunkan
kepadamu mann dan salwa. Makanlah (makanan) yang baik-baik dari rezeki yang
telah Kami berikan kepadamu. Mereka tidak menzalimi Kami, tetapi justru
merekalah yang menzalimi diri sendiri.
Setelah Nabi Musa AS
memukulkan tongkatnya ke laut, kemudian laut terbelah menjadi beberapa bagian
sehingga masing-masing bagian yang terkuak airnya terhimpun seperti gunung yang
tinggi. Selanjutnya, Bani Israil mulai menyeberanginya hingga mereka sampai ke
tepian pantai yang lain. Firaun yang mengejar Nabi Musa AS tenggelam, sementara
Nabi Musa dan Bani Israil diselamatkan oleh Allah.
dalam buku Kisah-kisah dalam Al-Qur'an untuk
Anak, menjelaskan bahwa Nabi Musa AS kemudian memerintahkan Bani Isra'il untuk
sujud syukur kepada Allah, namun mereka berkata, "Sesungguhnya kami letih,
wahai Musa. Kami tidak akan sujud sekarang." (Hamid Ahmad Ath-Thahir)
Demikianlah, umat Yahudi itu lupa akan karunia
Allah yang diberikan kepada mereka, dan sikap ini selalu menjadi kebiasaan
mereka.
Musa dan kaumnya Bani Israil kemudian berjalan di
gurun pasir Sinai yang luas, lalu mereka bertemu dengan satu kaum yang
menyembah berhala. Mereka berkata, "Wahai Musa, buatlah untuk kami berhala
yang dapat kami sembah seperti berhala mereka itu."
Allah SWT telah menganugerahkan banyak
kenikmatan kepada Bani Israil namun mereka menyia-nyiakannya. Salah satunya
ketika diberi manna dan salwa. Dikutip dari buku Pelajaran Hidup dari
Kisah-kisah Musa yang ditulis Abdullah bin Muhammad As-Saleh Al-Mu'taz
disebutkan bahwa keduanya (manna dan salwa) merupakan sebagian dari karunia
Allah kepada kaum Musa AS sehingga memakan keduanya itu sama dengan bersyukur
kepada Allah.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat
7 yang berbunyi,
"Kami menaungi kamu dengan awan dan Kami
menurunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah (makanan) yang baik-baik dari
rezeki yang telah Kami berikan kepadamu. Mereka tidak menzalimi Kami, tetapi
justru merekalah yang menzalimi diri sendiri."
Ini mengingatkan kita bahwa ketika seseorang
menjanjikan sesuatu kepada Anda dan Anda setuju, seakan-akan Anda sudah masuk
dalam perjanjian tersebut.
"Di sebelah kanan gunung itu." Di
tempat Musa menerima wahyu langit. Sebuah tempat yang jauh di gurun sahara yang
tidak ada tumbuhan dan air sama sekali.
Oleh karena itu, Allah memberikan jaminan kepada
mereka berupa makanan yang menopang hidup mereka sebagaimana dijelaskan dalam
surah Thaha ayat 80,
"Wahai Bani Israil, sungguh Kami telah
menyelamatkanmu dari musuhmu, mengadakan perjanjian denganmu (untuk bermunajat)
di sebelah kanan gunung itu (gunung Sinai), dan menurunkan kepadamu manna dan
salwa."
Apa Itu Manna dan Salwa?
Imam Ibnu Katsir dalam Kisah Para Nabi
menggambarkan, manna adalah cairan putih mirip madu, jatuh seperti tetesan
kristal menyerupai embun di atas daun. Pada pagi hari, mereka mengumpulkannya
menjadi makanan yang manis.Salwa adalah burung yang bentuknya mirip burung
puyuh. Allah menyediakan bagi mereka segala keperluan yang menopang hidup
mereka dengan makanan berbahan gula yang manis dan burung yang enak tanpa perlu
bersusah payah.
Bahkan mereka melihat semua itu sudah disediakan
di hadapan mereka. Sehingga yang tinggal mereka lakukan adalah bersyukur kepada
Allah atas nikmat-nikmat itu. Namun mereka justru protes.Mereka berkata,
"Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja.
Makanan
yang mereka mintakan kepada Allah, yaitu bawang merah, bawang putih, mentimun,
dan kacang adas itu lebih rendah kualitasnya daripada manna. Sebagaimana
dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 61,
"(Ingatlah) ketika kamu berkata, "Wahai
Musa, kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan. Maka,
mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang
ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan
bawang merah." Dia (Musa) menjawab, "Apakah kamu meminta sesuatu yang
buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota. Pasti kamu
akan memperoleh apa yang kamu minta." Kemudian, mereka ditimpa kenistaan
dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu
(terjadi) karena sesungguhnya mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan
membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu ditimpakan
karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas."
Lihat,
bahkan makanan yang datang dari Tuhan pun bisa jadi racun kalau disimpan dengan
niat rakus.
Pelajaran
yang Bisa Diambil
Pelajaran
ini relevan banget sekarang. Banyak orang bukan karena tak punya, tapi tak
pernah merasa cukup. Kita tak lagi hidup untuk memenuhi kebutuhan, tapi memupuk
ketakutan: takut miskin, takut tak dianggap sukses, takut kalah bersaing.
Akhirnya, kita menimbun dan menjarah, sama seperti penjajah dulu. Bedanya,
sekarang yang dijarah bukan oleh bangsa asing, tapi oleh kita sendiri: dari
alam, dari satu sama lain, bahkan dari masa depan anak cucu.
Padahal,
kalau kita mau sedikit tenang dan percaya, rezeki itu bukan seperti kue yang
makin habis jika dibagi. Rezeki itu seperti udara atau cahaya matahari: selalu
ada, selama kita hidup selaras dengan hukum-Nya. Alam pun akan memberi lebih
kalau manusia tahu kapan harus mengambil dan kapan harus menahan diri.
Kita
diciptakan bukan untuk menjadi koruptor, tapi manifestor—makhluk yang
bisa mewujudkan potensi, bukan memanipulasi realitas. Kalau bumi masih terus
memberi sampai sekarang, bahkan setelah semua kerusakan dan penjarahan, itu
bukan karena kita pintar mengelola. Tapi karena Tuhan masih sayang, dan bumi
masih sabar.Tapi kesabaran itu ada batasnya. Dan rezeki, seperti hujan, bisa
berhenti kalau awan keserakahan menutupi langit kita sendiri.
Referensi
- Al-Qur’an
- Jalaluddin Al-Mahalli & Jalaluddin
As-Suyuthi. Tafsir Jalalain.
- Imam Al-Baidhawi. Anwarut Tanzil wa Asrarut
Ta’wil.
- Triyana, B. (2011). Sejarah Singkat Penjajahan
Belanda di Indonesia. Kompas.
- Eisenstein, C. (2011). Sacred Economics:
Money, Gift, and Society in the Age of Transition. Evolver Editions.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar