Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan berorientasi materi, kita sering lupa bertanya: ke mana sebenarnya arah hidup bermasyarakat ini? Mengapa ketimpangan sosial makin lebar, relasi antarmanusia makin rapuh, dan alam makin rusak? Jawabannya, sebagian besar, terletak pada sistem ekonomi-politik yang melandasi dunia kita hari ini: kapitalisme.
Karl Marx
dalam Das Kapital (1867) membongkar dengan telanjang bagaimana
kapitalisme bekerja. Inti dari kapitalisme adalah akumulasi modal melalui
eksploitasi tenaga kerja. Kapitalis membayar buruh lebih rendah daripada nilai
yang dihasilkan, dan dari sanalah keuntungan (surplus value) diperoleh.
Masalahnya, dalam sistem ini, manusia tidak lagi dilihat sebagai makhluk utuh,
tetapi sebagai "alat produksi." Hubungan antarindividu menjadi
transaksional, sementara alam dikuras tanpa henti demi profit.
Kita bisa
melihat ini dalam fenomena kehidupan kota: masyarakat yang individualistis,
ikatan sosial yang longgar, dan kehidupan yang terus dikejar target
produktivitas. Bahkan dalam relasi paling personal, seperti pertemanan dan
cinta, kapitalisme merasuk lewat logika nilai tukar dan manfaat.
Namun,
masyarakat tidak selalu seperti ini. Sebelum kolonialisme dan kapitalisme
merajalela, masyarakat Nusantara memiliki sistem yang sangat berbeda. Tanah
dikelola secara komunal, kerja dilakukan bersama-sama (gotong royong), dan
produksi didasarkan pada kebutuhan bersama, bukan laba.
Friedrich
Engels, rekan pemikiran Marx, dalam The Origin of the Family, Private
Property and the State (1884) mengemukakan bahwa masyarakat komunal
awal—yang hidup tanpa kepemilikan pribadi atas tanah—justru memiliki struktur
sosial yang egaliter. Ia menyebut sistem ini sebagai bentuk masyarakat sebelum
"kerusakan" akibat negara dan kelas sosial. Masyarakat adat di
Indonesia menunjukkan karakteristik serupa: dari hukum adat Minangkabau tentang
tanah ulayat, hingga sistem subak di Bali yang mengatur irigasi sawah secara
demokratis.
James C.
Scott dalam The Art of Not Being Governed (2009) menyoroti bagaimana
komunitas di kawasan Zomia (termasuk sebagian wilayah Indonesia) secara sadar
menghindari negara dan sistem kapitalis demi mempertahankan otonomi dan cara
hidup komunal. Bagi Scott, ini bukan bentuk "kemunduran," melainkan
resistensi cerdas terhadap hegemoni ekonomi-politik modern.
Tan
Malaka, tokoh kiri revolusioner Indonesia, dalam berbagai tulisannya menekankan
pentingnya membangun sosialisme yang berakar pada budaya kolektif rakyat
Indonesia. Ia melihat bahwa semangat gotong royong dan kepemilikan bersama yang
hidup di desa-desa Indonesia bisa menjadi fondasi sistem alternatif bagi
kapitalisme Barat yang menindas.
Clifford
Geertz dalam studinya tentang masyarakat Jawa dan Bali menunjukkan bahwa
struktur sosial tradisional tidak berbasis pada akumulasi modal, melainkan pada
hubungan patron-klien, simbolik, dan spiritual. Meskipun tidak tanpa hierarki,
masyarakat ini menjunjung tinggi keseimbangan dan harmoni sosial—sesuatu yang
terkikis dalam logika kapitalis.
Melangkah Ke Masa Depan
Lalu, ke
mana kita harus melangkah? Tentu bukan dengan romantisisme masa lalu secara
membabi buta. Tapi kita perlu menyadari bahwa sistem kapitalisme tidak netral;
ia membawa dampak sosial dan ekologis yang nyata. Maka, solusi masa depan
justru bisa kita temukan dari kearifan lokal dan nilai-nilai komunitas yang
pernah kita miliki.
Dalam
dunia yang terus terfragmentasi oleh pasar dan algoritma, kembali menoleh pada
prinsip gotong royong, kepemilikan bersama, dan relasi non-ekskploitasi adalah
tindakan radikal. Ini bukan sekadar nostalgia, melainkan langkah sadar menuju
bentuk masyarakat yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Sudah saatnya
kita berhenti mengejar ilusi kemajuan ala kapitalis, dan mulai membangun
peradaban yang berakar dari tanah dan jiwa kita sendiri.
Daftar Pustaka
- Marx, K. (1867). Das Kapital. Hamburg:
Otto Meissner Verlag.
- Engels, F. (1884). The Origin of the Family,
Private Property and the State. Zurich: Hottingen.
- Scott, J. C. (2009). The Art of Not Being
Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia. New Haven:
Yale University Press.
- Tan Malaka. (1926). Menuju Republik Indonesia.
Jakarta: Narasi.
- Geertz, C. (1960). The Religion of Java.
Chicago: University of Chicago Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar