Hari Ibu Internasional, 11 Mei, menjadi duka bisu bagi seekor induk gajah liar di Jalan Raya Timur–Barat (Gerik–Jeli), Perak, Malaysia. Seekor anak gajah betina berusia sekitar tujuh tahun tewas tertabrak SUV Nissan X-Trail yang melaju kencang pada malam hari. Bangkainya tergeletak di sisi jalan, dan sang induk terlihat mondar-mandir dengan gelisah di dekatnya (Utusan Borneo, 2025; RTM News, 2025). Sementara itu, pengendara hanya mengalami luka ringan. Yang benar-benar kehilangan adalah sang ibu gajah—dan mungkin, kemanusiaan kita.
![]() |
Ilustrasi induk gajah menangisi anaknya yang mati |
Insiden
ini bukan yang pertama. Jalan Raya Timur–Barat telah lama menjadi koridor
konflik antara kendaraan manusia dan habitat gajah liar. Menurut World Wildlife
Fund (WWF Malaysia), hilangnya habitat dan fragmentasi ekosistem gajah telah
memaksa mereka menyebrangi jalanan berbahaya demi bertahan hidup. Tragedi ini
adalah peringatan keras bahwa pembangunan tanpa batas dan egoisme manusia dapat
menjadi bentuk kekerasan sistemik terhadap makhluk hidup lainnya.
Relevansi dengan Kutukan Pandu, Tokoh Mahabarata
Saya jadi
teringat kisah dalam Mahabharata, ketika Pandu—ayah para Pandawa—tanpa
sadar membunuh sepasang rusa yang tengah bercinta. Ternyata, mereka adalah
jelmaan Resi Kindama dan istrinya. Atas perbuatannya, Pandu dikutuk: jika ia
melakukan hubungan suami-istri, maka ia akan mati. Kutukan ini menjadi nyata
saat Pandu bercinta dengan istrinya, Madrim, hingga akhirnya keduanya
meninggal. Bukan hanya kematian fisik, tapi juga simbol kehancuran spiritual
akibat ketidaktahuan dan ketidaksabaran (Altekar, A.S., 1956. The Position of
Women in Hindu Civilization).
Kisah ini
sarat pesan: bahwa cinta dan kelahiran adalah hal suci—dan segala bentuk
gangguan atas kesucian itu, akan kembali menghantam pelakunya. Seperti Pandu,
kita hidup di zaman yang tak sadar telah mengusik kesucian kehidupan—bukan dengan
panah, tetapi dengan pembangunan rakus, mobil melaju tanpa empati, dan sistem
yang tak memikirkan keseimbangan ekologi.
Dalam
konteks itu pula, Kunti tampil sebagai figur ibu yang kompleks dan agung. Tanpa
hubungan biologis dengan Pandu, ia melahirkan para Pandawa melalui doa suci
kepada para dewa (Devdutt Pattanaik, 2010. Jaya: An Illustrated Retelling of
the Mahabharata). Ia bukan hanya seorang ibu, tetapi simbol dari rahim semesta
yang mampu melahirkan bibit unggul melalui kesadaran, bukan egoisme. Bahkan,
Kunti membagikan mantra kesaktiannya kepada Madrim agar bisa turut melahirkan
Nakula dan Sadewa. Sebuah bentuk solidaritas dan pengorbanan perempuan yang
hari ini, dalam budaya patriarki modern, kerap tak dimengerti.
Maka,
bercinta dan melahirkan bukan sekadar biologis, tetapi bagian dari ritual
kesadaran. Keduanya adalah bentuk penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Ketika Pandu melanggar kutukannya karena hasrat, dan Madrim membiarkan dirinya
larut dalam godaan, mereka sama-sama melupakan konsekuensi. Dan di sanalah
kutukan bekerja: bukan karena murka, tapi karena keseimbangan alam tak bisa
ditipu.
Hari ini,
mungkin kita tidak membunuh rusa dengan panah. Tapi kita menabrak anak gajah,
menebang hutan, menggusur satwa, dan tetap merasa tak bersalah. Kita merasa
sah-sah saja membangun jalan, membunuh nyawa, dan berlindung di balik hukum dan
rambu. Mungkin kita lupa, bahwa hukum alam lebih purba dari hukum negara.
Maka pertanyaannya: apakah
kita lebih bijak dari Pandu? Ataukah kita sedang mengulangi kutukan itu dalam
versi yang lebih diam-diam, lebih sistematis, lebih modern?
Belajar dari Pandu dan Madrim
Kisah
Pandu dan Madrim memberi kita pelajaran penting: bahwa setiap tindakan memiliki
konsekuensi. Pandu membunuh rusa tanpa menyadari konteksnya, dan Madrim
melupakan bahaya kutukan demi memenuhi keinginan. Keduanya akhirnya mati bukan
karena takdir semata, tetapi karena pilihan yang diambil tanpa kesadaran dan
tanggung jawab.
Hari ini,
kita juga menghadapi situasi serupa. Mungkin kita tidak memegang busur panah
seperti Pandu, tetapi kita memegang kemudi, menggenggam keputusan, dan
mengendalikan proyek yang bisa berdampak besar bagi makhluk hidup lain. Ketika
kita mengabaikan dampak dari pembangunan, eksploitasi alam, atau kebijakan yang
menyingkirkan yang lemah, kita sesungguhnya sedang mengulang kesalahan yang
sama—hanya dalam bentuk yang lebih modern.
Karena
itu, penting bagi kita untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Tidak cukup
hanya menyesal setelah terjadi. Kita harus mulai bertindak lebih bijak,
berpikir lebih panjang, dan merespons dengan empati. Jangan ulangi tindakan
Pandu yang terburu-buru, atau keputusan Madrim yang mengabaikan risiko. Dunia
tidak butuh lebih banyak orang pintar yang egois, tapi lebih banyak manusia
sadar yang peduli pada keseluruhan siklus kehidupan.
Hari Ibu
seharusnya menjadi peringatan akan kekuatan kasih, bukan kesedihan karena
kehilangan anak. Tapi di sisi jalan Gerik–Jeli malam itu, seekor induk gajah
menangisi anaknya yang mati karena kelalaian manusia. Dan mungkin, jika kita
masih memiliki empati—kisah ini cukup untuk membuat kita bercermin: bahwa tak
ada peradaban yang pantas disebut agung jika masih tega mengorbankan kehidupan
yang lemah demi ego yang tak pernah cukup.
Hanya dengan kesadaran semacam inilah, kita bisa
mencegah kutukan-kutukan baru lahir di zaman kita sendiri.
📚
Referensi:
- RTM
News. (2025, 15 Mei. Anak Gajah Mati Dilanggar Kenderaan di Gerik. Diakses
dari https://berita.rtm.gov.my
- Utusan
Borneo. (2025, 15 Mei). Anak Gajah Mati Dilanggar Kenderaan di JRTB.
Diakses dari https://www.utusanborneo.com.my
- WWF
Malaysia. (2022). Elephant Conservation in Peninsular Malaysia. https://www.wwf.org.my
- Devdutt
Pattanaik. (2010). Jaya: An Illustrated Retelling of the Mahabharata.
Penguin India.
- Altekar,
A.S. (1956). The Position of Women in Hindu Civilization. Motilal
Banarsidass.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar