My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Sabtu, 10 Mei 2025

Kembali ke Akar: Mengapa Masyarakat Kita Perlu Menoleh ke Masa Lalu untuk Melawan Kapitalisme

         Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan berorientasi materi, kita sering lupa bertanya: ke mana sebenarnya arah hidup bermasyarakat ini? Mengapa ketimpangan sosial makin lebar, relasi antarmanusia makin rapuh, dan alam makin rusak? Jawabannya, sebagian besar, terletak pada sistem ekonomi-politik yang melandasi dunia kita hari ini: kapitalisme.



Karl Marx dalam Das Kapital (1867) membongkar dengan telanjang bagaimana kapitalisme bekerja. Inti dari kapitalisme adalah akumulasi modal melalui eksploitasi tenaga kerja. Kapitalis membayar buruh lebih rendah daripada nilai yang dihasilkan, dan dari sanalah keuntungan (surplus value) diperoleh. Masalahnya, dalam sistem ini, manusia tidak lagi dilihat sebagai makhluk utuh, tetapi sebagai "alat produksi." Hubungan antarindividu menjadi transaksional, sementara alam dikuras tanpa henti demi profit.

Kita bisa melihat ini dalam fenomena kehidupan kota: masyarakat yang individualistis, ikatan sosial yang longgar, dan kehidupan yang terus dikejar target produktivitas. Bahkan dalam relasi paling personal, seperti pertemanan dan cinta, kapitalisme merasuk lewat logika nilai tukar dan manfaat.

Namun, masyarakat tidak selalu seperti ini. Sebelum kolonialisme dan kapitalisme merajalela, masyarakat Nusantara memiliki sistem yang sangat berbeda. Tanah dikelola secara komunal, kerja dilakukan bersama-sama (gotong royong), dan produksi didasarkan pada kebutuhan bersama, bukan laba.

Friedrich Engels, rekan pemikiran Marx, dalam The Origin of the Family, Private Property and the State (1884) mengemukakan bahwa masyarakat komunal awal—yang hidup tanpa kepemilikan pribadi atas tanah—justru memiliki struktur sosial yang egaliter. Ia menyebut sistem ini sebagai bentuk masyarakat sebelum "kerusakan" akibat negara dan kelas sosial. Masyarakat adat di Indonesia menunjukkan karakteristik serupa: dari hukum adat Minangkabau tentang tanah ulayat, hingga sistem subak di Bali yang mengatur irigasi sawah secara demokratis.

James C. Scott dalam The Art of Not Being Governed (2009) menyoroti bagaimana komunitas di kawasan Zomia (termasuk sebagian wilayah Indonesia) secara sadar menghindari negara dan sistem kapitalis demi mempertahankan otonomi dan cara hidup komunal. Bagi Scott, ini bukan bentuk "kemunduran," melainkan resistensi cerdas terhadap hegemoni ekonomi-politik modern.

Tan Malaka, tokoh kiri revolusioner Indonesia, dalam berbagai tulisannya menekankan pentingnya membangun sosialisme yang berakar pada budaya kolektif rakyat Indonesia. Ia melihat bahwa semangat gotong royong dan kepemilikan bersama yang hidup di desa-desa Indonesia bisa menjadi fondasi sistem alternatif bagi kapitalisme Barat yang menindas.

Clifford Geertz dalam studinya tentang masyarakat Jawa dan Bali menunjukkan bahwa struktur sosial tradisional tidak berbasis pada akumulasi modal, melainkan pada hubungan patron-klien, simbolik, dan spiritual. Meskipun tidak tanpa hierarki, masyarakat ini menjunjung tinggi keseimbangan dan harmoni sosial—sesuatu yang terkikis dalam logika kapitalis.

Melangkah Ke Masa Depan

Lalu, ke mana kita harus melangkah? Tentu bukan dengan romantisisme masa lalu secara membabi buta. Tapi kita perlu menyadari bahwa sistem kapitalisme tidak netral; ia membawa dampak sosial dan ekologis yang nyata. Maka, solusi masa depan justru bisa kita temukan dari kearifan lokal dan nilai-nilai komunitas yang pernah kita miliki.

Dalam dunia yang terus terfragmentasi oleh pasar dan algoritma, kembali menoleh pada prinsip gotong royong, kepemilikan bersama, dan relasi non-ekskploitasi adalah tindakan radikal. Ini bukan sekadar nostalgia, melainkan langkah sadar menuju bentuk masyarakat yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Sudah saatnya kita berhenti mengejar ilusi kemajuan ala kapitalis, dan mulai membangun peradaban yang berakar dari tanah dan jiwa kita sendiri.


Daftar Pustaka

  • Marx, K. (1867). Das Kapital. Hamburg: Otto Meissner Verlag.
  • Engels, F. (1884). The Origin of the Family, Private Property and the State. Zurich: Hottingen.
  • Scott, J. C. (2009). The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia. New Haven: Yale University Press.
  • Tan Malaka. (1926). Menuju Republik Indonesia. Jakarta: Narasi.
  • Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar