My Story Beneath of Hidden Treasure

Post Top Ad

Sabtu, 17 Mei 2025

Ketika Anak Gajah Mati dan Kutukan Pandu: Cermin Retak Peradaban Manusia

         Hari Ibu Internasional, 11 Mei, menjadi duka bisu bagi seekor induk gajah liar di Jalan Raya Timur–Barat (Gerik–Jeli), Perak, Malaysia. Seekor anak gajah betina berusia sekitar tujuh tahun tewas tertabrak SUV Nissan X-Trail yang melaju kencang pada malam hari. Bangkainya tergeletak di sisi jalan, dan sang induk terlihat mondar-mandir dengan gelisah di dekatnya (Utusan Borneo, 2025; RTM News, 2025). Sementara itu, pengendara hanya mengalami luka ringan. Yang benar-benar kehilangan adalah sang ibu gajah—dan mungkin, kemanusiaan kita.



Ilustrasi induk gajah menangisi anaknya yang mati



Insiden ini bukan yang pertama. Jalan Raya Timur–Barat telah lama menjadi koridor konflik antara kendaraan manusia dan habitat gajah liar. Menurut World Wildlife Fund (WWF Malaysia), hilangnya habitat dan fragmentasi ekosistem gajah telah memaksa mereka menyebrangi jalanan berbahaya demi bertahan hidup. Tragedi ini adalah peringatan keras bahwa pembangunan tanpa batas dan egoisme manusia dapat menjadi bentuk kekerasan sistemik terhadap makhluk hidup lainnya.



Relevansi dengan Kutukan Pandu, Tokoh Mahabarata


Saya jadi teringat kisah dalam Mahabharata, ketika Pandu—ayah  para Pandawa—tanpa sadar membunuh sepasang rusa yang tengah bercinta. Ternyata, mereka adalah jelmaan Resi Kindama dan istrinya. Atas perbuatannya, Pandu dikutuk: jika ia melakukan hubungan suami-istri, maka ia akan mati. Kutukan ini menjadi nyata saat Pandu bercinta dengan istrinya, Madrim, hingga akhirnya keduanya meninggal. Bukan hanya kematian fisik, tapi juga simbol kehancuran spiritual akibat ketidaktahuan dan ketidaksabaran (Altekar, A.S., 1956. The Position of Women in Hindu Civilization).


Kisah ini sarat pesan: bahwa cinta dan kelahiran adalah hal suci—dan segala bentuk gangguan atas kesucian itu, akan kembali menghantam pelakunya. Seperti Pandu, kita hidup di zaman yang tak sadar telah mengusik kesucian kehidupan—bukan dengan panah, tetapi dengan pembangunan rakus, mobil melaju tanpa empati, dan sistem yang tak memikirkan keseimbangan ekologi.


Dalam konteks itu pula, Kunti tampil sebagai figur ibu yang kompleks dan agung. Tanpa hubungan biologis dengan Pandu, ia melahirkan para Pandawa melalui doa suci kepada para dewa (Devdutt Pattanaik, 2010. Jaya: An Illustrated Retelling of the Mahabharata). Ia bukan hanya seorang ibu, tetapi simbol dari rahim semesta yang mampu melahirkan bibit unggul melalui kesadaran, bukan egoisme. Bahkan, Kunti membagikan mantra kesaktiannya kepada Madrim agar bisa turut melahirkan Nakula dan Sadewa. Sebuah bentuk solidaritas dan pengorbanan perempuan yang hari ini, dalam budaya patriarki modern, kerap tak dimengerti.


Maka, bercinta dan melahirkan bukan sekadar biologis, tetapi bagian dari ritual kesadaran. Keduanya adalah bentuk penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri. Ketika Pandu melanggar kutukannya karena hasrat, dan Madrim membiarkan dirinya larut dalam godaan, mereka sama-sama melupakan konsekuensi. Dan di sanalah kutukan bekerja: bukan karena murka, tapi karena keseimbangan alam tak bisa ditipu.


Hari ini, mungkin kita tidak membunuh rusa dengan panah. Tapi kita menabrak anak gajah, menebang hutan, menggusur satwa, dan tetap merasa tak bersalah. Kita merasa sah-sah saja membangun jalan, membunuh nyawa, dan berlindung di balik hukum dan rambu. Mungkin kita lupa, bahwa hukum alam lebih purba dari hukum negara.


Maka pertanyaannya: apakah kita lebih bijak dari Pandu? Ataukah kita sedang mengulangi kutukan itu dalam versi yang lebih diam-diam, lebih sistematis, lebih modern?




Belajar dari Pandu dan Madrim


Kisah Pandu dan Madrim memberi kita pelajaran penting: bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Pandu membunuh rusa tanpa menyadari konteksnya, dan Madrim melupakan bahaya kutukan demi memenuhi keinginan. Keduanya akhirnya mati bukan karena takdir semata, tetapi karena pilihan yang diambil tanpa kesadaran dan tanggung jawab.


Hari ini, kita juga menghadapi situasi serupa. Mungkin kita tidak memegang busur panah seperti Pandu, tetapi kita memegang kemudi, menggenggam keputusan, dan mengendalikan proyek yang bisa berdampak besar bagi makhluk hidup lain. Ketika kita mengabaikan dampak dari pembangunan, eksploitasi alam, atau kebijakan yang menyingkirkan yang lemah, kita sesungguhnya sedang mengulang kesalahan yang sama—hanya dalam bentuk yang lebih modern.


Karena itu, penting bagi kita untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Tidak cukup hanya menyesal setelah terjadi. Kita harus mulai bertindak lebih bijak, berpikir lebih panjang, dan merespons dengan empati. Jangan ulangi tindakan Pandu yang terburu-buru, atau keputusan Madrim yang mengabaikan risiko. Dunia tidak butuh lebih banyak orang pintar yang egois, tapi lebih banyak manusia sadar yang peduli pada keseluruhan siklus kehidupan.


Hari Ibu seharusnya menjadi peringatan akan kekuatan kasih, bukan kesedihan karena kehilangan anak. Tapi di sisi jalan Gerik–Jeli malam itu, seekor induk gajah menangisi anaknya yang mati karena kelalaian manusia. Dan mungkin, jika kita masih memiliki empati—kisah ini cukup untuk membuat kita bercermin: bahwa tak ada peradaban yang pantas disebut agung jika masih tega mengorbankan kehidupan yang lemah demi ego yang tak pernah cukup.


Hanya dengan kesadaran semacam inilah, kita bisa mencegah kutukan-kutukan baru lahir di zaman kita sendiri.




📚 Referensi:

  • RTM News. (2025, 15 Mei. Anak Gajah Mati Dilanggar Kenderaan di Gerik. Diakses dari https://berita.rtm.gov.my
  • Utusan Borneo. (2025, 15 Mei). Anak Gajah Mati Dilanggar Kenderaan di JRTB. Diakses dari https://www.utusanborneo.com.my
  • WWF Malaysia. (2022). Elephant Conservation in Peninsular Malaysia. https://www.wwf.org.my
  • Devdutt Pattanaik. (2010). Jaya: An Illustrated Retelling of the Mahabharata. Penguin India.
  • Altekar, A.S. (1956). The Position of Women in Hindu Civilization. Motilal Banarsidass.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar